Bab 2
Beberapa minggu kemudian, Rey pun mencoba peruntungannya di akademi sihir lain. Ia menempuh perjalanan jauh, menjual satu-satunya jubah warisan ibunya untuk ongkos menuju ibu kota barat, tempat berdirinya Akademi Aetherion—tempat yang konon lebih "terbuka" terhadap para kandidat dari kalangan rendah.
Namun hasilnya masih tetap sama.
Rune tak bersinar.
Kristal tak bereaksi.
Penguji hanya memandangnya dengan mata kasihan yang tipis-tipis menyimpan hinaan.
"Maaf, Rey Vendermore. Kamu tidak memiliki cukup mana dasar untuk memanaskan bahkan sebiji batu pun. Tidak ada dasar untuk pengembangan. Akademi Aetherion tidak bisa menerimamu."
Ucapan itu seperti salinan dari apa yang sudah ia dengar sebelumnya. Dan sebelumnya lagi. Dan lagi. Setiap akademi yang ia datangi, setiap ujian yang ia coba, berakhir sama: dengan penolakan.
Dan setiap penolakan itu, meski menyakitkan, membuat Rey semakin diam. Semakin dingin.
Ia mulai tidur di kandang kosong milik peternak, makan dari sisa pasar, dan bekerja apapun yang bisa memberinya sekeping koin—sekadar agar bisa mencoba ujian berikutnya. Namun tak peduli sekeras apapun dia mencoba... hasilnya selalu nihil.
Namun Rey tetap berusaha untuk terus hidup.
Meski sihir menolaknya, dunia menertawakannya, dan tubuhnya terus melemah, tekadnya belum padam. Ia menolak untuk tenggelam. Jika tidak bisa menjadi penyihir… maka ia akan bertahan sebagai manusia.
Dengan sehelai arang dan kertas lusuh yang ia pungut dari sisa-sisa pasar, Rey mulai menggambar. Awalnya hanya untuk mengusir sepi, untuk mengalihkan rasa lapar. Tapi garis-garisnya semakin hidup. Tangannya mengalirkan bentuk-bentuk yang indah dan kelam: potret wajah-wajah asing, lanskap kota berkabut, dan simbol-simbol misterius yang ia sendiri tak tahu dari mana datangnya.
Lukisannya mulai menarik perhatian.
Di sudut pasar gelap, di mana sihir dan emas tak bisa menjangkau semua orang, orang-orang mulai membayar beberapa koin untuk lukisan Rey. Seorang wanita pemilik kedai bahkan memberinya semangkuk sup hangat hanya karena lukisan dinding yang Rey buat mengingatkannya pada suaminya yang hilang.
"Anak sepertimu... seharusnya tidak hidup di jalanan," katanya, lembut. Tapi Rey hanya tersenyum samar dan pergi sebelum pagi datang.
Dari kertas ke kanvas murahan, dari arang ke tinta, Rey mulai menciptakan dunia dengan tangannya. Tapi ada yang aneh... beberapa lukisannya mulai berubah saat malam tiba. Garis-garisnya bergerak, bentuk-bentuknya menyusun simbol yang tak dikenalnya, dan... satu lukisan, yang ia buat dalam keadaan setengah tertidur, menunjukkan sosok hitam tinggi bermata api yang berdiri tepat di atas tempat tidurnya.
Keesokan paginya, lukisan itu hilang.
Dan liontin miliknya kembali bergetar.
Suara itu muncul lagi. Kali ini lebih jelas, lebih dalam, lebih akrab.
"Teruslah menggambar, Rey Vendermore. Tanganku menuntun milikmu. Dan saat waktunya tiba... kau akan tahu siapa dirimu sebenarnya."
Sejak hari itu, orang-orang di pasar mulai mengenalnya dengan sebutan Rey Si Tintah Merah.
Bukan karena ia memiliki tinta ajaib, bukan karena ia mewarisi alat lukis warisan penyihir besar—melainkan karena ia menggambar dengan sesuatu yang sederhana dan tak lazim: pecahan bata merah.
Dengan pecahan kecil itu, ia mencoret-coret tembok kosong, papan kayu, bahkan karung bekas. Tapi hasilnya… hidup. Setiap gambar yang ia buat seolah menyimpan jiwa. Tatapan mata dalam potret-potret buatannya terasa nyata, adegan kota yang ia lukis seakan bisa menghembuskan angin dingin, dan simbol-simbol asing yang kadang muncul di latar belakang... menggugah rasa takut dan kagum sekaligus.
Anak-anak menyukainya, menyebutnya “pelukis sihir tanpa sihir.”
Orang dewasa? Sebagian mulai menghindarinya, takut dengan lukisan-lukisan yang terkadang muncul begitu saja di tembok tempat ia tidur semalam.
Namun meski sebutan “Rey Si Tintah Merah” mulai dikenal, Rey sendiri tetap diam. Ia terus hidup dari koin receh dan makanan sisa, tidur berpindah dari satu gudang ke gang lain. Namun satu hal tak pernah berhenti: ia menggambar. Setiap malam. Tanpa tahu kenapa. Tanpa bisa berhenti.
Sampai suatu malam...
Di tengah hujan gerimis, seorang wanita berjubah hitam berdiri di depan tembok pasar—tepat di depan lukisan Rey yang terbaru. Sebuah gambar besar: lingkaran rumit berisi mata tertutup, dikelilingi simbol-simbol kuno. Tak ada yang tahu Rey menggambarnya kapan. Tapi wanita itu berdiri lama, menatapnya dengan sorot mata tajam dan... hormat.
“Kau bahkan tidak sadar apa yang telah kau bangkitkan, Rey Vendermore,” gumamnya pelan.
Malam itu, untuk pertama kalinya, Rey tidak sendirian saat tidur. Di dalam mimpi, sosok hitam bermata api dari lukisan yang dulu ia buat—yang menghilang—berdiri di depannya.
Namun kali ini, sosok itu berbicara dengan jelas.
"Sudah cukup bermain di pinggir neraka. Kau siap menggenggamnya, atau tetap hidup seperti anjing jalanan, Rey Si Tintah Merah?"
Suara itu dingin. Tapi menantang.
Namun Rey hanya tampak diam dan seolah tidak memperdulikan suara itu.
Sosok bermata api itu menatapnya dalam diam, seakan menunggu... tapi Rey tak memberi jawaban. Ia hanya menatap balik, tanpa rasa takut, tanpa gairah, tanpa apapun. Seolah ia telah mengubur harapan, impian, bahkan jiwanya—jauh di dalam, terkubur di bawah segala penolakan dan kesepian yang menumpuk selama ini.
"Pergilah," katanya pelan. "Aku bahkan tak tahu lagi kenapa aku masih bernapas."
Dan dalam sekejap, sosok itu lenyap, kembali ke bayangan, kembali ke dalam dirinya.
Beberapa hari kemudian, saat pasar mulai hidup seperti biasa, Rey duduk di sudut, menggambar seekor burung patah sayap di dinding kayu. Orang-orang lewat seperti biasa, sebagian melihat karyanya dengan kekaguman diam, sebagian menghindar tanpa alasan yang jelas.
Namun hari itu berbeda.
Seorang pedagang tua dengan kereta penuh kain tenun berhenti di depannya, lalu menatap lukisan Rey dalam-dalam.
“Kau Rey... si Tintah Merah?” tanyanya, suaranya berat dan agak bergetar.
Rey hanya mengangguk, malas menjawab.
Pedagang itu melirik ke kiri dan kanan, memastikan tak ada yang terlalu dekat, lalu duduk di tanah di sebelah Rey. Ia membuka kantong anggurnya, menawarkannya, tapi Rey menolak.
“Ada sebuah tempat...” kata si pedagang, lirih. “Sebuah akademi. Bukan milik kerajaan, bukan pula dicatat dalam daftar resmi. Mereka tidak peduli pada status, darah, atau mana. Yang mereka cari hanya satu: orang-orang yang berbeda. Yang... patah, tapi masih hidup.”
Rey menoleh pelan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ada sesuatu yang mengusik tatapannya.
“Di mana?”
“Di balik Lembah Tir Na’fal. Terlupakan oleh peta, tapi bukan oleh takdir.” Si pedagang tersenyum, lalu menyelipkan sesuatu ke dalam saku Rey—selembar kertas tua berisi simbol aneh yang samar bersinar merah bata, serupa dengan simbol yang sering muncul di lukisan Rey sendiri.
“Kalau kau mencarinya... jalan akan terbuka. Tapi hanya jika kau benar-benar ingin mencari, bukan sekadar lari.”
Pedagang itu berdiri dan pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Rey menatap kertas itu lama. Simbolnya berdenyut halus, seperti nadi yang hidup.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama... Rey mulai berjalan ke arah yang tidak ia kenal.
Rey pun memutuskan untuk mengikuti petunjuk itu. Dengan tekad yang mulai menggelora, ia mengemas barang seadanya—lukisan-lukisannya yang paling berharga, pecahan bata merah yang selalu ia gunakan, dan liontin perak warisan ibunya.
Setelah meninggalkan kota Vendermore, Rey melangkah memasuki dunia yang sama sekali berbeda. Hutan-hutan lebat dan pegunungan yang menjulang tinggi menjadi penghalang pertama dalam perjalanannya menuju Lembah Tir Na’fal. Di sinilah ujian sebenarnya dimulai.
Malam pertama di hutan, Rey mendengar suara-suara aneh: rintihan, gemerisik daun, dan suara cakar menggores tanah. Ia segera merasakan tatapan mata yang tak kasat mata mengintai dari kegelapan.
Tiba-tiba, dari balik pepohonan, muncul sosok besar dan berlumuran darah: makhluk bertubuh besar dengan kulit seperti batu kasar, tanduk melengkung, dan mata merah menyala. Monster itu menggeram dan menyerang dengan cakarnya yang tajam.
Rey tak punya sihir, tak punya senjata. Ia hanya bisa mengandalkan insting dan keberanian. Dengan sebatang ranting kayu di tangan, ia mencoba bertahan, menghindar dari serangan ganas monster itu. Tubuhnya terluka beberapa kali, tapi ia berhasil melarikan diri ke dalam gua kecil yang ia temukan di dekatnya.
Di dalam gua, Rey beristirahat dan menenangkan diri. Namun, malam belum berakhir. Dari dalam kegelapan gua, suara bisikan kembali terdengar, kali ini lebih jelas dan mendesak.
"Jangan takut, Rey. Aku akan memberimu kekuatan jika kau mau."
Rey menutup mata dan menggenggam liontin peraknya erat-erat, mencoba menolak godaan yang belum sepenuhnya ia mengerti.
Hari-hari berikutnya Rey melewati berbagai rintangan: kawanan serigala bayangan yang mengintai dari balik semak, rawa beracun yang hampir menelan langkahnya, dan sebuah danau hitam di mana makhluk air berkepala banyak muncul menyeramkan.
Setiap kali menghadapi ancaman, Rey belajar untuk mengandalkan naluri dan kreativitasnya, terkadang menggunakan pecahan bata merah sebagai alat pertahanan darurat, melukis simbol di tanah yang entah kenapa seolah bisa menenangkan beberapa makhluk.
Perjalanan itu menjadi campuran antara perjuangan hidup dan pembelajaran keras tentang dunia yang jauh lebih gelap dan berbahaya dari yang pernah ia bayangkan.
Namun, meskipun lelah dan terluka, ada satu hal yang membuatnya terus maju: bisikan itu, suara yang terus memanggilnya lebih dalam ke dalam kegelapan, menawarkan janji kekuatan yang tak pernah ia miliki.
