Bab 3. KARATEKA
Dengan penuh keyakinan, Zein menatap robot Angelique dan berkata, "Angelique, aku pasti akan menyempurnakanmu suatu saat nanti, hingga kau benar-benar menyerupai manusia."
"Aku akan membuatkan kulit untuk menutupi logam tubuhmu," lanjutnya.
"Aku akan menunggumu saat itu, Yaa Habibi," balas robot Angelique.
Dengan sedikit berat hati, Zein menonaktifkan kembali robot Angelique dan meletakkannya kembali ke dalam kotak kayu.
"Sekarang, aku harus menyimpan robot ini di tempat yang aman," gumamnya. "Tapi… di mana?"
Setelah lama berpikir, Zein menggelengkan kepala, merasa benar-benar buntu pikirannya saat ini.
"Sudahlah... Akan kupikirkan nanti," ujarnya, lalu melangkah keluar dari gudang itu.
Dia menutup kembali gudang berdebu tersebut, kemudian mencuci tangannya di wastafel.
Saat dia membuka keran, entah kenapa sebuah ide tiba-tiba muncul di pikirannya.
"Sepertinya, jika aku membuat suatu tempat seperti laboratorium penelitian pribadi, dengan pintu masuknya di keran ini..." Zein berhenti sejenak.
"Benar!!" serunya. "Kalau begitu, aku akan membangun laboratorium bawah tanah, dan letaknya ada di..." Dia melihat sekeliling, lalu tersenyum saat menatap kamar mandi.
"Di bawah kamar mandi..." Senyum Zein melebar, dan kali ini sangat lebar.
"Pasti tidak akan ketahuan orang lain, kan?" lanjutnya sambil tertawa pelan.
Saat itu juga, Zein segera menghubungi temannya yang sangat dia percayai.
Namanya Gunawan, seorang kontraktor bangunan sekaligus mantan pasiennya yang kini menjadi sahabat dekatnya.
Zein mengambil ponselnya, membuka daftar kontak, dan mencari nama Gunawan.
Begitu panggilan tersambung, terdengar suara hangat dari seberang.
"Zein!" sapa Gunawan penuh semangat. "Udah lama nggak telepon, ada angin apa nih, Bro?" lanjutnya sambil tertawa kecil.
Zein terkekeh pelan, "Haha, nggak ada apa-apa, Bro. Jadi gini, elu masih kerja jadi kontraktor, kan?"
"Ya masih lah! Kalau nggak kerja, anak bini gue mau dikasih makan apa," jawab Gunawan bercanda, lalu suara di telepon terdengar lebih serius. "Jangan-jangan, elu mau bangun rumah atau lagi butuh reparasi, nih?"
"Bener, Bro! Tapi bukan bangunan biasa. Gue mau bangun laboratorium pribadi. Lokasi yang gue mau juga cukup unik," jelas Zein.
"Laboratorium? Lokasi unik? Maksudnya? Eh, bro, elu kan dokter... Ngapain bikin laboratorium segala, Bro?" tanya Gunawan, bingung tapi penasaran.
"Udah, itu urusan gue. Intinya, elu bisa bantu nggak?"
"Selalu ready buat elu, Bro. Tinggal kasih waktu dan tempat," jawab Gunawan penuh percaya diri.
"Besok kita ketemu, ya? Gue jelasin lebih detail nanti."
"Siap, Bos!" balas Gunawan dengan semangat.
Keduanya pun menyepakati waktu dan tempat untuk bertemu, lalu mengakhiri panggilan dengan tawa ringan.
“Huff... Sudah beres,” kata Zein sambil menghela nafas lega.
Dia lalu melirik jam di ponselnya dan waktu sudah menunjukkan pukul 15.45 sore.
“Sepertinya aku harus berkunjung ke rumah orang tuaku. Sudah lama aku tidak bertemu mereka,” tekadnya dalam hati.
Setelah menyempatkan diri menunaikan sholat Ashar, Zein pun segera bergegas menuju rumah kedua orang tuanya.
Mobil Zein melaju meninggalkan rumah, tak menyadari bahwa dari balik pohon besar di depan rumahnya, berdiri sosok misterius berpakaian serba hitam dan mengenakan topeng.
Sambil menatap kepergian mobil itu, sosok tersebut bergumam lirih, “Sudah lama sekali, suamiku...”
Dengan kecepatan luar biasa, dia melompat ke atap rumah dan menghilang dalam sekejap, tanpa meninggalkan jejak sedikit pun dan juga tak terlihat oleh siapa pun.
*****
Jauh di tempat lain, tepatnya di daerah Subang, Jawa Barat.
BUG! DUAG! TAK! TAK! TAK!
“Huff... Huff...” Seorang pria yang juga seorang karateka senior, tampak terengah-engah.
Dia adalah salah satu anggota senior di Dojo Taring Macan Subang, sebuah perguruan karate terkenal di wilayah itu.
Saat ini, dia sedang bertarung melawan seorang karateka perempuan berhijab.
“Sebagai seorang perempuan, teknik karatemu melebihi laki-laki!” katanya, masih berusaha mengatur nafas.
Perempuan berhijab itu, yang bernama Zara Aleefa, 25 tahun, hanya tersenyum santai.
“Kau terkejut?” balas Zara dengan nada meremehkan.
Karateka senior itu, yang dikenal dengan nama Dadan Wirajaya, 34 tahun, saat mendengar nada meremehkan dari Zara, langsung murka.
"Hormati sedikit seniormu! Terima ini!" teriak Dadan.
Dengan langkah mae-geri (tendangan depan) secepat kilat, Dadan melesat ke arah Zara.
Namun, Zara dengan tenang memutar tubuhnya ke samping, lalu menangkis tendangan itu dengan teknik gedan-barai (blok bawah), membuat kaki Dadan meleset dari sasaran.
Dadan tak tinggal diam. Dia segera melanjutkan dengan gyaku-zuki (pukulan silang), menghantam ke arah wajah Zara.
Tapi Zara merendahkan tubuhnya, lalu memutar ke belakang sambil melancarkan tendangan balik ushiro-geri yang hampir mengenai perut Dadan.
Tubuh Dadan sedikit terdorong ke belakang.
Dia mendengus, lalu memosisikan kembali kuda-kudanya dalam zenkutsu dachi (kuda-kuda depan).
"Bagus..." gumam Dadan. "Tapi aku belum selesai."
Dengan serangkaian pukulan oi-zuki ke arah dada Zara, dia berusaha menggiring lawannya mundur.
Namun, Zara dengan gesit menghindar ke kiri, lalu membalas dengan mawashi-geri (tendangan melingkar) yang menghantam bahu Dadan.
"Arghh!!!" Dadan terdorong mundur, tapi dia kembali berdiri.
"Teknikmu kuat... Tapi bagaimana dengan ini!" seru Dadan, lalu melompat dan meluncurkan tobi-mae-geri (tendangan depan sambil melompat).
Zara mendadak membungkuk, menghindari tendangan itu, lalu berputar dan menyapu kaki Dadan dengan ashi-barai (sapu kaki).
Dadan kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai dojo.
Zara berdiri dengan nafas teratur, sambil menatap Dadan yang terduduk dengan wajah kaget dan tak percaya.
Suasana di Dojo Taring Macan Subang menjadi sunyi.
Yang ada hanya terdengar suara hembusan nafas dan bisik-bisik dari para karateka yang menyaksikan dari pinggir tatami
Zara kemudian menatap Dadan tajam, lalu menghela nafas sejenak.
Sesaat kemudian, dia berkata, "Akang kumaha sih? Kok bisa éléh ku abdi?"
("Abang gimana sih? Kok bisa kalah sama saya?") gerutu Zara.
Zara lalu mengulurkan tangan, dan Dadan menyambut uluran tangan itu.
"Atuh wajar we, maneh mah awewe berbakat."
("Ya wajarlah, kamu wanita berbakat.") balas Dadan sambil tersenyum.
Keduanya, Zara dan Dadan, mendapatkan tepukan tangan dari karateka lain yang merasa kagum dengan pertarungan antara senior dan junior itu.
Dadan memang lebih senior dari Zara, namun Zara berhasil mengalahkan seniornya dengan mudah.
Pertarungan sore itu sangat seru, hingga membuat karateka yang lain merasa bersemangat.
Jika Zara yang masih junior saja bisa mengalahkan seniornya, maka bukan tidak mungkin junior lainnya juga bisa melakukan hal yang sama.
Pertarungan antara Zara dan Dadan juga disaksikan oleh guru mereka, Eman Suhendar, yang kini berusia 60 tahun.
Eman Suhendar adalah seorang karateka legendaris yang terkenal seantero Jawa Barat, pendiri sekaligus guru besar di Dojo Taring Macan Subang.
Kabarnya, saat muda, Eman Suhendar pernah bertarung dengan seorang samurai Jepang dan berhasil mengalahkannya.
Eman mendekati Zara dan Dadan sambil bertepuk tangan.
Setelah itu, dia menepuk bahu Zara dan Dadan bergantian.
"Abdi reueus ka aranjeun duaan!"
("Saya bangga dengan kalian berdua!") kata Eman.
"Aranjeun teh pantes pisan jadi panerus abdi."
("Kalian benar-benar pantas jadi penerus saya.") lanjutnya.
