Pustaka
Bahasa Indonesia

Duda Gagal Move On

41.0K · Tamat
Indrawahyuni
36
Bab
5.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Abdi tak pernah bisa melupakan mantan istrinya yang ia cerai karena salah paham. ternyata Tuhan mempertemukan lagi mereka dalam suasana berbeda. Abdi tak ingin kecolongan lagi, ia akan memperbaiki kesalahannya dan akan kembali mengejar cintanya yang sempat hilang.

RomansaTuan MudaLawyerLove after MarriagePerceraianCLBKPengkhianatanKeluargaPernikahanWanita Cantik

1

"Kita balikan lagi yuk Re, kita rujuk," ujar Abdi tiba-tiba, sambil menggenggam tangan Redanti dengan erat. Redanti menatap mata kelam laki-laki di depannya, ia melihat mata kelam itu tak juga berubah masih sama seperti saat awal mereka kenal dan dekat, cinta mati yang ternyata mampu keduanya pertahankan hingga mengantarkan mereka ke jenjang pernikahan.

"Mas ngajak aku rujuk kayak ngajak jajan bakso aja, enteng banget, ingat apa kata ibu Mas?"

"Apa?"

"Aku wanita tak berguna, ladang kering yang gak bisa buat bercocok tanam, nah, Mas masih mau sama wanita kayak aku yang nggak gak bisa ngasi anak?"

"Gak papa yang penting ya tetep bisa bercocok tanam."

"Lah ya gak ada hasil kaaan."

"Gak papa."

"Gak papa, gak papa, bodo ah ... males ngomong sama orang telmi."

Redanti menarik tangannya yang digenggam oleh Abdi. Mungkin bagi Abdi mengajaknya rujuk bagai mengajak bermain petak umpet setelah saling mencari dan menemukan selesai sudah. Tapi bagi Redanti seolah mengingatkan luka lama yang takkan pernah sembuh. Sejak awal masuk dalam keluarga besar Subandono ia hanya dipandang sebelah mata. Dirinya hanya anak seorang janda yang sesekali menerima jahitan dari tetangga kanan kiri dan kerabat. Kemampuan ibunda Redanti akhirnya diturunkan juga pada Redanti. Setelah tamat SMA Redanti melanjutkan berkuliah di salah satu universitas negeri di Surabaya di jurusan tata busana. Mungkin bagi orang lain berkuliah di sana hal yang biasa saja tapi bagi Redanti dan keluarganya itu hal yang sudah sangat membanggakan. Seorang tukang jahit mampu membuat anaknya setidaknya mengenyam pendidikan tinggi. Belum lagi adik Redanti, Raflyansyah yang masih SMA kala itu bukan perkara mudah untuk urusan biaya pastinya.

Sedang keluarga Abdi adalah keluarga terpandang yang mempunyai biro konsultasi hukum yang sangat terkenal sejak kakek Abdi, diturunkan pada ayah Abdi, juga Abdi dan kakaknya.

Entah apa yang ada dalam pikiran Abdi dan Redanti saat akan menikah, karena keluarga Abdi sejak awal sudah menunjukkan penolakan tapi keduanya menyakinkan diri bahwa mereka akan mampu mereka lewati jalan terjal itu.

Bulan-bulan pertama Redanti rasakan hal biasa saja, meski tak terang-terangan penolakan keluarga Abdi dia masih bisa menahan senyum kaku dan lirikan tajam ibu mertuanya. Namun bulan-bulan selanjutnya saat ia belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan maka nyinyiran keluarga besar Abdi jika bertanya padanya saat arisan keluarga seolah Redanti yang paling bersalah.

Abdi berusaha membesarkan hati istrinya, dan menengahi hal tak enak jika ibunya sudah semakin gencar menyuruh terapi ini itu, juga saran ke dokter ini itu, hingga tahun pertama belum juga menampakkan hasil.

Ditambah kesibukan Abdi yang bersedia untuk sementara waktu berada di Malang, mengantikan posisi kakaknya yang saat itu sedang menemani istrinya yang sedang operasi kista hingga mau tak mau ia semakin tenggelam dalam kesibukan dan bertemu Redanti seminggu sekali.

Abdi sempat mengajak Redanti untuk ikut bersamanya di Malang tapi Redanti menolak karena saat itu ia sedang merintis butik yang telah lama ia idamkan, maka lengkap sudah jalan menuju kebuntuan hubungan keduanya. Dan yang semakin menyakitkan adalah tuduhan ibunda Abdi pada Redanti yang mengatakan dirinya bermain hati dengan laki-laki yang memang selama beberapa waktu sempat bertemu dengannya. Lanang, laki-laki yang telah memberikan sentuhan desain interior keren di butiknya. Laki-laki yang tak pernah datang sendiri ke butiknya mengapa justru Abdi dan keluarganya menuduh hal-hal yang tak masuk akal.

Saat keduanya semakin lelah oleh masalah masing-masing maka ditahun kedua ulang tahun pernikahan akhirnya mereka menyerah. Menyerah pada keadaan yang rasanya telah banyak menghimpit dan memperburuk hubungan keduanya.

