Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5. TUGAS MULIA

"Oh ya, sebentar... hampir lupa," ujar Zein, tiba-tiba teringat sesuatu.

Dia berlari kecil menuju mobilnya, membuka pintu, lalu mengeluarkan beberapa kantong oleh-oleh yang sebelumnya sudah dia beli.

Melihat Zein membawa cukup banyak buah tangan, Abdullah dan Hajjar tak bisa menyembunyikan senyum mereka.

Ada rasa bangga yang diam-diam menghangat di dada mereka.

Bagaimanapun liarnya kelakuan seorang anak, ketika dia datang membawa sesuatu meski sederhana, itu sudah cukup untuk membuat hati orang tua luluh dan tersenyum.

"Ini ada buah Jeruk, Apel, Pir, Mangga, Anggur, sama Pisang, buat Abi sama Umi," kata Zein sambil memperlihatkan kantong-kantong itu kepada mereka.

Membantu membawa sebagian oleh-oleh itu, Hajjar berkomentar sambil tersenyum, "Repot-repot amat sih, Zein..."

"Nggak apa-apa, Mi," balas Zein kemudian berjalan menuju dapur dan meletakkan buah-buahan yang dibelinya tadi di atas meja di depan kulkas.

"Udah, Zein. Biar Umi aja yang taruh di kulkas," kata Hajjar.

Zein mengangguk, lalu dia berjalan menuju ruang keluarga, tempat Abdullah sudah menunggunya.

Setelah duduk, Abdullah mulai berbicara.

"Zein..." ucap Abdullah pelan. "Abi ingin ngomong sesuatu sama kamu."

Zein mengangguk, "Silahkan, Bi," jawabnya.

Abdullah menarik nafas panjang, "Jujur aja... Abi dan Umi sebenarnya sudah ingin menimang cucu dari kamu."

"Abi dan Umi sudah tidak muda lagi, dan kami ingin melihat kamu punya keturunan. Biar Keluarga Al-Ghifari tetap ada penerusnya."

Zein terdiam. Kata-kata ayahnya membuat dia merasa sedikit bersalah.

Abdullah melanjutkan, "Kamu harus move on, Zein. Angelique sudah tiada. Kasihan dia di alam sana kalau kamu terus-terusan mengingatnya."

Zein terdiam merenung. Ucapan ayahnya terasa menembus hatinya.

Meski mereka sudah memiliki cucu dari adiknya, Fatima, tapi dari lubuk hati terdalam, kedua orang tuanya ingin melihat cucu yang lahir dari jalur Zein.

"Zein mengerti, Bi," jawabnya sambil menunduk. "Tapi..."

"Calon istri?" potong Abdullah cepat.

Zein mengangguk, "Nggak mudah nyari istri kayak Angelique, Bi..." ujarnya sambil menghela nafas.

"Abi tahu, Zein," kata Abdullah. "Tapi setidaknya kamu harus mencoba mencari kriteria lain."

"Kalau itu..." Zein menggantungkan kalimatnya.

Abdullah tertawa, "Abi tahu kamu pasti kesulitan. Karena itu, Abi minta seseorang buat bantu carikan jodoh buat kamu."

Zein terkejut, "Seseorang? Maksudnya siapa, Bi?" tanyanya penasaran.

"Sepupu kamu, Hamid," sahut Hajjar yang baru selesai menyimpan buah-buahan ke dalam kulkas.

"Hah?! Hamid?!" seru Zein kaget.

"Iya. Hamid sekarang ada di Subang. Katanya, dia punya teman yang juga lagi nyari jodoh," lanjut Hajjar.

"Aduh... Kenapa Abi dan Umi nggak nanya Zein dulu sih? Kalau Hamid yang nyari... Kebanyakan..."

"Kebanyakan apa, Zein?" tanya Abdullah, saling pandang dengan Hajjar.

"Kebanyakan nggak beres, Bi, Mi..." jawab Zein jujur.

Zein kemudian menghela nafas panjang dan mulai menceritakan bagaimana tidak beresnya Hamid dalam mencarikan pasangan.

"Abi, Mi... Hamid itu dulu pernah ngenalin Zein ke seorang perempuan. Cantik sih... Tapi ternyata udah punya suami. Gila, kan?" ujar Zein sambil mengernyit.

Abdullah dan Hajjar langsung melotot kaget.

"Terus... ada lagi. Pernah dia ngenalin perempuan yang katanya masih single, ternyata janda anak tiga, dan... mantan napi kasus penggelapan dana koperasi."

"Hamid nggak bilang apa-apa, baru ketahuan pas ngobrol langsung," lanjut Zein sambil geleng-geleng kepala.

"Yang lebih parah, ada satu lagi... cewek itu ngaku sebagai penyanyi dangdut, tapi waktu ketemuan malah nyuruh Zein transfer uang buat ‘bayar stylist’. Baru juga kenal!"

Abdullah mulai tertawa kecil, sedangkan Hajjar menutup mulutnya menahan tawa.

"Itu belum seberapa," lanjut Zein. "Ada juga yang katanya kerja di kantor pajak, ternyata freelance jualan online, dan waktu ngobrol, dia cuma bahas diskon, endorse, dan skincare Korea."

"Zein juga heran, Hamid bisa-bisanya kasih foto Zein ke mereka. Nggak dikasih tahu dulu, tiba-tiba ceweknya udah baper duluan."

"Soalnya... ya, mereka lihat foto Zein yang katanya 'tampan', 'adem', 'kayak aktor Turki' katanya."

Zein menoleh ke ibunya, "Akhirnya Zein bilang ke Hamid, jangan pernah kasih foto Zein ke perempuan mana pun kalau mau ngenalin. Kasihan mereka, dan kasihan juga Zein."

Hajjar tersenyum sambil mengelus lengan anaknya, "Owalah... Pantesan kamu selalu nolak tiap Hamid nawarin kenalan. Umi kira kamu masih trauma sama Angelique."

Zein mengangguk pelan, "Itu juga, Mi. Tapi jujur... kalau yang dikenalin modelnya begitu semua, ya makin trauma, bukan malah sembuh."

"Terus Hamid gimana dong? Kan katanya udah lagi di Subang," kata Abdullah bingung, lebih tepatnya sedikit panik.

"Udah. Biarin aja..." sahut Hajjar santai. "Kasih kesempatan sekali lagi aja buat dia," lanjutnya sambil tersenyum kecil.

"Ya udahlah, Zein coba nanti lihat gimana perempuan yang dikenalin Hamid itu," jawab Zein meski raut wajahnya masih penuh keraguan.

Abdullah dan Hajjar mengangguk setuju. Setelah itu, mereka bertiga melanjutkan perbincangan hangat dan ringan di ruang keluarga, sambil sesekali tertawa mengenang masa-masa lucu di masa lalu.

Suasana rumah pun kembali dipenuhi kehangatan khas keluarga.

*****

(Di Rumah Zara)

Hamid Basrah, 32 tahun, sepupu Zein, baru saja tiba di rumah Zara.

Dia jauh-jauh datang dari Kota Solo menuju Kota Derisa, tempat tinggal Zein dan kedua orang tuanya.

Niat awalnya sederhana, yaitu ingin tinggal sementara di rumah pamannya, karena merasa jenuh dengan suasana rumah sendiri.

Hamid sebenarnya sudah menikah dan memiliki dua orang anak yang lucu dan menggemaskan.

Namun, akhir-akhir ini, suasana rumah tangganya terasa menyesakkan.

Istrinya dikenal sangat cerewet, dan Hamid merasa pikirannya penat setiap hari.

Berpamitan pada sang istri dengan dalih urusan bisnis, Hamid justru berniat 'liburan mental'.

Tapi setibanya di Kota Derisa, Hamid langsung diberi 'tugas mulia' oleh Paman Abdullah dan Bibi Hajjar, yaitu mencarikan jodoh untuk Zein, sepupunya itu.

Dia sempat ingin menolak, tapi tak kuasa membantah wajah penuh harap dari kedua orang tua Zein.

Kebetulan, Hamid memang sedang akrab dengan seseorang yang dikenalnya lewat aplikasi chat online bernama WaveChat.

Perempuan itu bernama Zara Aleefa Ash-Shiddiq, seorang wanita muda, mandiri, dan cukup menawan dari obrolan-obrolan yang mereka lakukan.

Mereka sudah sering bertukar cerita, saling bercanda, bahkan kadang saling curhat.

Tanpa disadari, Hamid merasa Zara cukup cocok, setidaknya dari sisi penampilan dan cara berbicara, untuk dikenalkan kepada sepupunya, Zein.

Kini, Hamid duduk santai di ruang tamu rumah Zara, menunggu sambil memainkan HP-nya, memikirkan cara terbaik untuk menyatukan dua orang yang belum pernah bertemu itu.

"تفضل اشرب أولاً، يا حامد."

"Silakan diminum dulu, Hamid," ujar Khalid Ash-Shiddiq, ayah Zara, dengan senyuman hangat.

Dia mempersilakan tamunya mencicipi teh yang baru saja dia tuang.

Hamid menunduk hormat, lalu menjawab,

"شكراً، يا عم."

"Terima kasih, Paman."

Nada suaranya terdengar sopan, meski ada kecanggungan yang tak dapat dia sembunyikan.

Fadhillah Noor, ibu Zara, yang duduk di samping suaminya, ikut menenangkan suasana.

"لا داعي للإحراج، يا حامد."

"Tidak usah canggung, Nak Hamid," katanya sambil tersenyum ramah, berusaha mencairkan suasana.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel