Bab 4. LUKA DALAM DIAM
“Terima kasih, Guru!” ucap Zara dan Dadan hampir bersamaan, sambil sedikit membungkuk ke arah gurunya.
Eman Suhendar tersenyum puas melihat sikap hormat dari kedua muridnya.
Dia kemudian menoleh ke arah para karateka yang berada di pinggir tatami, lalu berkata singkat, “Kalian juga pasti bisa seperti mereka berdua. Berlatihlah lebih keras mulai sekarang!”
“Baik, Guru!” seru seluruh karateka itu serempak.
Seruan serempak itu menjadi penutup latihan karate mereka hari ini.
Setelahnya, para karateka mengganti bajunya dan kembali mengenakan pakaian formal.
“Sampai jumpa besok, ya!”
“Iya! Hati-hati di jalan!”
Berbagai macam salam terdengar dari para karateka yang bersiap pulang ke rumah masing-masing, termasuk Zara.
Sementara itu, Dadan memang sudah tinggal di Dojo Taring Macan.
Dia memilih menetap bersama gurunya, Eman Suhendar, sebagai bentuk pengabdian.
"Akang, Guru, saya pamit pulang dulu," kata Zara sambil mengucapkan salam perpisahan kepada Dadan dan Eman.
"Hati-hati di jalan, Ra..." jawab Dadan.
"Besok datang lagi tepat waktu!" tambah Eman, sang guru.
Zara hanya melambaikan tangan, lalu berlari kecil keluar dari pintu gerbang Dojo Taring Macan, diiringi tatapan kagum dari Dadan dan Eman.
"Guru, Zara itu... dia benar-benar berbakat!" kata Dadan kepada gurunya, Eman.
Eman mengangguk dan mengakui, "Benar! Setidaknya Dojo Taring Macan ini sudah ada yang mewarisi," jawabnya.
Tiba-tiba...
"Uhuk!!"
Eman terbatuk hingga dia berlutut dan mengeluarkan darah dari mulutnya.
Dadan terkejut, dia spontan menolong Eman.
"Guru!!!"
Eman tersenyum dengan nafas terengah-engah, namun tidak berkata apa pun.
"Apa luka dalammu...?" tanya Dadan.
Eman mengangguk, "Benar! Belum ada yang bisa mengobati lukaku," jawabnya.
Dia kemudian mengingat pertarungannya dengan samurai dari Jepang itu.
Disebut samurai, memang benar, tapi level samurai ini, tanpa pernah dia ceritakan kepada siapa pun, sebenarnya adalah seorang ninja.
Dia lalu teringat wajah pemuda itu, wajah yang sangat tampan, yang telah menolongnya.
"Aku... ingin bertemu pemuda itu lagi," gumam Eman dengan penuh harap.
Dadan yang mendengarnya merasa iba terhadap gurunya.
"Guru... itu sudah lebih dari dua puluh tahun yang lalu!" kata Dadan. "Apa dia... masih ingat dengan Guru?" tanyanya lagi.
Eman menundukkan kepalanya, "Seandainya aku lebih kuat, aku pasti akan mencari pemuda itu, di manapun dia berada," tekadnya.
"Sebaiknya Guru beristirahat. Mari saya antar," kata Dadan dengan penuh bakti.
Eman mengangguk, lalu berjalan sambil dipapah oleh Dadan.
Sambil melangkah, Eman berkata, "Dadan, jangan ceritakan hal ini kepada siapa pun, termasuk Zara."
"Baik, Guru," jawab Dadan sambil mengangguk.
*****
“Saya beli jeruk, mangga, pir, apel, dan anggur. Masing-masing dua kilo, Mbak. Pisangnya saya ambil semua...”
Zein, yang sedang dalam perjalanan menuju rumah orang tuanya, berniat membawa beberapa oleh-oleh.
Penjaga toko buah, seorang perempuan, tidak mendengar perkataan Zein.
Dia hanya terpaku menatap wajah tampan Zein yang terlihat sempurna di matanya.
Zein mengerutkan kening, lalu melambaikan tangan tepat di depan wajahnya.
“Mbak... Halooo...” panggil Zein.
Penjaga toko itu tersentak, wajahnya memerah karena malu.
“M-Maaf, Mas... Tadi beli apa, ya?” tanyanya gugup.
Zein menggeleng pelan, lalu mengulang pesanan, “Saya beli jeruk, mangga, pir, apel, dan anggur masing-masing dua kilo. Pisang ini saya beli semua.”
“I-Iya, Mas... Mohon tunggu sebentar, ya...” balas penjaga toko buah itu, lalu segera mendatangi temannya untuk meminta bantuan menyiapkan semua pesanan Zein.
Karena jumlah pesanannya cukup banyak, tentu tidak mungkin dikerjakan sendirian. Bantuan pun diperlukan.
Kurang dari sepuluh menit kemudian, semua pesanan Zein telah selesai dipacking rapi ke dalam kantong-kantong besar.
“Jadi totalnya...” ucap penjaga toko buah sambil memeriksa catatan di tangannya, lalu mulai merinci :
Jeruk 2 kg x Rp36.500 = Rp73.000
Mangga 2 kg x Rp14.500 = Rp29.000
Pir 2 kg x Rp13.500 = Rp27.000
Apel 2 kg x Rp24.400 = Rp48.800
Anggur 2 kg x Rp41.500 = Rp83.000
Pisang 1 sisir besar (sekitar 3 kg) x Rp16.500 = Rp49.500
Penjaga toko itu menatap Zein dan tersenyum gugup.
“Total semuanya jadi Rp310.300, Mas,” katanya sambil menyodorkan nota pembayaran.
Zein tersenyum dan mengeluarkan enam lembar uang seratus ribu rupiah.
“Tidak usah ada uang kembalian. Tolong buah-buahan ini ditaruh ke mobil saya,” pintanya.
“Ah, Mas! Ini… Ini kebanyakan!” kata penjaga toko buah itu, terkejut.
Zein tetap tersenyum, “Tidak apa-apa... Silakan dibagi-bagi dengan teman-teman Mbak-nya.”
Penjaga toko buah itu terharu, “Makasih banyak, Mas,” ucapnya tulus.
Lalu dia menoleh ke arah dua rekan kerjanya, “Seno, Vian! Tolong angkat buah-buahan ini ke mobil Mas-nya!”
“Iya, Mbak!” jawab Seno dan Vian serempak.
Keduanya segera mengangkat dan meletakkan buah-buahan yang dibeli oleh Zein ke dalam mobilnya.
Zein pun kembali melanjutkan perjalanannya menuju ke rumah orang tua tercintanya.
Penjaga toko buah itu menatap ke arah mobil Zein yang semakin menjauh, lalu bergumam pelan, “Pasti nanti malam gue mimpi ketemu Mas itu. Gak papa deh tiap malam mimpiin dia, daripada nggak kesampaian, kan. Aku mah apa...”
Tak lama kemudian, dia mendatangi teman-temannya dan membagikan uang lebih dari Zein tadi.
Semua karyawan tampak terkejut, namun wajah mereka segera berubah menjadi sumringah.
Masing-masing mendapatkan Rp50.000, jumlah yang cukup besar bagi mereka.
“Jazakallahu Khair...” bisik mereka dalam hati, sambil tersenyum dan diam-diam mendoakan kebaikan untuk Zein.
*****
20 menit kemudian, Zein tiba di rumah kedua orang tuanya.
Sesampainya di depan pintu gerbang, Dokter Zein membuka sendiri pintu gerbang yang kebetulan tidak dikunci, lalu memasukkan mobilnya ke halaman depan rumah.
“Assalamualaikum, Abi... Umi...” serunya sambil melangkah masuk, memberi salam dengan suara hangat.
Beberapa saat kemudian, jawaban salam terdengar dari dalam rumah.
“Wa’alaikumussalam…”
Seorang wanita yang sebenarnya sudah berumur namun masih terlihat awet muda dan memiliki kemiripan wajah dengan Dokter Zein, keluar dari dalam rumah dan menyambut kedatangannya dengan penuh semangat.
“Masya Allah, Zein…!!” serunya antusias.
Wanita itu adalah ibunda Dokter Zein, Hajjar Basrah, yang kini berusia 64 tahun.
Segera, dengan penuh kasih sayang dan hormat, Dokter Zein mencium tangan ibunya.
Tak lama, seorang lelaki tua menyusul dari dalam rumah.
Dialah ayah Dokter Zein, Abdullah Al-Ghifari, dan usianya adalah 68 tahun.
Dengan sikap yang sama, Zein mencium tangan ayahnya sebagai bentuk adab dan bakti seorang anak.
“Zein, kamu ke mana aja? Kok jarang nengok kami?” tanya Abdullah dengan nada lembut namun penuh kerinduan.
“Biasalah, Bi. Sibuk... Abi sendiri kan tahu gimana kerjaan dokter,” jawab Zein sambil tersenyum.
Abdullah mengangguk pelan, lalu memberi isyarat kepada Zein untuk masuk ke dalam rumah.
“Masuk dulu, Zein,” ajaknya dengan lembut. “Abi sama Umi ada sesuatu yang ingin dibicarakan sama kamu,” lanjutnya dengan nada serius namun tetap hangat.
