Bab 7. ANAK EMAS PAK DIREKTUR
(Aula Rapat RS Derisa, 19.00)
Widodo Permana, 52 tahun, Direktur RS Derisa, rumah sakit tempat Zein bekerja, sedang memimpin rapat bersama para dokter.
Mereka tengah membahas seorang pasien bernama Sulastri, wanita paruh baya yang mengidap penyakit aneh.
Kulit pasien tersebut mengeluarkan bintik merah dari pagi hingga sore hari.
Namun, saat malam tiba, mulai dari matahari terbenam hingga pagi, bintik-bintik itu berubah menjadi hitam.
Fenomena ini sontak menggemparkan, terutama di kalangan dunia medis.
Banyak para dokter senior dari rumah sakit besar lain yang turut memberi saran dan komentar terkait kasus aneh yang menimpa Sulastri.
Beberapa di antara mereka menyarankan untuk melakukan pemeriksaan dermatopatologi mendalam guna memastikan apakah bintik merah dan hitam tersebut merupakan manifestasi dari kelainan autoimun seperti lupus eritematosus sistemik, atau penyakit vaskulitis yang dipicu oleh ritme sirkadian tubuh.
Sebagian dokter lain menduga adanya infeksi jamur atau parasit langka yang bereaksi terhadap cahaya atau suhu, sehingga disarankan dilakukan biopsi kulit berulang pada siang dan malam hari, kultur jamur, serta pengujian terhadap senyawa fotosensitif dalam darah pasien.
Tak hanya itu, ada pula saran untuk melakukan pemeriksaan imunologi lengkap, termasuk pengukuran kadar antibodi ANA, dsDNA, serta pemeriksaan kadar melatonin dan kortisol pasien untuk melihat apakah ada gangguan hormonal yang berkaitan dengan waktu.
Semua saran tersebut telah dilakukan oleh tim dokter RS Derisa.
Biopsi kulit menunjukkan peradangan ringan non-spesifik, kultur jamur dan parasit hasilnya negatif, dan hasil tes autoimun berada di ambang batas normal.
Pemeriksaan hormon pun tidak menunjukkan fluktuasi mencolok yang bisa menjelaskan perubahan warna bintik-bintik tersebut.
Widodo yang mengetahui semua itu benar-benar merasa pusing menghadapi kasus ini.
Dia memang bukan dokter atau lulusan medis, tetapi sebagai direktur, mendengar semua laporan dan tidak dapat berbuat apapun membuat hari-harinya terasa kacau dan penuh tekanan.
Widodo mengacak-acak rambutnya, “Sekarang kita harus bagaimana?!” tanyanya dengan nada frustrasi.
Seluruh dokter menunduk dan terdiam, merasa tidak bisa berbuat apa-apa.
“Jika kalian tidak bisa berbuat apa-apa, saya terpaksa akan meminta tolong pada dr. Zein!” lanjut Widodo dengan tegas.
Para dokter saling berpandangan, bertanya-tanya mengapa harus dr. Zein, dokter yang sejak kematian istrinya dikenal berubah, ngawur, dan asal-asalan.
Salah seorang dokter, dr. Iman Wijaya, spesialis penyakit dalam, merasa keberatan.
“Maaf, Pak Direktur,” ucapnya tegas. “Saya tidak setuju jika Anda menyerahkan kasus ini pada seseorang yang bahkan dokter-dokter besar di rumah sakit lain pun belum mampu menanganinya!”
Seluruh dokter mengangguk, setuju dengan pernyataan dr. Iman.
Zein memang dokter hebat, tapi itu dulu sebelum istrinya meninggal.
Dan kini, rapat ini menjadi buktinya. Saat para dokter berkumpul, di mana dr. Zein? Tidak ada.
Widodo tersenyum tipis, sedikit meremehkan, “Jadi, apa kalian sekarang mengakui bahwa kalian lebih hebat dari dr. Zein?” tanyanya.
“Kami tidak meragukan sedikit pun kemampuan dr. Zein,” ucap dr. Iman.
“Lantas…” potong Widodo.
“Kami tidak menyukai sikapnya semenjak kematian istrinya,” jelas dr. Iman, yang langsung mendapat anggukan dari dokter lain.
“Dan apakah itu berarti ilmu kedokterannya juga ikut hilang?” tanya Widodo tajam, menatap mereka satu per satu.
Para dokter terdiam. Mereka menyadari bahwa sikap seseorang bisa saja berubah, namun ilmu akan terus berkembang seiring waktu dan pengalaman.
“Kenapa terdiam?” sindir Widodo, lalu melanjutkan.
“Meskipun kalian tidak setuju dengan dr. Zein, setidaknya beliau selalu punya ide atau cara alternatif yang tidak hanya terpaku pada buku-buku kedokteran."
"Beliau mengembangkan dan memahami penyakit dengan lebih detail, lebih dari kalian.”
Para dokter semakin terdiam. Mereka sadar, hingga saat ini, belum ada yang mampu mengungguli Zein.
Karena tidak ada jawaban lagi, Widodo akhirnya menyelesaikan rapat itu dengan singkat dan cepat.
“Saya anggap kalian setuju,” ucap Widodo sambil beranjak dari kursinya.
“Mulai besok, Ny. Sulastri akan ditangani secara khusus oleh dr. Zein!” perintahnya tegas sambil melangkah menuju pintu aula rapat.
Para dokter tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mereka hanya mengangguk, menyetujui keputusan Widodo, direktur mereka.
Sebelum membuka pintu, Widodo berbalik sekali lagi menatap para dokter yang masih duduk di kursi masing-masing.
“Ingat satu hal lagi!,” kata Widodo.
“Kalian seharusnya berterima kasih kepada dr. Zein. Beliau masih menyimpan banyak rahasia dan identitas yang bahkan kalian sendiri pun tidak tahu, termasuk aku!,” lanjutnya, lalu membuka pintu dan keluar dari aula rapat.
Para dokter yang masih duduk mulai saling memandang satu sama lain, menyimpan rasa penasaran yang sama.
“Dr. Zein punya rahasia dan identitas yang bahkan kita dan Pak Direktur tidak tahu? Apa maksudnya itu?” tanya dr. Bagus Cahyono, dokter spesialis saraf, dengan dahi mengernyit.
Dr. Iman menggelengkan kepala pelan, “Saya sendiri juga tidak paham, Dok. Selama ini saya hanya melihatnya sebagai dokter yang dulunya hebat, tapi berubah setelah istrinya meninggal,” balasnya dengan nada datar kepada dr. Bagus.
“Kalau saya malah merasa ada yang sedikit janggal,” sela dr. Hendra Setiawan, dokter spesialis bedah.
“Maksud Anda, Dok?” tanya dr. Iman sambil menatap Hendra dengan rasa ingin tahu.
Dr. Hendra mengangguk pelan, “Sejak saya pertama kali bekerja di rumah sakit ini, saya memperhatikan bahwa Pak Direktur selalu menurut jika berhubungan dengan dr. Zein."
"Tidak peduli seberapa aneh atau tidak lazimnya tindakan dr. Zein, Pak Widodo hampir tak pernah membantah atau menegur,” jelasnya dengan serius.
“Bukankah itu... sedikit aneh?” lanjutnya dengan nada ragu namun mantap.
Semua dokter yang ada di ruangan itu terdiam sejenak, kemudian satu per satu mengangguk.
Mereka akhirnya menyadari bahwa selama ini memang ada yang tidak biasa dalam hubungan antara Direktur Widodo dan dr. Zein.
Bahkan ketika Zein sering datang terlambat, bertindak sesuka hati, atau menggunakan metode yang tidak umum, Widodo tak pernah menunjukkan kemarahan, bahkan tak sekalipun memberikan surat peringatan.
Hal itu seolah membuktikan bahwa Zein memang anak emas di mata sang direktur.
“Benar-benar anak emas Pak Direktur,” ucap dr. Iman sambil menghela nafas panjang, lalu perlahan berdiri dari kursinya.
“Sebaiknya kita pulang dan beristirahat. Besok kita lihat apa yang bisa dilakukan oleh dr. Zein terhadap Ny. Sulastri. Kita akan lihat, apakah dia masih sehebat dulu atau tidak,” lanjutnya dengan nada sedikit menantang.
Para dokter lain pun ikut bangkit dari kursi masing-masing.
Suasana aula rapat RS Derisa mulai lengang seiring mereka keluar satu per satu, meninggalkan gedung rumah sakit dan pulang menuju rumah masing-masing, membawa tanda tanya besar tentang apa yang sebenarnya disembunyikan oleh dr. Zein.
Dari balik kaca ruang direktur di lantai 5, Widodo menatap kepergian para dokter di RS Derisa dengan perasaan kesal yang tertahan.
"Jika dr. Zein tidak menyuruhku untuk tetap bungkam, aku pasti sudah berteriak di depan kalian semua bahwa pemilik sebenarnya RS Derisa ini adalah dr. Zein Youssef Al-Ghifari!" gumamnya dengan rahang mengeras, menahan amarah yang meluap di dada.
