10
"Ibu, hari ini jadwal agak longgar, hanya ada dua klien, dan nanti siang ada acara makan siang bareng sama Pak Abdi dan rekan-rekannya sebagai tanda terima kasih kita pada mereka ini ibu tempat dan sajian apa aja sudah saya pilih."
Redanti melongo menatap wajah Silvi, setelah peristiwa ciuman yang mengerikan itu rasanya ia masih belum siap bertemu dengan laki-laki itu lagi, ia tak mau Abdi semakin memenjara hatinya.
"Makan siang? Makan siang gimana? Siapa saja yang ikut? Bukan cuman kami berdua kan Sil?" Pertanyaan bertubi-tubi Redanti membuat Silvi tertawa.
"Ya nggak lah Bu, barusan saya nelepon Mbak Neta, sekretaris Pak Abdi, nanti yang ikut selain Pak Abdi ya Mbak Neta, Pak Rafa dan Pak Ardi, Ibu trus saya." Jawaban Silvi membuatnya lega, paling tidak dia bisa sedikit menghindar untuk tidak berbicara langsung pada Abdi.
"Silviiii, Silvi gitu loh nggak bilang aku."
"Ya Allah Ibu, katanya terserah saya, ya saya kerjakan tanpa tanya Ibu."
Redanti hanya mengangguk, salah dia juga mengapa tidak bertanya apa saja yang telah dilakukan oleh sekretarisnya, jika berhubungan dengan Abdi dia harus tahu.
.
.
.
"Net, ganteng nggak Net aku kalo kayak gini?" Abdi terlihat beberapa kali menyempurnakan tampilannya. Ia tak ingin terlihat tak menarik di depan Redanti.
Neta yang asik makan cemilan yang ada di ruangan Abdi hanya bisa mengacungkan jempolnya.
"Kamu ini loh makaaan aja, semua di makan." Abdi terlihat kesal karena Neta tak menanggapi pertanyaannya. Neta bangkit meraih tisu di meja Abdi dan melap mulutnya yang penuh remah makanan. Ia menatap sepupunya yang masih asik menatap pantulan badannya di cermin yang ada di sudut ruang kerja Abdi.
"Mas itu gak usah tanya, siapapun yang lihat Mas pasti mengakui kalo Mas itu ganteng, laki banget, meski badan mirip Hulk 11 12 lah tapi masih proporsional. Badan Mas yang kekar kalo pake jas kayak gitu kan kayak pas di badan Mas, pengen nyubit-nyubit gemes gitu lengan yang kekar kayak gitu, tapi aku nggak lah malah maunya aku tinjuan kan itu lengan kayak samsak aja."
Abdi semakin jadi berkaca sambil sesekali mengelus lagi bibirnya sambil tersenyum.
"Udaaah gak usah terlalu lama, kalo kaca itu bisa ngomong pasti udah misuh aja dari tadi, pake acara senyam-senyum lagi pasti ingat pas adegan ciuman pedes manis." Neta terbahak saat melihat wajah Abdi yang tiba-tiba tersenyum kecut.
"Iyaaa sakit ternyata gamparan Caca, deuh padahal tubuhnya kecil tapi tenaganyaaaa ... Deuh deeeeuh kayak niat banget mau gamparin aku." Abdi mengelus pipinya.
"Heleeeh badan besar kok bisa kerasa sakit tamparan orang kayak Mbak Re, dasar lebay." Neta lagi-lagi terkekeh.
"Kan dari hati mampir ke pipi Net, yang sakit itu hatiku, tapi menjalar ke pipi, gimana nggak sakit, dikasi kenikmatan malah digampar."
"Kenikmatan kan menurut Mas, lah kalau menurut Mbak Re itu sih pelecehan, udah ah ayo berangkat ngacaaa aja dari tadi capek yang liat, Mas Rafa sama Mas Ardi dah nungguin loh dari tadi." Neta bergerak ke arah pintu dan sekali lagi dia melihat Abdi yang masih menyempurnakan rambut dan jasnya, ia hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Hadeh ... hadeeeeh ..."
.
.
.
"Ibu kok kayak gelisah sih, pasti karena bentar lagi mau ketemu Pak Abdi ya?" goda Silvi saat melihat Redanti yang sebentar-sebentar menoleh ke arah pintu masuk rumah makan yang menyajikan masakan khas Jepang.
"Ih kamu ini nggak lah, cuman kok mereka nggak datang-datang ini dah jam berapa." Redanti mencoba berkilah meski sebenarnya dirinya memang merasa belum ingin bertemu gara-gara tingkah kurang ajar Abdi padanya.
"Hai Assalamualaikum."
"Wa alaikum salam, mari silakan duduk Pak Abdi, Mbak Neta dan Mas-mas ya ini, mari silakan." Silvi segera menyilakan duduk saat suara berat Abdi terdengar dan Redanti hanya bisa menatap laki-laki gagah yang terus menatapnya sambil tersenyum. Redanti membalas senyumnya Abdi dengan canggung, ia hanya mengangguk saja saat Abdi duduk tepat di depannya.
Neta segera mendekati Redanti dan mencium pipi kiri kanan mantan istri sepupunya yang selalu tampak awet muda.
"Tetep cantik aja Mbakku ini."
"Halah yang kapan hari kita sudah ketemu ya tetep gini ini."
"Hehe iya ya pas Mas Abdi sakit dan pura-pura kolokan ye kaaan?" Neta menghentikan tawanya saat mata Abdi melotot padanya.
Tak lama makanan dan minuman mulai dihidangkan. Sesekali Redanti menyilakan tamu-tamunya menikmati makanan yang telah disajikan. Lalu ia mulai menikmati makan siangnya. Redanti benar-benar tak bisa leluasa makan karena tatapan Abdi yang terus mengurungnya hingga ia merasa apa yang ia lakukan salah.
"Makasih buketnya cantik banget, secantik kamu."
Dan Redanti tersedak dan segera meraih minumannya, ia bingung karena merasa tidak mengirim buket pada Abdi. Ia melirik pada Silvi dan Silvi hanya nyengir kuda.
"Nggak perlu kirim buket sebesar itu Ca, bagi aku, kamu lebih indah dan cantik dari buket bunga itu, ucapan terima kasihnya cukup senyum kamu aja."
"Silakan Mas jika ingin makanan yang lain." Redanti mencoba mengalihkan pembicaraan meski Abdi mengecilkan suaranya Redanti yakin Neta dan Silvi yang duduk tak jauh dari mereka mendengar semua yang dikatakan Abdi, terlihat dari wajah Neta dan Silvi yang beberapa kali menahan tawa.
"Nggak aku sudah merasa kenyang hanya dengan melihatmu," bisik pelan suara Abdi, wajah Redanti memerah seketika.
"Caaa ... " panggilan suara yang sangat dikenal Redanti membuat Redanti mendongak dan tersenyum lebar.
"Hei Mas Lanang, sama siapa? Gabung yuk?" ajakan Redanti membuat wajah Abdi berubah kesal. Abdi merasa jika selalu saja Lanang datang di saat tak tepat.
"Nggak makasih Ca, aku ada janji sama klienku, itu di meja sana." Jawaban Lanang membuat Abdi menoleh dan tersenyum miring. Tangannya perlahan tapi pasti menggenggam tangan Caca yang ada di depannya, Caca yang kaget segera menarik namun ia kalah kuat.
"Ah yaaa betul itu Ca, Pak Lanang menolak, alangkah anehnya jika ia bergabung ke sini, ini kan acara merayakan kesuksesan kita karena penanganan kasus kamu berjalan sesuai harapan kita."
Lanang yang merasa diusir segera tahu diri, ia hanya tersenyum dan melangkah menuju meja yang telah disiapkan. Apalagi ia melihat bagaimana Abdi sengaja menggenggam tangan Caca, seolah ingin memberi tahu agar mereka tidak diganggu. Dan saat Lanang telah menjauh Abdi sedikit merenggangkan genggamannya kesempatan ini digunakan Redanti untuk segera menarik tangannya. Ia menatap tajam mata Abdi, sedangkan Abdi membalasnya dengan tatapan mesra.
"Bisa nggak sih nggak usah pegang-pegang," bisik Redanti dengan suara serendah mungkin, menahan marah dan malu.
"Nggak bisa, kamu milik aku, selamanya milik aku." Suara Abdi juga direndahkan tapi penuh penekanan.
"Nggak lagi," sahut Redanti.
"Kita lihat aja nanti, gimana akhir pertarungan ini." Keduanya saling menatap dengan tajam.
