3. Mencintai Istri Orang
Banyak sekali gadis cantik lagi single di luaran sana tapi kenapa malah memilih wanita berstatus istri orang. Apakah ada yang salah dengan hati bukankah akan ada masalah baru jika sampai suaminya tahu. Akh, jangan-jangan aku sudah gila karena kelamaan sendiri. Apa yang harus kulakukan Ya Tuhan ...
Bayangan wajahnya selalu mengganggu tidurku padahal baru beberapa hari bertemu, semoga aku masih dalam kewarasan karena mencintai istri orang.
*
”Tak perlu dijawab sekarang jika memang belum siap. Istirahatlah, besok jangan lupa datang sebelum jam delapan,” ucap Fatir sebelum akhirnya meninggalkan rumah Ghaida.
Ghaida sendiri merasa was-was khawatir masuk ke rumah Galuh beribu kata telah dia siapkan jika memang yang terburuk yang akan terjadi Ghaida akan hadapi.
”Bismillah,” lirihnya.
Langkahnya memasuki rumah langsung disambut oleh Yunita, mertuanya. ”Hebat kamu ya, jam segini baru pulang.”
”Ma-mama,” lirih Ghaida terkejut.
”Suamimu seharian ini kelimpungan mencarimu tapi kamu malah keluyuran dan pulang-pulang diantar oleh seorang laki-laki dasar wanita tak tahu diri!" Yunita mendorong tubuh Ghaida hingga membentur dinding hal itu membuat Ghaida memekik kesakitan.
”Astaghfirullah Ma,” lirih Ghaida memekik menahan rasa sakit di punggungnya.
”Kamu pikir mama akan percaya denganmu, tidak Ghaida. Mama tidak akan percaya denganmu terlebih setelah apa yang kamu lakukan tadi," ucap Yunita dengan tatapan penuh kebencian pada menantunya.
”Ma, mama jangan keterlaluan pada Ghaida," seru Galuh tiba-tiba menghampiri keduanya. ”Kamu gak apa-apa kan, Sayang?” Galuh mencoba meraih tubuh Ghaida namun dengan cepat Ghaida menepisnya.
”Tuh kamu lihat kan? Bagaimana dia sudah menolakmu itu karena dia punya PIL di luar dan baru saja mengantarkannya pulang ke rumah," ungkap Yunita sengaja membakar amarah Galuh.
”Bohong!” bantah Ghaida semakin kesal dengan bersikap mertuanya yang memang sengaja menyudutkan dirinya, menumpahkan segala kekesalan padanya padahal sejatinya dia tidak tahu apapun.
”Mama tolong jangan menyudutkan Ghaida dia itu istriku,” ucap Galuh membela istrinya.
Alih-alih senang karena dibela, Ghaida justru memilih menghindar dari Galuh. ”Maaf Mas, lebih baik kita pisah ranjang!”
”Apa?” teriak Galuh dan Yunita bersamaan dan keduanya pun saling pandang.
”Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Yunita melihat ke arah Galuh meminta jawaban.
”Anak kesayangan mama itu berselingkuh!” ucap Ghaida penuh amarah.
”Apa itu benar? Jawab Galuh!’’ teriakan terdengar membuat Ghaida dan Galuh terkejut.
”Ngaku saja, Mas! Apa mas Galuh takut? Ghaida melihatnya sendiri bagaimana mas Galuh bersama dengannya. Apa salah Ghaida, Mas? Kenapa Mas Galuh tega?”
”Siapa wanita itu Galuh?” Kini suara Yunita terdengar lebih santai daripada sebelumnya. ”Katakan atau mama akan marah padamu.” Yunita terus menekan Galuh.
”Dia itu pegawai di kantornya Galuh, Ma.”
”Hanya pegawai? Kenapa tidak mencari yang selevel denganmu?” cecar Yunita.
”Mama membelanya?” tanya Ghaida wajahnya memerah menahan kesal kenapa mertuanya justru membela anaknya.
”Jika dia lebih baik darimu dan bisa memberikan mama keturunan maka sudah barang tentu akan mama bela, ingat Ghaida mama ingin keturunan. Sudah masuk hitungan empat tahun kalian menikah tapi mana cucu buat mama?”
”Tidakkah mama bersabar untuk sebentar saja, anak itu bukan rezeqi yang setiap orang bisa memilikinya. Kenapa sekarang mama malah membela kelakuannya mas Galuh? Ghaida kecewa sama mama.”
Ghaida bergegas pergi menuju ke kamar dan menguncinya tak peduli dengan Galuh yang menggedor-gedor pintu kamar, Ghaida menangis sejadi-jadinya meluapkan emosinya.
***
Fatir gelisah di kamarnya pikirannya hanya tertuju pada Ghaida, kehadiran wanita itu mengacaukan hidupnya bagaimana tidak. Ghaida adalah tipe wanita rumahan yang tidak akan keluar rumah jika bukan karena keperluan yang darurat mengingat penampilannya sangat tertutup tapi kenapa dirinya justru berkeliaran di luar bahkan mau bekerja sebagai sekretaris padahal pekerjaannya berbaur dengan lawan jenis.
Fatir penasaran akan hal ini terlebih dirinya merasa tertantang ingin mengetahui alasan di balik tindakan wanita itu. ”Apakah karena desakan ekonomi? Sesulit itulah hidupnya? Jika saja dia adalah istriku takkan aku biarkan dia keluyuran di luar sana lebih baik aku jadikan bantal guling tiap malam. Eh?”
Fatir memukul kepalanya sendiri sepertinya kepalanya memang konslet akibat kelamaan menjomlo.
Pagi pun dirinya begitu bersemangat ke kantor bahkan mengabaikan sarapan yang sudah disiapkan oleh Hasna. Begitu sampai Fathir langsung mengamati ruangan yang akan ditempati oleh Ghaida. ”Dia belum datang?”
Ehsan menoleh, ”Belum, sepertinya telat ini hampir jam delapan kurang dikit tapi tidak ada tanda-tanda dia akan datang.”
”Tunggu sebentar lagi,” ucap Fatir kemudian berbalik dan melihat Ghaida tergesa-gesa menuju ruangannya.
”Maaf pak Fatir, saya terlambat ada hal yang harus saya selesaikan lebih dulu sebelum ke sini," jelas Ghaida.
”Itu urusanmu tapi saya harap ke depannya kamu harus lebih profesional lagi dan tolong jangan diulangi lagi mengerti. Ehsan, tolong jelaskan tugas-tugasnya ya!"
Tanpa banyak bicara Fatir kembali ke ruangannya dilihatnya tumpukan berkas yang akan menyita waktunya hingga beberapa jam ke depan. Perlahan Fatir menghela nafas teringat pesan sang mommy sebelum berangkat ke kantor jika adiknya memintanya dijemput di bandara. Diliriknya jam weker di meja dan dengan segera dirinya bersemangat untuk menyelesaikannya. Dia tidak ingin mengecewakan Hasna wanita yang telah melahirkannya.
”Ghaida, tolong ke ruangan saya!”
Fatir langsung membagi tugas dengan sekretaris barunya.
”Ada yang bisa saya bantu Pak?”
”Tolong kamu cek berkasnya jika sudah selesai tolong beritahu saya.”
”Baik pak.”
”Mm, ... nanti siang kamu ikut saya ke bandara.”
”Eh? Berdua saja pak?”
”Bertiga dengan mobil saya? Apa iya saya harus ajak orang satu kantor? Tentu saja hanya kita berdua.”
”Maaf.”
Mendengar kata maaf keluar dari bibir Ghaida membuat Fatir merasa bersalah, jujur dia belum pernah berkata pedas pada seorang wanita, apakah tadi ucapannya keterlaluan sekali?
”Kamu bisa balik ke tempatmu sekarang!”
Meskipun merasa bersalah tetap saja Fatir gengsi untuk meminta maaf terlebih dia sebagai pemimpin tidak mau dirinya dipandang sebelah mata oleh karyawannya sendiri.
”Kenapa kehadirannya mengacaukan hidupku?” lirih Fatir sejak semalam dirinya terus saja memikirkan Ghaida. ”Apa aku jatuh cinta padanya? Sadar Fatir, ini tidak benar dia itu istri orang!”