Lalu setelah Redanti merasa nyaman, mengapa muncul lagi laki-laki yang mengempaskannya pada jurang kesedihan. Bukan perkara mudah melupakan Abdi namun usaha kerasnya sedikit demi sedikit bisa membuat ia berdamai dengan hatinya.

Sementara bagi Abdi pertemuan kembali dengan Redanti membuat dirinya seolah menemukan oase segar di gurun pasir. Di awal-awal bercerai belum ia rasakan karena sibuk dengan pendampingan Konsultasi di biro hukumnya dan pendampingan saat sidang dimulai. Namun memasuki bulan-bulan keempat dan kelima entah mengapa hari dan hatinya terasa kosong, ia sempat mendatangi rumah Redanti namun menurut tetangga sekitarnya pemiliknya telah pindah. Berusaha menghubungi ponselnya namun tak juga menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Abdi berusaha mengalihkan rasa rindunya pada hal-hal lain, pada wanita lain namun tak juga bisa mengenyahkan Redanti dari pikirannya. Hingga pertemuan kembali setelah tiga tahun berpisah karena sekretaris Redanti yang menghubunginya dan mempertemukan mereka kembali membuat Abdi yakin memang hanya Redantilah jodohnya hingga akhir jaman, tulang rusuknya yang sempat hilang dan entah dibawa siapa kini kembali berada di depannya, Abdi menyakinkan diri bahwa Tuhan mempertemukan mereka kembali karena mereka memang jodoh yang tertunda, yang terjeda karena hal yang tak pernah mereka inginkan.

****

"Apa nggak ada pengacara lain selain dia, Silvi?" tanya Redanti pada sekretarisnya.

"Ibu kan minta saya cari pengacara yang paling bagus? Ya siapa lagi di kota ini Bu? Ini kasus penting ibu, masalah hak cipta, desain ibu dicuri, siapa yang lagi kalo nggak nama Subandono yang bisa bantu ibu, itu yang langsung ada di kepala saya, maaf saya nggak bilang ibu dulu dan saya sudah deal semuanya, kan seperti biasa ibu gak pernah mau ribet, semua saya yang urus," ujar Silvi sambil memelas.

"Hmmm ... mau gimana lagi, yaudah kamu yang urus semuanya, nggak usah melibatkan aku, aku tahu beres."

"Yaaaah ibuuuu, pengacara itu minta ketemu ibu siang ini di, emmm ini ibu, hotel ini, ngajak makan siang," ujar Silvi sambil memperlihatkan alamat hotel dibuku yang setia mendampinginya selama bekerja di butik milik Redanti.

"Gini, hubungi dia, aku nunggu dia di sini, di ruanganku, kalo dia nggak mau ya kamu aja sana yang nemani dia makan siang," ujar Redanti menatap lurus mata Silvi yang ada di depannya.

"Ya Allah Ibuuu, gimana kalo dia gak mau ke sini?" Suara Silvi terdengar merengek.

"Aku nggak mau tahu, telepon aja sana dulu."

Dan Silvi berusaha menghubungi laki-laki yang sangat tidak ingin Redanti temui. Cukup sudah semuanya. Mungkin dulu memang pondasi rumah tangga mereka tidak kuat hingga hanya dengan hantaman kecil, rumah tangga mereka jadi luluh lantak.

"Ibuuuu." Teriakan kegirakan Silvi membuyarkan lamunan Redanti.

"Mau Ibuuu, Pak Megantara mau ke sini, malah dia kayak antusias gitu Ibu, ih gak nyangka deh, orang terkenal kayak beliau mau ke sini menemui Ibu."

"Pasti dia mau."

"Ih, ibu yakin banget, kok tahu kalo Pak Megantara pasti mau, kaya kenal aja Ibu ini."

"Lebih dari sekadar kenal."

"Hah yang bener ibu? Kenal di mana? Teman? Sahabat?"

"Dia mantan suamiku!"

"HAH! Pantesan."

"Pantesan apa?'

"Pak Megatara nanya nama lengkap dan ciri-ciri Ibu."

"Lah trus kamu kasih?!"

"Iii ... iyaaa Ibuuuu."

"Heeeeeh ... Kamu ini Silviiiii."

.

.

.

Abdi menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Sama sekali ia tak menyangka jika yang akan ia temui sebentar lagi adalah orang yang ia cari selama ini. Abdi merasa lelah sangat lelah dengan pencariannya. Abdi sempat menyesalkan perceraian itu terjadi karena ego mereka berdua. Sama-sama sibuk, saling tuduh penyebab tidak hadirnya buah hati, hingga ia menerima begitu saja kabar bahwa istrinya ada main dengan laki-laki lain.

Merasa tersakiti dan dikhianati, ia terima begitu saja saat sang istri mengajukan cerai. Namun alangkah menyesalnya Abdi saat ia didatangi langsung oleh Lanang, laki-laki yang dituduh oleh keluarga besarnya ada main dengan istrinya. Karena sejak kabar itu merebak Redanti benar-benar menjauh dari dua laki-laki itu, menghilang bagai ditelan bumi, bahkan pindah rumah dan butik.

Kini yang ada hanya penyesalan, dan keinginan Abdi untuk kembali pada istrinya semakin kuat. Sejak ia meyakinkan sekretaris Redanti akan memenangkan kasus butik Redanti, sekretaris Redanti seolah memudahkan pertemuannya dengan mantan istrinya. Berawal dari telepon sekretaris Redanti ke kantornya hingga kemudian mereka bertemu dan berbicara banyak mengenai kasus, akhirnya Abdi bertanya siapa pemilik butik yang akan ia bantu secara hukum. Sekretaris Redanti memberi tahu nama lengkap pemilik butik Meirza's Style. Saat itu juga dada Abdi berdegup kencang, ia sampai bertanya ciri-ciri pemilik butik itu dan sekretaris Redanti menggambarkan dengan panjang lebar.

Sejak itu Abdi jadi sangat ingin bertemu Redanti. Tak ada wanita lain yang bisa ia cintai sepenuh hati selain Redanti. Hanya ego laki-laki yang merasa telah dikhianati hingga ia dengan mudah meloloskan permintaan cerai istrinya. Beberapa kali ia mencoba membina hubungan serius namun selalu saja ia bandingkan dengan Redanti dan berakhir dengan kandasnya hubungan yang tak sempat berakhir dengan cinta.

Kini beberapa saat lagi ia akan bertemu dengan mantan istrinya. Apa yang akan ia katakan nanti, bagaimana ia harus menyapanya. Panggilan sayang Caca masih sangat ia ingat, wajah manja dan bersemu merah jika ia memanggilnya Caca sayang.

Abdi melihat jam di dinding ruangannya, menunjukkan pukul 12 siang. Ia beranjak untuk berangkat menuju butik Redanti. Beberapa dokumen ia bawa. Harusnya ia bersama partnernya tapi biarlah kali ini untuk orang istimewa, ia akan melakukan semuanya sendiri.

.

.

.

Sesampainya di Meirza's Style, Abdi segera diantarkan menuju ruangan Redanti oleh Silvi, perlahan ia buka dan di sana Abdi melihat orang yang sangat ia rindukan dengan tampilan berbeda. Seketika dada Abdi bergedup kencang, bagaimana tidak, di tempat duduknya Redanti menegakkan tubuhnya, berdiri menyambut kedatangannya dan melangkah mendekatinya dengan rambut kelam yang melewati bahunya, wajah putih bersih, juga dress selutut berwarna beig dan bunyi stiletto yang menghentak lantai membuat Abdi terpana seketika.

"Silakan masuk Pak Mega, mari silakan duduk."

Suara Redanti membuat Abdi mendekat dan mengulurkan tangannya.

"Selamat siang Ca, apa harus seformal ini?"

Redanti membalas uluran tangan Abdi dan menariknya segera, serta memberi kode pada Silvi agar segera pergi. Silvi mengangguk dengan gugup dan tak menyangka jika Megantara Abdi Subandono benar-benar mantan suami bosnya.

Redanti tak menanggapi pertanyaan Abdi dan segera menutup pintu ruangannya, menyilakan Abdi duduk, sedang Redanti duduk di seberang meja, di hadapan Abdi.

"Pak Mega mau minum apa? Kita membicarakan kasus ini sambil menikmati kudapan siang, santai saja karena saya yakin sebenarnya ini sudah anda bicarakan detil dengan Silvi."

Abdi mengembuskan napas dengan pelan, ia menatap wanita yang sangat ia rindukan, yang telah berganti menjadi kupu-kupu yang cantik. Sejak dulu Redanti cantik. Tapi kematangannya yang membuat kecantikannya semakin bersinar.

"Apa sebenci ini kau padaku Ca hingga kita tak bisa bicara santai? Aku merindukanmu Ca? Aku mencarimu, aku ingin meminta maafmu, juga menjelang ibu meninggal, beliau ingin meminta maafmu, beliau mengaku jika dulu masalahmu dengan Lanang tidak benar-benar terjadi, tapi sampai beliau meninggal aku tak bisa menemukanmu, maafkan aku dan ibu Ca dan yang membuat aku kehilangan jejakmu kau pindah rumah juga butikmu entah di mana, kau percaya kan jika aku menyesal?" Abdi melihat wajah di depannya menampakkan ekspresi tak berubah, datar dan tanpa senyum.

"Jadi ini maksud Anda ingin bertemu saya? Saya tak ingin mengingat hal yang membuat saya hampir terpuruk, masa lalu seperti angin, lewat dan tak kembali, jadi lebih baik kita bicarakan hal yang lebih penting dalam hidup saya, kelangsungan karya saya yang ditiru orang lain, Anda saya bayar mahal jadi bicaralah hal yang berguna bagi saya, tidak mudah mengumpulkan receh demi receh dalam hidup saya yang tidak sekaya Anda." Abdi tak peduli, ia bangkit dan duduk di dekat Redanti.

"Aku merindukanmu, Ca!"