Bab 3
Ketika Rey memasuki hutan gelap itu semakin dalam, atmosfernya berubah drastis. Udara menjadi lebih dingin, sunyi menyelimuti setiap langkahnya, dan kabut tipis menggantung di antara pepohonan tua yang menjulang seperti makhluk mati yang diam mengawasi.
Monster mulai bermunculan dari berbagai penjuru. Ada yang melata seperti ular bermata banyak, ada yang terbang dengan sayap sobek dan cakar tajam, bahkan ada yang muncul begitu saja dari bayangan pohon—makhluk bayangan berwajah tanpa mata, mengeluarkan raungan yang bisa membuat pria dewasa kencing di celana.
Namun anehnya, tak satu pun dari mereka berhasil menyentuh Rey.
Reaksi tubuhnya hampir seperti sihir tersendiri. Setiap kali cakar meluncur, ia sudah melompat ke kiri. Saat taring mengarah ke lehernya, tubuhnya membungkuk tepat waktu. Bahkan serangan dari arah yang tak terlihat pun, entah bagaimana, tubuhnya selalu bergerak secara refleks, menghindar dengan presisi yang mustahil.
Sistem yang tertidur dalam dirinya mulai aktif.
> [Skill Passive: Dodge Lv.1 — Aktif]
Kemampuan menghindar secara refleks meningkat drastis. Semua serangan fisik yang tidak diperkuat sihir dapat dihindari dengan presisi ekstrem.
Setiap pertarungan yang ia lalui tanpa luka bukan hanya menyelamatkan hidupnya, tetapi juga memperkuat instingnya. Gerakannya jadi semakin ringan, tubuhnya seperti menari di antara serangan demi serangan.
Dan kemudian, saat ia menghindari serangan beruntun dari tiga monster sekaligus—seekor serigala bayangan, seekor kadal api, dan satu makhluk bersayap—tiba-tiba dunia sekitarnya melambat, matanya menangkap gerak sekecil apapun, dan tubuhnya bergerak lebih cepat dari pikirannya.
> [Skill Passive: Dodge Lv.2 — Diperoleh!]
Jangkauan refleks meningkat. Kecepatan tubuh saat menghindar naik secara signifikan. Serangan yang sebelumnya nyaris mengenai, kini tak lagi mampu menyentuh.
Bonus tambahan: Gerakan dapat menghindari sihir dengan delay lambat.
Rey terdiam sejenak setelah ketiga monster itu akhirnya saling bertabrakan sendiri karena gagal menyerangnya. Ia terengah-engah, keringat membasahi wajah, tapi matanya kini berbeda. Tajam. Terlatih.
“...Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku,” gumamnya, “tapi kalau ini satu-satunya kekuatan yang kumiliki… maka aku akan bertahan dengan ini.”
Semakin dalam ia masuk, semakin banyak monster yang datang.
Namun kini, mereka bukanlah teror—mereka adalah ladang latihan.
Dan tanpa Rey sadari... dari balik semak-semak hutan, sepasang mata mengawasinya. Bukan monster. Tapi seorang wanita bertudung gelap, dengan senyum tipis dan mata perak yang bersinar lembut.
"Menarik... dia belum menyentuh sihir, tapi tubuhnya sudah mulai berevolusi."
Hingga pada akhirnya, setelah melewati hutan-hutan penuh monster dan malam-malam panjang yang hampir merenggut jiwanya, Rey tiba di depan sebuah pintu gerbang raksasa yang menjulang sunyi di tengah kabut pekat.
Di sana, terukir dengan huruf kuno yang berkilau samar merah darah:
"Akademi Bayangan"
Gerbangnya terbuat dari logam hitam legam, penuh goresan dan bekas serangan tajam. Di atasnya, patung dua sosok bersayap hitam saling membelakangi—yang satu memegang belati, yang satu lagi menggenggam buku berdarah.
Di sekeliling gerbang, sudah banyak orang berkumpul. Bukan bangsawan bermahkota atau penyihir berjubah emas. Mereka tampak seperti bayangan yang keluar dari kegelapan dunia: anak-anak jalanan, petarung sewaan, gadis-gadis dengan mata penuh trauma, dan pemuda dengan luka di seluruh tubuh. Semuanya datang dari berbagai wilayah penjuru dunia—bukan untuk menjadi pahlawan, tapi untuk menjadi senjata.
Akademi Bayangan.
Bukan bagian dari kerajaan. Tak dicatat dalam arsip istana. Tapi reputasinya… menakutkan.
Di dunia bawah, di antara para pembunuh bayaran, mata-mata, dan penyihir gelap, nama akademi ini bersinar seperti kutukan suci. Mereka tidak mencari kebajikan. Mereka mencari kemampuan.
Banyak pembunuh legendaris lahir dari sini. Mereka yang bisa membunuh raja dalam mimpi. Mereka yang bisa menghentikan jantung seseorang hanya dengan tatapan. Dan kini, Rey Vendermore—si anak buangan, pelukis bata merah, pemilik skill Dodge yang mustahil—berdiri di hadapan pintu itu.
Tanpa bicara, gerbang itu terbuka sendiri. Suara dentingan berat menggema ke seluruh lembah, seolah menyambut siapa saja yang cukup nekat untuk masuk.
Seorang pria tua bertubuh kurus tinggi berdiri di balik pintu. Kulitnya pucat, matanya hitam legam tanpa bola putih, dan senyumannya dingin seperti salju malam.
“Selamat datang… para calon bayangan. Di sini, tidak ada raja. Tidak ada dewa. Hanya kau… dan kematianmu yang tertunda.”
Rey melangkah masuk bersama ratusan orang lainnya. Tapi langkahnya ringan, mantap. Ia tahu, ini bukan tempat untuk berharap… tapi tempat untuk menjadi monster yang bertahan di dunia penuh monster.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa: "Ini tempatku."
Ketika Rey melangkahkan kakinya melewati ambang gerbang hitam, suasana di depan akademi langsung berubah hening. Suara bisik-bisik mendadak lenyap, digantikan oleh tatapan tajam penuh tanda tanya dari ratusan calon siswa lain.
Jalur gerbang hitam bukan jalur masuk biasa.
Itu adalah rute terkutuk—jalur penuh monster buas, perangkap ilusi, dan ujian hidup-mati yang hanya dilewati oleh mereka yang haus darah atau tidak lagi punya rasa takut. Biasanya, jalur itu hanya dibuka bagi eksekutor senior… atau para tahanan yang sengaja dijebak agar mati di dalamnya.
Tapi Rey… seorang pemuda kurus yang bahkan tak terlihat membawa senjata, melangkah keluar dari jalur itu dengan tubuh penuh luka tapi mata yang tajam dan tetap hidup.
Sontak, gumaman dan bisikan mulai pecah dari kerumunan.
"Itu jalur hitam… dia masuk dari jalur itu…?"
"Enggak mungkin. Dia pasti dibantu. Mustahil bocah biasa bisa selamat dari sana."
"Siapa dia sebenarnya?"
Namun sebelum prasangka semakin liar, udara di sekitar gerbang mendadak mendingin. Bayangan panjang menjalar di tanah, dan dari atas tiang batu hitam, muncullah sosok berjubah gelap.
Wanita itu melayang turun pelan, tanpa suara, rambut peraknya tergerai di balik tudung yang setengah terbuka. Matanya perak pucat, dan di bawah jubahnya tersembunyi bilah senjata kecil berkilau seperti bulan sabit.
“Cukup.”
Suaranya dingin tapi menggema tajam, memotong semua kegaduhan seperti pisau.
“Aku adalah Lyra, pengawas jalur hitam sekaligus pengajar utama di Akademi Bayangan.”
Ia menatap seluruh kerumunan sebelum kemudian mengarahkan pandangannya lurus ke arah Rey.
“Tidak ada yang membantunya. Dia melewati jalur itu seorang diri. Aku menyaksikan semuanya dari awal hingga akhir.”
Lyra berjalan pelan mendekati Rey, lalu berdiri di sampingnya.
“Dia tidak punya mana. Tidak punya teknik bela diri. Hanya satu skill yang ia miliki—Dodge murni, tanpa campur tangan sihir. Tapi dia menggunakannya dengan sangat sempurna. Seperti penari di tengah lautan maut.”
Kerumunan terdiam. Beberapa bahkan menunduk, malu dengan gumaman sebelumnya.
“Dan yang paling penting…” lanjut Lyra sambil menoleh ke arah Rey dengan senyum tipis, “...dia tidak pernah berhenti bergerak. Bahkan ketika dirinya sudah hampir mati. Dia bukan bakat biasa. Dia… adalah bentuk ideal dari apa yang dicari Akademi ini.”
Lalu ia berbalik menghadap para siswa baru.
“Ambil pelajaran dari anak ini. Di sini, tidak ada darah bangsawan. Tidak ada jubah kehormatan. Hanya kemampuanmu untuk bertahan dan membunuh yang dihitung.”
Matanya kembali ke Rey, lalu dengan nada nyaris tak terdengar ia berbisik,
“Selamat datang di neraka yang akan mengubahmu, Rey Vendermore.”
Dan saat Rey menatap ke arah pelataran dalam akademi—ia tahu, perjuangannya baru saja dimulai.
Langit di atas Akademi Bayangan tampak gelap meski matahari belum sepenuhnya tenggelam. Kabut tipis menggantung rendah, membungkus kompleks akademi seperti selubung misteri yang tak pernah pergi. Setelah perkenalan singkat dari Lyra, seluruh calon siswa—sekitar dua ratus orang—digiring menuju halaman tengah yang dikelilingi bangunan-bangunan hitam tinggi tanpa jendela.
Di tengah halaman berdiri sebuah panggung batu, dan di atasnya, seorang pria besar berotot dengan bekas luka menyilang di wajahnya, mengenakan armor gelap tanpa lambang apapun. Suaranya menggelegar saat berbicara, seolah mengguncang tanah.
“Nama aku: Gravon.”
“Aku pelatih asrama. Dan ini… adalah orientasi kalian. Selamat datang di tahap penyaringan.”
Dia mengangkat tangan, dan di belakangnya muncullah empat sosok dengan jubah berbeda warna: Merah, Biru, Abu-abu, dan Hitam. Masing-masing berdiri dengan kepala tegak dan aura mengintimidasi.
“Ada empat asrama di Akademi Bayangan,” Gravon melanjutkan, “dan kau tidak bisa memilih. Asrama yang memilihmu. Tapi untuk itu… kau harus bertahan."
Tiba-tiba, tanah bergetar. Lantai halaman tempat para calon siswa berdiri mulai terbuka dalam pola melingkar. Tanah di bawah mereka runtuh, dan semuanya—tanpa peringatan—jatuh ke dalam lubang besar yang gelap.
Rey sempat berpegangan pada pecahan batu, tapi akhirnya ikut terjatuh, tubuhnya menghantam dinding bebatuan saat menukik turun.
Dan saat ia membuka matanya...
Ia berada di dalam arena bawah tanah besar. Cahaya samar dari obor di dinding memberikan pemandangan yang cukup jelas: tanah berpasir, bebatuan tajam di mana-mana, dan suara raungan samar dari lorong-lorong yang tersambung ke arena.
Gravon kembali terdengar, entah dari mana.
“Tugas kalian sederhana. Bertahan selama satu malam di bawah sini. Kalian boleh membentuk aliansi. Boleh saling membunuh. Tapi hanya yang masih berdiri saat fajar yang akan diterima di asrama.”
“Selamat datang… di Seleksi Bayangan.”
Dan saat itu juga, pintu-pintu besi di sekitar arena terbuka.
Monster mulai bermunculan.
Makhluk-makhluk kecil dan cepat dengan mata merah menyala. Beberapa seperti manusia, tapi merangkak dan mengaum, lainnya tampak seperti bayangan hidup dengan senjata tajam di tangan.
Rey langsung bergerak. Skill Dodge-nya berfungsi sempurna, tapi dia tahu: ini bukan lagi tentang menghindar. Ini tentang bertahan. Dan di tengah kegelapan itu, terdengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya—bukan monster.
