
Ringkasan
Kejadian aneh di masa depan membuat alat elektronik tidak berfungsi lagi,dugeon-dugeon mulai bermunculan. Ancaman moster di mana-mana. Ratusan tahun sejak kejadian itu, mengubah dunia yang awalnya biasa menjadi dunia fantasi yang di penuhi dengan sihir dan kultivasi berkembang pesat. Di sebuah kerjaan bernama Vendermore lahirlah seorang anak Bernama Reynolds dia adalah putra ketiga dari 4 bersaudara. Beberapa tahun sejak hari itu,kini usia Rey sudah menginjak 16 tahun. Saat itu lah upacara pendewasaan di mulai,dimana dia akan mendapatkan kekuatan. Namun kekuatan di bangkitkan oleh Rey bukanlah kekuatan yang dapat di banggakan. Kekuatan yang dia dapatkan saat itu adalah Hindaran dengan Winrate 100%. Oleh karena itu,skill nya tidak dapat membuatnya bertarung,hingga dia mulai di pandang sebelah mata oleh keluarga bangsawan.
Bab 1
Langit di atas Vendermore berwarna kelabu, meski matahari bersinar terang. Suara lonceng berdentang tiga kali dari menara pusat kerajaan—tanda dimulainya Upacara Pendewasaan bagi para bangsawan muda yang genap berusia enam belas tahun.
Di tengah aula batu berukir, puluhan anak muda berdiri tegap. Jubah mereka rapi, lambang keluarga masing-masing terpampang di dada. Namun di antara semua itu, ada satu anak laki-laki yang berdiri dengan wajah datar, pandangannya kosong seperti sudah tahu apa yang akan terjadi.
Reynolds Vendermore.
Putra ketiga dari Adipati Lionel Vendermore. Wajahnya mirip ibunya—yang sudah lama tiada—dan hanya itu yang tersisa darinya. Dalam keluarga yang mengagungkan kekuatan dan prestasi, Rey hanyalah bayangan. Tidak menonjol. Tidak dianggap.
Dan kini, saatnya tiba.
Cahaya biru menyelimuti tubuhnya ketika Kristal Pencerahan ditempatkan di atas kepalanya. Aura sihir menggulung di sekeliling, menciptakan pusaran kecil. Semua mata tertuju padanya. Beberapa mengangkat alis—entah harapan atau cemoohan.
Rey memejamkan mata. Dalam gelap, ia mendengar suara lirih, nyaris tak terdengar.
"Kau telah memilih jalanmu: Hindaran – 100%."
Cahaya lenyap.
Hening. Tak ada aura menggelegar. Tak ada sihir yang meledak. Hanya layar transparan yang muncul di udara.
Beberapa detik berlalu dalam diam. Lalu, gumaman mulai terdengar. Satu tawa kecil mencuat, lalu menjalar menjadi ejekan.
“Seratus persen menghindar? Jadi dia cuma tahu cara lari?”
“Bangsawan macam apa itu? Tidak bisa menyerang sedikit pun?”
“Lucu sekali. Bahkan pelayan magang punya skill yang lebih berguna dari itu.”
Rey berdiri kaku, pandangannya tetap mengarah lurus ke depan. Tapi ia bisa merasakan tatapan itu—penuh cemooh, geli, kasihan. Mereka memandangnya seperti benda rusak, produk gagal dari keluarga bangsawan yang terkenal kuat.
Di ujung aula, ayahnya, Duke Lionel, hanya mengangguk pelan, tanpa senyum, tanpa tepuk tangan. Wajahnya tenang, tapi dingin seperti marmer. Tidak ada rasa bangga di sana—bahkan tidak ada kemarahan. Hanya... kekecewaan yang membeku.
Rey menunduk perlahan.
"Jadi begini rasanya diremehkan di depan semua orang." Gumamnya.
Namun jauh di dalam dadanya, firasat itu kembali muncul. Suara halus di benaknya—bukan dari luar, tapi dari dalam dirinya sendiri.
"Kalau tak bisa diserang, maka... siapa yang bisa menghentikanku?" Pikirnya dalam hati.
Ia mengangkat wajahnya lagi.
Diam. Tapi matanya mulai memantulkan sesuatu yang lain—bukan marah, bukan sedih. Hanya seberkas keyakinan kecil, yang masih bersembunyi dalam bayang-bayang.
Sejak hari itu, Rey berubah.
Tak lagi terlihat berjalan-jalan di taman belakang istana seperti biasanya, atau duduk membaca di lorong yang menghadap taman anggur. Ia lebih sering mengurung diri di kamar, di lantai tiga sayap timur kastil—sayap yang jarang dilalui, seolah dunia pun ikut melupakannya.
Langit cerah tak pernah lagi menariknya keluar. Gelak tawa anak bangsawan lain hanya terdengar samar dari balik jendela tebal. Rey tenggelam dalam diam, tubuhnya terbungkus sunyi yang pekat.
Meja kayu di sudut kamar menjadi satu-satunya saksi perasaannya. Di sanalah ia mencurahkan segalanya lewat pena, arang, dan kuas. Lukisan demi lukisan memenuhi dinding—pemandangan yang tak pernah ia lihat, makhluk aneh, dan wajah-wajah asing yang entah siapa. Kadang, ia menggambar sosok berjubah berdiri sendiri di tengah badai. Kadang, ia menggambar dirinya sendiri—kecil, membelakangi semuanya.
Itu pelariannya. Dunianya sendiri. Satu-satunya ruang di mana ia tidak harus mendengar kata “lemah”.
Namun dalam setiap garis dan warna, ia tak pernah menggambar sosok yang menyerah. Bahkan sosok yang berdiri di tengah badai itu, selalu tegak—selalu berdiri.
Hari itu, ketukan terdengar di pintu kamar Rey—pelan, ragu-ragu, seperti tak ingin mengusik terlalu keras.
Rey meletakkan kuasnya, matanya menatap sejenak pada lukisan terakhirnya: siluet seorang lelaki muda berdiri di ujung tebing, menghadap langit yang terbelah dua.
“Masuk,” ucapnya tanpa semangat.
Seorang pelayan muda masuk dengan kepala tertunduk. Ia memegang selembar surat bersegel, matanya sesekali mencuri pandang ke arah Rey yang tampak pucat di bawah cahaya sore.
“Yang Mulia Duke Lionel memerintahkan agar Tuan Muda Reynolds bersiap… untuk masuk ke Akademi Vendermore. Hari keberangkatan ditetapkan tiga hari lagi.”
Rey diam sejenak, memandangi surat itu seakan benda asing.
“Akademi?” gumamnya. “Untuk apa aku ke sana? Tidak ada yang bisa kulatih.”
Pelayan itu menggigit bibirnya, tak tahu harus menjawab apa. Ia sekadar menjalankan perintah, bukan menjelaskan maksud di baliknya.
Namun Rey tahu… ini bukan kesempatan. Ini pengasingan yang dibungkus kehormatan. Akademi Vendermore memiliki beberapa tingkat, dan mereka yang dianggap "tak berbakat" biasanya ditempatkan di kelas terendah—tempat para buangan, anak haram, dan murid tanpa masa depan.
Ia mengalihkan pandang ke luar jendela. Angin sore membawa aroma tanah basah dan bunga mawar dari taman di bawah. Rasanya begitu jauh dari dunia yang ia kenal.
“Baik,” katanya akhirnya. “Sampaikan pada Ayah, aku akan bersiap.”
Pelayan itu membungkuk, lalu keluar dengan langkah cepat, lega karena tidak terjadi pertanyaan sulit.
Saat pintu kembali tertutup, Rey menarik napas panjang.
"Jadi begini caramu menyingkirkanku, Ayah… Tapi tak apa. Di sana pun aku akan berdiri sendiri. Sama seperti di sini." Ujarnya.
Ia menatap kembali lukisannya. Kini, ia merasa sosok di atas tebing itu sedikit lebih nyata.
Dan mungkin… saatnya ia melangkah ke dunia yang menunggu untuk meremehkannya sekali lagi.
Tiga hari kemudian, kereta kerajaan yang membawa Rey berhenti tepat di gerbang besar Akademi Vendermore.
Bangunan itu menjulang tinggi, megah dengan menara-menara batu yang dihiasi ukiran sihir kuno. Di balik gerbang, lapangan pelatihan terbentang luas, dipenuhi siswa yang tengah berlatih sihir, bela diri, dan teknik kultivasi. Aura kekuatan memenuhi udara—nyata dan menekan.
Begitu Rey turun dari kereta, suara bisik-bisik mulai terdengar.
"Itu dia… anak ketiga Duke Lionel."
"Yang dapat skill Hindaran, kan? Ha! Seratus persen lari dari pertarungan."
“Ngapain datang ke sini? Akademi ini bukan untuk pengecut.”
“Pasti dimasukkan ke Kelas Abu—tempat sampah semua murid gagal.”
Tatapan demi tatapan menusuk, seperti jarum yang menyusup ke kulit. Namun Rey tak mengangkat kepala. Ia tetap melangkah, tenang, tanpa memedulikan bisik yang menumpuk di sekelilingnya.
Di depan aula utama, seorang pengawas berseragam gelap menunggu. Di tangannya, sebuah daftar nama dan sebuah batu sihir yang berkilauan redup.
“Reynolds Vendermore,” ucapnya datar. “Sesuai protokol, kau harus melewati Ujian Penerimaan. Tes pertama dimulai sekarang. Siapkan dirimu.”
Rey mengangguk pelan. “Tes apa?”
“Uji reaksi dan ketahanan terhadap tekanan sihir. Jangan khawatir,” ia tersenyum miring, “meskipun namamu besar, hasilmu tetap akan menentukan kelas mana yang akan menampungmu. Bahkan jika hasilnya... nol.”
Seorang instruktur lain membawanya ke lapangan dalam.
Di sana, batu sihir besar dipasang di tengah lingkaran rune. Di sekelilingnya, murid-murid lain menonton. Beberapa sudah mengenali wajah Rey dan menahan tawa.
"Si pengecut akan dites juga rupanya."
“Berapa detik sebelum dia pingsan?”
Namun saat Rey Vendermore melangkah ke dalam lingkaran Rune, tak ada yang terjadi.
Tak ada cahaya, tak ada getaran energi, tak ada reaksi sekecil apa pun. Rune itu tetap mati, seolah menolak keberadaannya. Di sekelilingnya, para peserta lain mulai berbisik—lalu tawa kecil terdengar, menggema di aula batu Akademi Sihir Astria.
"Dia serius? Bahkan anak kampung dari distrik barat pun bisa bikin Rune itu menyala sedikit."
"Mana-nya nol... apa dia pikir ini sekolah tani?"
Rey hanya berdiri diam. Tubuhnya kaku, jari-jarinya mengepal erat di sisi tubuh. Wajahnya menunduk, tak mampu menatap siapa pun. Bukan karena takut—tapi karena rasa yang lebih menyakitkan: pengakuan. Bahwa kemungkinan besar... mereka semua benar.
Seorang pengawas berpakaian gelap berjalan menghampiri dengan papan penilaian di tangan. Suaranya keras dan jelas, menggema di aula.
“Rey Vendermore. Hasil: Tidak Lulus. Tidak ada resonansi mana terdeteksi. Tidak memenuhi syarat minimum untuk mengikuti seleksi lanjutan.”
Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam dadanya. Tapi Rey tidak bereaksi. Ia hanya menunduk lebih dalam, lalu melangkah keluar dari Rune dengan langkah perlahan.
Di luar aula, langit mendung menggantung berat di atas Akademi. Angin sore membawa dingin yang menggigit tulang, tapi Rey nyaris tak merasakannya. Ia hanya duduk di tangga batu, menatap kedua telapak tangannya.
Kosong.
Tak ada sihir. Tak ada harapan. Hanya dirinya sendiri... dan kenyataan bahwa impiannya berakhir bahkan sebelum sempat dimulai.
Beberapa peserta lain melewatinya, sebagian bersorak karena lolos seleksi, sebagian sekadar membicarakan materi ujian berikutnya. Tak ada yang menoleh padanya. Tak ada yang peduli.
Di kejauhan, dari balik jendela atas akademi, seorang pengawas senior—berjubah hitam dengan lambang sayap perak di bahunya—menatap Rey dengan sorot mata penuh pertanyaan.
“Dia benar-benar tidak punya mana... tapi ada sesuatu. Kekosongan itu... bukan ketidakhadiran, melainkan sesuatu yang tertutup rapat.”
Namun Rey tak tahu apa-apa soal itu. Baginya, hari ini hanya satu hal:
Hari ketika dunia mengatakan, "Kau bukan bagian dari kami."
