Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6. KECEWA

Hamid mengangguk, "شكراً، يا عمّتي"

"Terima kasih, Bibi," ujarnya.

Dia segera mencicipi teh di depannya. Aroma melati dari teh yang masih panas perlahan menenangkan kegugupannya.

Khalid dan Fadhilah tadi sengaja berbicara sedikit dalam bahasa Arab, karena mereka sadar bahwa di Indonesia kini banyak keturunan Arab yang bahkan tidak memahami makna bahasa tersebut.

Namun Hamid bukanlah salah satunya, membuat Khalid dan Fadhilah merasa lega.

Khalid dan Fadhilah mengira bahwa Hamid adalah kekasih Zara, sehingga keduanya bersikap sangat ramah padanya.

"Jadi, sudah berapa lama, Hamid?" tanya Khalid, kini berbicara dalam bahasa Indonesia.

Hamid berdehem, "Ehem... Maaf, Paman. Sudah lama apanya, ya?" tanyanya, bingung.

"Kamu dan Zara. Sudah berapa lama kalian berpacaran?" jelas Khalid.

"Uhuk... Uhuk..."

Hamid langsung batuk saat mendengar pertanyaan itu.

"Saya... Saya... Tidak pacaran dengan Zara, Paman," jawab Hamid gugup.

Khalid dan Fadhillah tertawa, mengira Hamid hanya malu mengakui hubungannya.

"Sudahlah, Hamid. Tidak apa-apa. Kalau kamu memang serius dengan Zara, kami pasti merestuinya," kata Fadhilah sambil tersenyum.

"Tapi... saya memang tidak pacaran sama Zara, Paman, Bibi," ucap Hamid jujur. "Meskipun saya mau, tapi nggak mungkin sama Zara."

Khalid dan Fadhilah tertawa lagi, "Nah, kan... Sudah, nggak apa-apa. Kami sudah merestui, kok," ujar Khalid.

"Bukan begitu, Paman," jawab Hamid.

"Terus??" balas Khalid.

"Saya... saya... sudah menikah..." kata Hamid menjawab jujur.

"Apa?!" seru Khalid dan Fadhilah bersamaan.

"Terus... kamu mau Zara jadi istri kedua, gitu?!" tambah Fadhilah.

Hamid menepuk dahinya sendiri, "Paman, Bibi, saya ke sini, selain memang mau ketemu Zara, sekaligus juga saya sebenarnya mendapatkan amanah dari orang tua sepupu saya," jawab Hamid.

"Amanah itu buat mencarikan jodoh untuk sepupu saya itu. Namanya Zein Al-Ghifari. Dia seorang dokter, dan dia... duda!" lanjut Hamid.

Khalid dan Fadhilah saling pandang, "Duda?" ujar keduanya serempak.

Hamid buru-buru menjelaskan tentang masa lalu Zein, di mana istrinya meninggal saat usia pernikahan mereka baru dua bulan, agar kedua orang tua Zara tidak berpikir negatif.

Dan Zein sudah menjomblo sekitar sembilan tahun dan sampai saat ini belum menikah lagi.

Khalid dan Fadhilah merasa iba dengan kondisi Zein.

"Coba nanti kamu bicarakan sama Zara, ya?" ucap Fadhilah.

"Nanti kami dukung dari belakang," tambah Khalid.

"Terima kasih, Paman, Bibi," ucap Hamid merasa lega.

"Untung mereka berdua nggak nanyain usia Zein," bisik Hamid dalam hati. "Kalau tahu... ah, Zein emang bikin repot!" gerutunya.

Beberapa saat kemudian, saat Hamid dan orang tua Zara bercakap-cakap, terdengar salam dari luar.

"Assalamualaikum..."

"Wa'alaikumussalam..." jawab Khalid, Fadhillah, dan Hamid bersamaan.

Seorang perempuan tinggi dan berhijab masuk ke dalam rumah.

"Zara! Ini ada temanmu datang!" seru Khalid.

"Teman? Siapa?" gumam Zara penasaran, lalu dia mendekat untuk melihat.

Betapa terkejut Zara saat melihat lelaki di depannya.

"Masya Allah, Bang Hamid!" teriak Zara terkejut sekaligus senang.

Dia tidak menyangka Hamid datang ke rumahnya.

"Kok nggak kasih tahu Zara dulu kalau mau datang?" tanya Zara lagi.

"Em... Kejutan, hehehe..." jawab Hamid sambil terkekeh.

"Duduk dulu, Zara. Ada yang mau kami omongin," pinta Fadhillah.

Zara kemudian duduk di sebelah Khalid dan Fadhillah.

"Mau ngomongin apa nih? Mau lamar Zara ya?" katanya antusias.

Hamid, Khalid, dan juga Fadhillah kaget. Perkataan itu tidak sepenuhnya benar tapi hampir mendekati.

"Kok kamu tahu sih?" tanya Khalid.

"Ya tahu lah. Laki-laki kalau datang ke rumah perempuan kan kalau nggak ngelamar, apalagi coba? Padahal orang jauh," jawab Zara.

"Tapi bukan Hamid yang mau ngelamar kamu, Zara," balas Fadhillah.

"Lah terus?" kata Zara sedikit kecewa.

"Sepupuku, Zara," timpal Hamid. "Dia lagi nyari jodoh," lanjutnya, yang kemudian menceritakan sepupunya yang bernama Zein Al-Ghifari, seorang dokter, juga seorang duda.

"Yahh... Masa duda sih? Mending Bang Hamid aja deh yang ngelamar Zara. Lagian kita kan udah kenal lama..." balas Zara kecewa.

Zara belum tahu jika Hamid itu sudah menikah, karena selama ini mereka berdua saling chat, tidak pernah menanyakan pribadi masing-masing.

Karena itulah Zara penasaran dan memancing Hamid kalau dirinya sedang mencari jodoh.

Tapi itu khusus buat Hamid, bukan kepada orang lain.

Tidak tahunya, perkataan Zara tadi terkesan dianggap serius oleh Hamid, jika dirinya benar-benar sedang mencari jodoh.

"Kalau aku ngelamar kamu, bisa-bisa aku dikebiri sama istriku!" jawab Hamid.

DUAR!

"Apa?!!!!"

"B-Bang Hamid... Udah punya istri..?!!!!" teriak Zara sangat terkejut dan sekaligus tidak percaya.

Rasa kecewa di hatinya membuatnya sakit. Zara sungguh ingin menangis saat ini.

“Kok Bang Hamid nggak pernah bilang ke Zara kalau sudah nikah?!” bentak Zara dengan nada frustasi.

“Orang kamu juga nggak nanya…” balas Hamid santai.

“Terus ngapain coba pakai aplikasi chat itu?” tanya Zara dengan nada kesal.

“Cuma pengin punya teman aja,” jawab Hamid jujur.

“Arrghhh!!!” Zara berteriak, menumpahkan rasa kecewanya.

Khalid dan Fadhillah saling berpandangan, lalu mencoba menenangkan putri mereka.

“Udah, Zara. Sabar…” ucap Khalid lembut.

“Zara kecewa, Bi,” ujar Zara lirih.

“Istighfar, Zara!” sambung Fadhillah tegas.

Zara pun menarik nafas panjang dan beristighfar. Beberapa saat kemudian, dia mulai lebih tenang.

“Bang Hamid itu tega, ya? Ke sini Zara kira mau lamar, ternyata malah lamaran datang dari sepupu Bang Hamid itu!” katanya dengan nada getir.

“Gimana perasaan Zara kalau nikah sama sepupu Abang yang namanya Zein itu, sementara Zara lihat Abang malah sama perempuan lain!” lanjutnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Hamid hanya terdiam. Dalam hati, dia berkata, “Kalau kamu tahu gimana gantengnya Zein, kamu pasti bakal berterima kasih ke aku karena aku udah nikah, Ra.”

“Jawab, Bang Hamid!!” bentak Zara saat melihat Hamid terus terdiam.

Hamid menghela nafas panjang, “Maaf... Aku yang salah, Ra…” katanya pelan.

“Kalau kamu nggak mau, ya sudah, nggak apa-apa... Aku cuma dimintai tolong sama Paman dan Bibiku buat nyariin jodoh anaknya. Aku jarang punya teman cewek, dan yang aku tahu cuma kamu yang belum nikah…” lanjut Hamid jujur.

Dia lalu bangkit dari duduknya, “Permisi, Paman, Bibi. Saya mau pulang aja,” ucapnya sambil menunduk sopan.

“Aku pulang dulu, Ra,” tambah Hamid, berpamitan pada Zara.

“Bodo amat!” balas Zara ketus, wajahnya menoleh ke arah lain.

Hamid menggelengkan kepala, lalu mengucapkan salam sebelum akhirnya pergi dari rumah Zara.

Khalid dan Fadhillah ikut menghela nafas panjang. Anak mereka itu memang keras kepala, bahkan lebih dari yang mereka kira.

"Harusnya kamu hargai Hamid, lho," kata Fadhillah dengan nada lembut. "Dia sudah jauh-jauh datang dari Kota Derisa cuma buat nemuin kamu dan ngasih kabar soal sepupunya."

"Kota Derisa? Bukannya Bang Hamid dari Kota Solo, Mi?" tanya Zara terkejut, alisnya mengernyit.

Fadhillah mengangguk pelan, "Iya, dia memang tinggal di Kota Solo. Tapi katanya tadi mau sekalian ke rumah Paman dan Bibinya, yang nggak lain adalah orang tua Zein itu," jelasnya.

Khalid ikut menimpali, menatap Zara dengan penuh pertimbangan, "Harusnya tadi kamu terima aja, Ra. Setidaknya dengerin dulu baik-baik maksud kedatangannya."

"Abi... Zara nggak kenal Zein. Orangnya kayak gimana aja belum tahu," balas Zara sambil memeluk bantal kecil di sampingnya.

"Ya makanya kenalan dulu," ujar Khalid tenang.

"Kita nggak pernah tahu kan Zein itu orangnya seperti apa. Gimana kalau ternyata dia jauh lebih ganteng, baik, dan dewasa dibanding Hamid tadi?" tambahnya sambil tersenyum tipis.

"Kalau gitu... ya berarti bukan jodoh Zara!" jawab Zara santai tapi terdengar tegas.

"Zara mau mandi dulu, Bi, Mi. Capek abis latihan karate, pegel semua nih badannya," lanjutnya sambil berdiri dan berjalan ke arah kamar mandi.

Fadhillah melirik Khalid sambil geleng-geleng kepala, "Dasar keras kepala. Sama persis kayak kamu, Bi," sindirnya setengah bercanda.

"Lho, lho... Kok Abi yang disalahin sekarang..." balas Khalid, mengangkat alis sambil tertawa kecil.

Keduanya pun hanya saling pandang sejenak lalu kembali melanjutkan aktivitas masing-masing, membiarkan waktu membawa jawaban atas perjodohan yang belum tentu diterima anak mereka.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel