Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

11

Ada yang aneh tiga hari ini, Abdi lebih banyak diam, meski Neta bolak-balik menggodanya, dia hanya tersenyum tanpa banyak kata. Kadang Neta melihat Abdi bersedekap menatap keluar jendela, ingin melempari kepalanya dengan benda yang ada di ruangannya tapi Neta cukup tahu diri. Ia melihat jika Abdi tak mau diganggu kali ini, meski sejak kecil ia dan Abdi terbiasa bergurau gila-gilaan tapi disaat tertentu ia tahu kapan harus menghentikan gurauannya.

Tiga hari ini memang Abdi banyak merenung. Ia ingat bagaimana dulu sangat sibuk dengan pekerjaan kantornya begitu juga Redanti yang merintis butiknya hingga komunikasi mereka tidak berjalan baik. Ia tidak menyalahkan Redanti yang tidak mau ikut saat dia pindah ke Malang, waktu itu ia diminta menangani kantor kakaknya saat istri kakaknya mengalami musibah. Abdi menganggap semuanya memang jalan Tuhan. Mungkin benar ia sebagai suami tidak melaksanakan tugas suami dengan baik, terlalu berambisi menjadi pengacara sukses hingga melupakan tugas utama sebagai kepala keluarga. Juga kabar mengenai kedekatan Lanang dan Redanti yang akhirnya ia percaya karena ia benar-benar melihat bagaimana Redanti menangis dan Lanang yang menggenggam erat tangan Redanti. Abdi melihat keduanya dari luar butik Redanti. Kesalahan Abdi saat itu ia tak mengkonfirmasi apa yang terjadi, ia biarkan pikirannya meyakini apa yang terjadi. Akhirnya ia menyimpulkan benar apa yang dikatakan ibunya bahwa ada sesuatu diantara keduanya.

Ini hari ketiga, sampai larut malam Abdi masih di kantor. Merenung sendiri dan ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi saat itu, tapi ia tak tahu harus memulai dari mana. Ia khawatir jika itu ditanyakan pada Redanti saat ini akan menambah benci wanita itu padanya, padahal ia hanya ingin tahu apa yang terjadi saat itu mengapa Lanang seolah jadi sangat dekat dan sangat perhatian. Sampai menggenggam erat kedua tangan Redanti yang saat itu sedang menangis.

Hingga larut malam semakin menuju ke ujung hari. Tak sadar Abdi telah sampai di depan rumah Redanti. Menatap rumah yang tak begitu besar namun tertata apik sebagai hunian modern. Abdi keluar dari mobilnya, bersandar dan kembali bersedekap menatap ke arah jendela di lantai dua, ia tak berharap Redanti melihatnya. Ia sadar ini jam berapa. Sampai akhirnya ia memutuskan meninggalkan rumah Redanti karena ingat pesan satpam saat ia melewati pos satpam tadi.

Sementara Redanti menatap tak percaya, benarkah tadi Abdi yang berada di depan rumahnya? sempat memandang lama kemudian berlalu. Ada apa laki-laki itu berdiri di depan rumahnya? Malam-malam lagi? Dan selama tiga hari ini sama sekali tidak mengganggu Redanti dengan pesan singkat tiga kali sehari yang mau tak mau membuat Redanti sedikit kehilangan, bukan kehilangan mungkin lebih tepatnya bertanya-tanya ada apa dengan laki-laki itu. Redanti sempat meraih ponselnya, ingin menelepon Abdi tapi ia urungkan. Malam ini Redanti benar-benar tak bisa tidur.

.

.

.

Keesokan harinya mata Redanti benar-benar berat, kepalanya sedikit pusing karena lepas subuh ia baru bisa tidur tapi kemudian bangun lagi karena pembantunya membangunkannya untuk bersiap ke kantor.

Sesampainya di kantor pagi itu, ia agak terlambat entah mengapa perutnya mendadak melilit padahal setahunya, ia tak makan makanan yang pedas dan kecut. Saat akan masuk ke area parkir depan butiknya ia berpapasan dengan mobil Abdi. Redanti sempat menoleh tapi laki-laki yang ada di dalam mobil itu menatap lurus ke depan. Redanti yakin itu Abdi tapi ada apa ia ke kantornya sepagi ini? Dan tak biasanya laki-laki itu tak menunggunya. Redanti bergegas menemui Silvi yang sedang menulis sesuatu.

