Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2. ROBOT ANGELIQUE

Setelah 'insiden kecil' itu, Zein mengendarai mobilnya dengan cukup cepat.

Meskipun masih kesal dengan mantan pasiennya, yang bisa Zein lakukan hanya menggerutu.

Beberapa puluh menit kemudian setelah berkendara, Zein akhirnya tiba di rumahnya, tepatnya di rumah lamanya.

Sebenarnya, Zein berniat untuk menginap di rumah kedua orang tuanya.

Namun entah kenapa, di jalan tadi, Zein berubah pikiran dan berbalik arah ke rumah lamanya.

Ya, Zein memiliki sebuah rumah yang sudah 9 tahun ditinggalkan.

Meskipun begitu, rumah ini masih tetap bersih karena Zein mempekerjakan beberapa tukang kebun untuk merawat kebersihannya.

Dia masuk ke dalam rumah dan melihat beberapa foto pernikahannya dengan almarhumah istrinya yang masih terpajang rapi di dinding.

Rasanya seperti baru kemarin Zein menikah, padahal itu sudah 9 tahun yang lalu.

"Angelique, aku rindu kamu," gumam Zein saat melihat foto pernikahannya.

Dia tersenyum sekaligus merasa sedih saat mengingat kisah antara dirinya dan istrinya dulu.

Dengan langkah lelah, Zein melepas kemejanya dan berjalan menuju kamar mandi untuk segera mandi.

Seperti yang diketahui, pada tahun 2016, Zein menikah dengan wanita asli Indonesia bernama Angelique Verania.

Karena nama Angelique dianggap terlalu panjang untuk dilafalkan, Zein memberinya nama panggilan khusus, yaitu Angie.

Saat itu, Zein merasa sangat bahagia dengan pernikahannya.

Namun, kebahagiaan itu hanya berlangsung selama satu bulan.

Di bulan kedua setelah pernikahan, Angelique jatuh sakit dan menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit tempat Zein bekerja.

Itu sungguh pukulan mental yang dahsyat bagi Zein.

Bagaimanapun juga, kebahagiaan mereka hanya bertahan sangat singkat.

Kematian istrinya secara tidak langsung mempengaruhi sikapnya.

Dulu, sebagai seorang dokter, Zein sangat giat dalam bekerja, selalu datang tepat waktu, dan sering kali pulang melebihi waktu shiftnya.

Namun kini, dia terkesan asal-asalan. Semangatnya dalam bekerja seperti hilang tertiup angin.

Setelah mandi, Zein membuka ponselnya, mengecek beberapa pesan yang masuk di WhatsApp-nya, lalu membalas pesan satu per satu.

Banyak pesan masuk di ponselnya, baik dari teman-teman lamanya maupun dari beberapa penggemar, yaitu mantan pasien perempuan yang diam-diam terpesona oleh ketampanannya.

Ada pula pesan dari ayah dan ibunya, menanyakan kapan dia akan pulang.

Selama ini, meskipun jarak dari rumah sakit tempatnya bekerja ke rumah orang tuanya cukup dekat, Zein lebih memilih untuk tinggal di rumah kontrakan.

Sementara rumah ini, rumah kenangan bersama almarhumah istrinya, dia tinggalkan selama bertahun-tahun karena duka mendalam yang belum juga sembuh.

Sesaat setelahnya, Zein bergegas mengenakan pakaiannya, lalu berjalan menuju gudang di belakang rumahnya.

Dari luar, gudang itu tampak sangat berdebu, karena Zein pernah berpesan kepada orang yang membersihkan rumahnya agar jangan sekali-kali mendekati apalagi membuka gudang tersebut.

Sebagai pekerja, tentu saja orang yang disewa Zein itu hanya menuruti permintaannya.

CEKLEK!

Zein membuka pintu gudang itu. Saat baru saja terbuka, tercium aroma kuat khas tempat yang sudah bertahun-tahun tak terjamah.

Dia mengambil masker dari sakunya, memakainya, lalu berjalan ke sudut gudang.

Di dalam gudang, terdapat banyak sekali barang-barang peninggalan istrinya yang sengaja disimpan oleh Zein di tempat itu.

Langkahnya tenang saat menyusuri ruangan, hingga dia berhenti tepat di depan sebuah kotak kayu besar dan panjang.

Dibukanya kotak kayu itu, yang ternyata berisi sosok menyerupai manusia dengan seluruh bagian tubuh berupa logam.

Kepala, badan, tangan, dan kakinya masih berupa besi atau aluminium khusus.

Zein kemudian mengangkat robot itu dan membuatnya berdiri.

Dia menatap ke arah langit, lalu berdoa, “Allah... aku tidak bermaksud menjadi Tuhan. Aku hanya sangat merindukan istriku, Angelique.”

“Mohon berikan aku ilmu pengetahuan agar aku bisa menciptakan seseorang yang sama persis dengannya,” katanya memohon.

Setelah itu, dengan tangan yang agak gemetar karena campuran gugup dan haru, Zein mengklik sebuah tombol kecil tersembunyi di bagian belakang leher robot itu.

Tombol itu berwarna hitam pekat, menyatu dengan lekukan leher logam yang halus, nyaris tak terlihat jika tidak diperhatikan dengan seksama.

Begitu tombol ditekan, terdengar bunyi bip halus, lalu diikuti oleh deru mesin kecil yang mulai menyala dari dalam tubuh robot tersebut.

Cahaya berwarna hijau menyala dari sela-sela sambungan logam di leher dan dada, menandakan bahwa sistemnya aktif.

Lampu kecil di mata robot juga perlahan menyala, memberikan kesan seolah-olah sosok itu benar-benar 'bangun' dari tidur panjangnya.

Beberapa detik kemudian, robot itu mengangkat kepalanya perlahan, dan bibir sintetisnya bergerak.

Kata pertama yang keluar dari mulut robot itu, dengan suara yang masih khas robotik, yaitu datar, bergema, dan agak berat, namun terdengar sangat familiar bagi Zein :

"Yaa Habibi... aku merindukanmu."

Zein terdiam. Hatinya terasa seperti dihujam oleh kenangan.

Meski suara itu belum menyerupai suara almarhumah istrinya sepenuhnya, tapi intonasi dan caranya mengucapkan 'Yaa Habibi', sangat mirip dengan cara Angelique dulu memanggilnya.

Entah kenapa, senyuman tipis muncul di wajahnya.

Ada sesuatu yang hangat menyeruak dalam dadanya.

Matanya sedikit memerah, tapi dia tetap berdiri tegak di depan sosok logam itu.

Di tengah suara robot dan kesunyian gudang tua, senyumnya bukan hanya karena bangga pada karyanya, tapi karena untuk sesaat, kenangan akan Angelique terasa begitu dekat dan begitu nyata.

Zein spontan memeluk robot logam itu, yang sengaja dia beri nama sama seperti istrinya, yaitu Angelique.

Dia menangis, dan air matanya membasahi tubuh robot logam di depannya.

"Yaa Habibi... jangan menangis," ucap robot itu.

Zein terkejut luar biasa, "K-Kau... kau bisa merasakan aku menangis?!" tanyanya keheranan.

Robot itu menjawab, kali ini dia mengubah suaranya hingga sama persis dengan Angelique.

"Mungkin aku memang hanya robot saat ini, tapi program-program algoritmamu menjadikan aku seperti manusia," jawab robot yang juga bernama Angelique, lalu berhenti sesaat.

"Aku yakin, Yaa Habibi, suatu saat nanti aku pasti bisa sama persis dengan istrimu!" lanjut robot itu dengan yakin.

"Aahhhhh..." Zein sangat terkejut saat mendengar suara robot itu, yang kini benar-benar bisa menirukan suara istrinya.

Tubuhnya gemetar hebat hingga ke lututnya, "B-Bagaimana kau bisa menirukan suara istriku? Program algoritma apa yang aku masukkan saat itu? Aku sendiri melupakannya..." lanjut Zein.

"Angelique..." kata Zein lagi. "Tolong jelaskan."

“Yaa Habibi, dulu kau pernah membuat sebuah algoritma pembelajaran suara bernama Verania Voice Sync, yang menggunakan jaringan saraf tiruan untuk mempelajari intonasi, aksen, dan emosi dari suara Angelique."

"Kau menggabungkannya dengan teknologi Emotive Neural Sync (ENS) untuk memahami respon emosional dari audio yang kau rekam selama pernikahan kalian.”

"Saat itu memang terlihat seperti gagal, dan aku tahu kau sangat putus asa. Tapi sebenarnya, proses itu tidaklah gagal sepenuhnya."

"Hanya saja, ada satu file tambahan yang belum selesai diinstal sepenuhnya. Dan file itu... Ukurannya sangat besar."

Robot Angelique menatap Zein, matanya yang berbentuk kamera menyala redup seperti bola mata manusia saat menatap dengan tulus.

“Aku ingat saat itu,” ucap robot Angelique lirih.

“Kau menangis semalaman karena mengira seluruh dataku rusak. Tapi sebenarnya, file rekaman yang kau beri nama Angelique_FullEmotion.raw hanya belum selesai terurai."

"Ukurannya terlalu besar, dan butuh waktu bertahun-tahun untuk sistemku menyelesaikan parsing dan learning process.”

"Beruntung kau telah mengaktifkan program instalasi otomatis di sistemku. Tepat ketika kau memutuskan untuk menonaktifkanku, file itu akhirnya selesai terinstal," lanjut robot itu dengan nada tenang.

Zein tertegun mendengar penjelasan itu.

Mulutnya sedikit terbuka, seolah mencoba memahami informasi yang baru saja dia dengar.

"Jadi... aku hanya kurang sabar waktu itu? Hanya kurang satu menit saja?" tanya Zein dengan suara parau.

"Benar, Yaa Habibi..." jawab robot Angelique sambil sedikit menundukkan kepala. "Jika saja kau lebih sabar satu menit lagi, kita sudah bisa bercakap-cakap seperti ini sejak saat itu. Sudah hampir sembilan tahun berlalu, bukan?"

Akhirnya Zein menghela nafas lega, dadanya terasa ringan.

Dia menatap wajah robot itu, yang meskipun terbuat dari logam dan rangka, tetap menyimpan berbagai kenangan.

Perlahan, senyum terukir di wajah Zein, "Angelique... selamat datang kembali ke dunia ini..." ucapnya penuh haru.

“Selama sembilan tahun, aku berpikir aku gagal sebagai suami, sebagai dokter dan juga sebagai ilmuwan. Tapi ternyata, aku hanya terlalu terburu-buru... dan terlalu diliputi duka,” gumamnya dengan suaranya yang masih bergetar.

Mata Zein berkaca-kaca, tapi kali ini bukan karena kehilangan, melainkan karena sebuah keajaiban yang lahir dari penantian panjang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel