12
Baju yang dipesan Abdi telah selesai sebelum waktu yang diminta Abdi. Redanti berpesan pada Silvi agar menghubungi Abdi dan menyuruhnya mengambil langsung di ruangan Redanti.
Agak siang Abdi baru muncul di butik Redanti, ia menemui Silvi dan Silvi menyilakan Abdi ke ruangan Redanti. Sejujurnya Abdi tak ingin bertemu Redanti, ia ingin membiasakan diri seperti dulu saat sebelum bertemu Redanti lagi. Abdi sadar jika kesalahannya tak termaafkan.
"Assalamualaikum, selamat siang."
"Wa alaikum salam, silakan masuk Mas."
Abdi berdiri di depan Redanti, ia seolah tak ingin duduk, entah mengapa ada rasa nyeri di dadanya Redanti melihat keengganan Abdi.
"Ini baju yang Mas pesan, Mas nggak duduk dulu?"
Belum sempat Abdi menjawab pertanyaan Redanti, ponsel Abdi berbunyi.
Yaaa ada apa Ning?
....
Apaaa? Iya iya aku ke sana ...
Abdi segera memasukkan ponselnya ke saku jasnya dan meraih baju yang ia pesan di meja Redanti.
"Maaf aku pamit Ca, makasih, sudah aku bayar tadi, permisi."
Tergesa Abdi melangkah dan menghilang di balik pintu. Redanti tahu siapa Ning yang meneleponnya tadi.
Jadi sekarang dia yang menyita waktumu? Bahkan kau hadiahkan juga baju yang sengaja kau pesan di sini? Baiklah mungkin kita memang tidak berjodoh, mungkin memang benar bahwa cintamu tak sedalam rasa cintaku ... Mungkin sudah waktunya aku harus belajar melupakanmu ...
.
.
.
"Ning ada apa?" tanya Abdi yang tiba di rumah sakit tempat Nuning dan papanya bekerja.
"Nggak tau kenapa Papa sakit lagi, padahal sudah lama penyakit jantungnya nggak kambuh. Tapi aku yakin papa kelelahan, beberapa hari ini kan pasiennya di poli saraf selalu rame. Udah sana Mas dicari tadi begitu sadar, Mas masuk aja, aku nggak tega lihat papa jadinya mau nangis aja." Suara serak Nuning dan matanya yang sembab membuat Abdi tak banyak tanya ia segera masuk dan menemukan Widyatmoko yang terbaring lemah dengan alat bantu pernapasan.
Abdi berdiri di sebelah Widyatmoko dan laki-laki itu mulai membuka matanya. Menatap lemah meski samar ia mulai tersenyum.
"Di."
"Ya Om."
"Aku gak papa, hanya kelelahan."
"Om harus sehat, jangan sakit, Nuning sendirian, makanya Om harus jaga kesehatan."
"Aku titip Nuning padamu, dia tidak punya siapa-siapa, ada adik laki-lakiku tapi tidak di kota ini."
"Ya Om."
"Om sebenarnya ingin kalian berjodoh."
"Maafkan saya Om, saya sudah memiliki pilihan sendiri, saya akan menjaga Nuning sebagai adik, tapi tidak jika kami harus menikah."
Widyatmoko mengangguk pelan, wajahnya kembali sedih, ia merasakan nyeri di dadanya. Dan kembali memejamkan mata.
"Om jangan banyak mikir juga, istirahat ya Om, saya mau keluar menemui Nuning."
Widyatmoko hanya mengangguk, sejujurnya ia ingin Abdi menjadi menantunya. Ia melihat Abdi yang dewasa dan yakin bisa menuntun Nuning menjadi lebih baik, tapi Widyatmoko sadar jika cinta tak bisa dipaksakan. Dada Widyatmoko semakin sakit. Ia hanya bisa memejamkan mata berharap semuanya baik-baik saja.
"Ning, kamu jaga Papa kamu, jangan menampakkan kesedihan, sekarang waktunya kamu menunjukkan pada papamu jika kamu bukan anak manja."
Nuning hanya mengangguk sambil mengusap air matanya. Ia tak tahu harus bagaimana.
"Aku jadi sendirian dan gak tau harus bagaimana."
Abdi mengerutkan keningnya, ucapan yang aneh dari seorang dokter berusia dua puluh tujuh tahun, harusnya ia sudah bisa berpikir apa yang terbaik.
"Maaf sebelumnya, tadi papamu memintaku menjagamu, aku bilang aku bersedia sebagai kakak, tapi tidak jika kita harus dijodohkan lalu menikah, aku mencintai wanita lain dan akan selalu mencintai wanita itu, menjagamupun hanya sebatas hubungan kakak adik, dan satu lagi aku tak akan ikut campur urusanmu, karena aku juga paling tidak suka urusanku diusik orang lain, maaf jika aku terlalu berterus terang."
Sekali lagi Nuning mengangguk, ia tahu jika Abdi tidak tertarik sama sekali padanya. Tak lama ia melihat perawat masuk ke ruang perawatan papanya.
"Kamu nggak ikut masuk? Lihat aja kali papa kamu butuh sesuatu, dia kayak sedih banget tadi."
"Aku jadi nangis terus kalo ada di Deket papa."
"Ya jangan gitu dong, gimana sih kamu kan dokter kok gini?"
"Aku lebih baik merawat pasien lain dari pada papaku sendiri yang kayak gini."
Tak lama keluar perawat yang tadi masuk dengan wajah panik. Ia terlihat berlari ke ruang jaga yang tak jauh dari ruang perawatan papanya, lalu beberapa perawat dan dokter juga ikut masuk ke ruangan itu. Abdi ikut menyeruak diantara beberapa orang di ruangan itu yang diikuti Nuning di belakangnya. Dan Nuning sadar jika papanya dalam kondisi koma.
.
.
.
"Ibu kayak sedih aja kenapa sih?" pertanyaan Silvi hanya dijawab dengan senyuman tipis Redanti. Di satu sisi ia rindu pada tingkah konyol Abdi tapi di sisi yang lain hatinya enggan menerima Abdi kembali. Selalu saja begitu jika ia dekat dengan Abdi.
"Pasti ibu kangen sama Pak Abdi kan, ibu sih Pak Abdi jelas-jelas mau balik Ibu malah kayak engak mau tapi mau juga."
"Ah kamu ini Sil sok tahu."
"Ya tahu lah, kan saya normal, pernah jatuh cinta juga."
Tak lama mereka dikagetkan oleh telepon dari ponsel Silvi, terlihat Silvi yang berbicara dengan riang setelah sebelumnya minta ijin menerima telepon pada Redanti.
"Dari siapa Sil?" tanya Redanti setelah Silvi menerima telepon.
"Dari Mbak Neta, tadi dia bilang makasih baju yang Mbak bikin, bagus katanya, enak di badan dia, ternyata itu baju yang dipesan Pak Abdi buat Mbak Neta yang berulang tahun, dan nanti pulang kantor kita diundang makan-makan sama Mbak Neta, ibu mau ya? Ikut ya? Pasti kangen Pak Abdi kan?"
Redanti mencubit tangan Silvi, lalu tersenyum dan mengangguk.
"Tapi tadi Mbak Neta bilang Pak Abdi baru aja dari rumah sakit, siapa yang sakit ya Bu?"
"Nggak taulah Sil, tapi yang aku tahu tadi pas ke sini dokter yang suka sama Mas Abdi kayaknya nelepon dan Mas Abdi kayak buru-buru."
.
.
.
"Mas makasih sekali lagi ya bajunya keren banget, tadi aku coba enak banget, keren deh memang Mbak Re, eh Mas ntar ikutan yo, aku kan ultah, kita makan berempat, aku, Silvi, Mas Hulk dan Mbak Re."
Abdi menatap wajah sepupunya yang terus bicara lalu ia mengangguk dan mulai berpikir ini waktu yang tepat untuk mengatakan niatnya untuk kesekian kali, jika tidak maka ia akan menyerah.
"Yah aku ikut, usahakan aku duduk berdua dan kalian agak menjauh, ini kesempatan bagiku, aku akan memintanya menikah denganku untuk terakhir kalinya, jika kali ini dia mengatakan tidak mau maka aku akan menyerah dan akan mencoba mencintai Nuning."
Suara Abdi merendah dan terlihat murung. Mata Neta terbelalak rasanya benar-benar tak ikhlas jika sepupu tampannya menikah dengan dokter kolokan itu.
"Gak ada wanita lain apa Mas? Sampe berpikir mau berusaha mencintai orang itu? Nggak rela aku Mas nikah sama si Kuning, mending nikah sama aku aja huahahah."
Tawa Neta membuat Abdi bisa tersenyum lagi, melempar bolpoinnya ke arah Neta dan Neta semakin tertawa.
"Najis nikah sama sepupu gila kayak kamu." Jawaban Abdi sekali lagi membuat tawa Neta semakin jadi.
"Eh Mas tahu nggak kata si Silvi, Mbak Re itu kayak orang sedih aja beberapa hari ini, dia melamun aja, apa dia kangen sama Mas ya, kan Mas kayak cuek aja ke dia beberapa hari ini , biasanya kan gangguin aja, ayo Mas semangat deketin Mbak Re lagi, aku yakin dia kangen Mas."
"Silvi bilang gitu?"
"Iyaaa, katanya kayak nggak fokus dan kerjaannya malah melamun aja, ayo dooong usaha, kalian itu hanya masalah komunikasi aja deh yang nggak beres, aku yakin ada hal yang belum selesai di masa lalu kalian, coba itu dibicarakan aku yakin semua akan baik-baik saja."
Abdi mengangguk, dia bertekad akan menyelesaikan semuanya, menanyakan hal yang mengganggu pikirannya selama ini dan meraih kembali cintanya yang pernah hilang.
"Tumben kamu waras Net, kasi solusi kok ya pas banget."
"Lah lihat jam Mas, kan sekarang waktunya pulang jadi pikiran warasku balik lagi, yok ah kita ketemuan sama Mbak Re, selesaikan masalah kalian dan mulai lagi dari awal."