"Sil, tadi ada Mas Abdi ya? Ngapain dia ke sini? Tumben pagi amat?"

Silvi mendongak menatap bosnya yang tumben bertanya laki-laki yang sejak awal bertemu lagi ingin ia hindari.

"Tumben Ibu nanya Pak Abdi? Ini saya dapat dari bagain front office tadi, ada customer atas nama Megantara Abdi Subandono memesan baju wanita, ini lengkap sama ukuran dan modelnya, saya juga kaget waktu baca nama yang order lah ini kan nama Pak Abdi, tumben dia nggak nyari saya dan tanya-tanya ibu, diminta seminggu lagi ini Bu."

Redanti hanya mengangguk, untuk siapa baju itu? Jika dilihat dari modelnya itu adalah baju untuk ke kantor, apa dia telah menemukan tambatan hati baru? Hanya sebatas itu usahamu untuk mendapatkan aku? Tapi tak apa paling tidak aku tahu seberapa besar cintamu padaku dan seberapa gigih kamu berjuang untuk mendapatkan aku.

Pertanyaan dan segala macam rasa ada dalam benak Redanti. Ia berusaha keras sepanjang hari itu berkonsentrasi menyelesaikan beberapa skestsa baju namun semuanya berantakan. Pekerjaannya membutuhkan mood yang bagus agar menghasilkan karya yang bagus maka saat moodnya tidak bagus tentu saja hasil rancangannya tidak sesuai dengan keinginannya bahkan terlihat sangat tidak berkelas. Redanti menunduk meremas Rambutnya. Silvi yang hendak masuk ke ruangan Redanti terpaksa mundur pelan-pelan. Ia segera menghubungi Neta.

Yaaa ada apa Mbak Sil

Bos Mbak nggak papa ya?

Ngapain nanya-nanya?

Lah ini bos Mbak tadi ke sini pesan baju cewek tapi tumben kok ngga nyari aku atau Bu Redanti?

Pesan baju cewek? Lah buat siapa ya? Dia sedang tidak dekat dengan siapapun. Memang tiga hari ini kayak aneh deh bosku Mbak Sil

Sama berarti Mbak, ini bosku kayak stres dia, apa dua orang itu ada masalah kali ya?

Hadeeh capek deh kita punya bos duda dan janda yang punya masa lalu nggak selesai-selesai

Hehehe yaudah Mbak Net selamat bekerja deh

Iya makasih

.

.

.

"Mas, ada Kuning tuh boleh masuk nggak dia?" tanya Neta saat melihat wajah datar Abdi. Ini hari keempat dan mode kulkas masih saja berlanjut.

"Ya." Jawaban singkat Abdi membuat Neta segera menghilang tak lama masuk Kemuning membawa satu boks cantik entah apa isinya.

"Selamat sore Mas, nggak papa ya panggil Mas?" Sapaan lembut Kemuning hanya dijawab dengan anggukan oleh Abdi. Lalu ia membuka boks cantiknya yang berisi berbagai macam pastry. Seandainya ia tidak sedang lelah hati pasti habis satu boks besar itu.

"Ini dimakan Mas ya biar Mas nggak sakit, Mas kok kurusan sih kayak capek, sakit lagi? Napsu makan turun? Mual?" Pertanyaan beruntun Nuning membuat Abdi kesal.

"Aku nggak sedang hamil." Jawaban singkat Abdi membuat Nuning tertawa.

"Mas ini lucu deh, bukan orang hamil aja yang mual tapi orang yang punya penyakit maag kayak Mas kan pasti mual kalo nggak makan."

"Udah nggak usah banyak teori mana satu mau aku makan, gak enak juga kamu bawain tapi nggak aku makan." Abdi mengambil satu pastry dan mulai memakannya tanpa bersuara. Sesekali ia menatap croissant yang ia makan, sekali lagi terlintas wajah Redanti, wanita itu sangat menyukai croissant.

"Kenapa Mas? Enak? Kok diliatin terus dari tadi?" tanya Nuning yang merasa sangat senang, tak percuma ia bawa makanan karena Abdi mau memakannya. Sekali lagi Nuning bertanya.

"Mas kok dari tadi croissantnya diliatin terus siiih ?"

"Caca, sangat menyukai ini, ia bisa habis dua croissant sekali makan." Dan jawaban Abdi benar-benar membuat hati Nuning jatuh hingga ke perutnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel