Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Digilir - 3

"Maaf, Umi, kalau mengganggu," suara Pak Gandi terdengar lagi, kali ini lebih dekat, "Ada beberapa berkas Pak Fahmi yang ketinggalan dan dia meminta saya untuk mengambilnya. Penting untuk wawancara besok."

Penjelasan itu sedikit meredakan kepanikan Umi Siska, namun debaran di dadanya tak sepenuhnya hilang. Berkas? Apa benar? Walau dengan jantung berdebar kencang dan lutut yang terasa lemas, Umi Siska akhirnya memberanikan diri membuka pintu.

Di ambang pintu, Pak Gandi berdiri dengan senyum ramahnya yang khas, memegang sebuah map tipis. Ia mengenakan kemeja batik yang berbeda dari seragam tadi siang, dan kali ini celana kain panjang yang rapi. Penampilannya terlihat sopan, namun tatapannya, entah mengapa, terasa seperti menelusuri sekujur tubuh Umi Siska dari atas ke bawah.

"Silakan masuk, Pak," ucap Umi Siska, suaranya sedikit serak, membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Pak Gandi masuk. Ruang tamu yang sepi terasa makin dingin dengan kehadiran tak terduga ini. Umi Siska merasa seperti masuk ke dalam permainan yang tak ia mengerti aturannya.

Umi Siska berusaha menenangkan diri setelah mempersilakan Pak Gandi masuk. Dengan langkah yang masih gemetar, ia berkata, "Silakan duduk dulu, Pak. Saya siapkan minum sebentar."

Ia menghilang ke dapur, berharap rutinitas sederhana itu bisa mengembalikan kendali atas situasi yang tiba-tiba terasa mencekam. Di sana, ia mengenakan daster rumahan sederhana, kain tipis berwarna pastel yang longgar tapi menempel lembut di tubuhnya setelah hari yang panjang, menonjolkan lekuk pinggul dan dada yang tak sengaja terlihat menggoda di bawah cahaya lampu neon dapur.

Ia tak sadar betapa penampilannya malam itu, dengan rambut yang sedikit acak-acakan dan wajah tanpa riasan, justru menambah daya tarik alami yang tak terduga.

Sementara itu, Pak Gandi tak duduk di ruang tamu seperti yang diharapkan. Diam-diam, ia bangkit dan mengikuti Umi Siska ke dapur, langkahnya pelan dan hening seperti bayangan. Dari ambang pintu, lelaki itu memperhatikan dengan seksama, matanya menyusuri setiap gerakan istri bahawahannya.

Umi Siska tampak begitu seksi dan menggoda dalam daster rumahan itu, cara kainnya bergeser saat ia meraih cangkir, atau bagaimana bahunya terlihat lembut di bawah cahaya kuning. Nafas Pak Gandi mulai berat, pikirannya melayang pada pesan WhatsApp tadi sore dan kode rahasia yang pernah ia berikan. Ini kesempatan emas, pikirnya, dengan Ustadz Fahmi jauh di kota dan rumah yang sepi.

Umi Siska sibuk membuat teh hangat di meja makan di sudut dapur, menuang air panas dari ketel sambil membalikkan punggungnya. Tiba-tiba, ia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Napas hangat yang terlalu dekat, dan aroma parfum pria yang samar.

Jantungnya terasa mau copot saat ia menoleh cepat. Pak Gandi berdiri begitu dekat, hanya selangkah darinya, senyumnya yang karismatik kini terlihat lebih dalam, tatapannya tak lagi basa-basi. "Umi Siska, terima kasih ya. Tehnya pasti enak seperti tuan rumahnya," katanya pelan, suaranya rendah dan penuh nada yang membuat udara terasa tebal.

Sekujur tubuh Umi Siska terlanjur lemas, lututnya seperti kehilangan kekuatan, dan degup jantungnya makin tak karuan, seperti palu yang memukul dada dari dalam. Ia mundur selangkah, punggungnya menyentuh meja, tapi tak ada ruang untuk lari.

"P-Pak Gandi... berkas apa yang diminta? Saya ambilkan sekarang," balasnya tergesa, suaranya bergetar, berusaha mengalihkan perhatian.

Umi Siska terperangkap di sudut dapur, meja menjadi penghalang di belakangnya, sementara Pak Gandi berdiri begitu dekat, menguasai ruang. Tangannya gemetar, cangkir teh yang baru saja ia siapkan bergetar di nampan. Ia mencoba mencari celah untuk menghindar, tapi mata Pak Gandi mengunci, tatapannya tajam namun lembut, penuh dengan bisikan yang tak terucap.

"Umi…" Pak Gandi memulai, suaranya pelan dan mengalir seperti madu, "Maafkan saya kalau lancang. Tapi selama ini saya melihat kegelisahan di mata Umi. Pak Fahmi orang baik, saya tahu. Tapi… kadang kebaikan saja tidak cukup untuk mengisi hati seorang istri yang gersang."

Umi Siska terdiam, tak bisa berkata-kata. Kata-kata Pak Gandi menelusup tepat ke relung hatinya yang paling rahasia, membuka kembali luka yang sudah cukup lama dipendamnya namun tetap menjadi kegelisahannya.

"Saya tahu, Pak Fahmi sibuk dengan pengabdiannya. Terkadang, istri harus rela kesepian, harus rela menahan diri. Sudah bertahun-tahun ibu kesepian, bukan?" Bisikan itu semakin tajam, semakin personal.

Pak Gandi seolah membaca pikiran Umi Siska, mengangkat kembali hambarnya ranjang yang sudah bertahun-tahun terabaikan. Lelaki itu memang seorang bandot plamboyan sejati, berpengalaman dalam merayu, dan tahu persis di mana harus menancapkan kailnya. Selain itu dia juga sudah lama tahu jika keadaan rumah tangga anak buahnya ini sedang bermasalah, terutama urusan kehangatan.

"Wanita secantik dan sehangat Umi, pantas mendapatkan perhatian dan sentuhan… yang lebih dari sekedar pujian semanta…" lanjut Pak Gandi, suaranya berubah menjadi desahan halus yang membelai telinga Umi Siska.

Ia melangkah sedikit lebih dekat, membuat Umi Siska semakin terhimpit. "Saya tidak bermaksud jahat, Umi. Tapi saya mengerti apa yang Umi rasakan selama ini. Kerinduan itu… sangat manusiawi bukan."

Umi Siska merasakan tubuhnya mulai goyah, pertahanan dirinya runtuh perlahan. Bisikan Pak Gandi merobohkan tembok-tembok yang selama ini ia bangun, menggali ke dalam kekosongan yang tak terisi.

Terlebih lagi, saat matanya tanpa sadar menunduk. Di balik celana Pak Gandi, tonjolan besar itu kembali menampakan dirinya, justru terlihat lebih besar, lebih menonjol dari jarak yang semakin dekat. Sebuah pemandangan yang membuat napas Umi Siska tercekat sekaligus gamang dan goyah.

Jauh di lubuk hatinya Umi Siska mengakui, sebagai wanita normal, yang sudah lama tak mendapatkan sentuhan penuh gairah dari sauminya, bahkan seolah tak mendapatkan pengakuan atas hasratnya, ia sungguh merindukan kehangatan dan kejantanan seorang lelaki.

Pak Gandi mulai tersenyum, sadar jika Umi Siska sedang sangat gamang. Dia melangkah lebih dekat. Lalu dengan gerakan halus penuh perhitungan, ia mengambil nampan dari tangan Umi Siska.

Tanpa menunggu reaksi Umi Siska, Pak Gandi meraih kedua tangan itu. Sentuhannya hangat, lembut, namun tegas. Umi Siska terkesiap, sekujur tubuhnya serasa lemas, kekuatan di lututnya menghilang, dan napasnya tertahan.

“Pak Ja…jaangan…” Maksud hati ingin berontak, ingin menarik tangannya, menolak sentuhan itu, berteriak ‘Jangan lebih keras’, namun tubuhnya mengkhianati. Seperti ada belenggu tak terlihat yang mengikatnya.

Pak Gandi tersenyum tipis, matanya menatap lebih dalam mata Umi Siska yang kini berkaca-kaca, penuh gejolak emosi. Ia menarik Umi Siska perlahan, hingga tubuh mereka begitu dekat, aroma pakaian pria bercampur dengan wangi daster Umi Siska. Dinding dapur yang sempit menjadi saksi bisu.

Bibir Pak Gandi mendekat, begitu dekat hingga Umi Siska bisa merasakan napas hangatnya di wajahnya. Ia memejamkan mata, kepalanya sedikit mendongak, pasrah dalam badai perasaannya sendiri. Tanpa suara, tanpa kata-kata, hanya bisikan hasrat yang memimpin. Tak lama kemudian, bibir mereka pun sudah bertautan, lembut pada awalnya, lalu semakin menuntut, melepaskan semua kerinduan dan hasrat yang selama ini terkunci rapat.

Ciuman mereka makin menagihkan, seperti api yang tak terbendung, semakin dalam dan penuh gairah. Bibir Pak Gandi menekan lembut tapi tegas, lidahnya menyusup pelan, mengeksplorasi kehangatan mulut Umi Siska yang kini merespons dengan ragu namun tak bisa menahan diri. Napas mereka bercampur, tersengal, mengisi keheningan dapur dengan suara desahan halus yang tak terucapkan.

Umi Siska merasa dunia berputar, rasa bersalah masih ada di sudut hatinya, tapi hasrat yang terpendam bertahun-tahun kini mengambil alih, membuatnya tenggelam dalam momen itu.

“Umi berhak untuk bahagia,” bisik Pak Gandi disela-sela aksinya.

Tangan Pak Gandi bergerak lincah, penuh pengalaman dan keinginan. Ia meraih pantat Umi Siska dengan telapak tangan yang hangat, meremas lembut namun tegas, menarik tubuhnya lebih dekat hingga tak ada jarak lagi.

Umi Siska menggelinjang pelan, sensasi itu seperti sengatan listrik yang membakar seluruh sarafnya. Tangan Pak Gandi naik ke punggungnya, mengusap pelan melalui kain tipis daster, merasakan lekuk tulang belakang yang halus, sebelum turun lagi ke pinggul, menekan dengan gairah yang tak tertahankan.

Lalu, dengan gerakan yang lebih berani, tangannya naik ke depan, menyentuh payudara Umi Siska yang montok, meremasnya pelan melalui kain, membuat putingnya mengeras. Umi Siska mendesah pelan, tubuhnya gemetar, campuran antara kenikmatan dan rasa malu yang membuatnya semakin lemas.

Lambat laun tangan Umi Siska tak lagi diam. Jarinya merayap pelan dari dada, turun ke perut, sebelum akhirnya menyentuh tonjolan yang menusuk di selangkangan Pak Gandi. Ia merasakan benda itu begitu nyata, keras, besar, panjang, dan berdenyut hangat, jauh berbeda dari milik suaminya.

Sentuhan itu membuatnya terkejut, tapi juga membangkitkan rasa penasaran dan kerinduan yang dalam. Ia meremas pelan, merasakan bagaimana tonjolan itu menegang lebih keras di genggamannya, membuat Pak Gandi mendengus pelan di antara ciuman mereka. Gairah semakin memuncak, dapur yang sempit kini terasa seperti ruang pribadi yang penuh rahasia, di mana batas-batas larangan mulai runtuh sepenuhnya.

Pak Gandi menyadari bahwa dapur terlalu sempit, terlalu terang, dan terlalu terbuka untuk hasrat yang membara ini. Ia mengangkat tubuh Umi Siska perlahan, lengannya melingkari pinggang dan pahanya, menggendongnya keluar dari dapur.

Umi Siska melingkarkan kakinya di pinggang Pak Gandi, wajahnya tersembunyi di bahu lelaki itu, napasnya yang berat terasa panas di kulit Pak Gandi. Mereka berdua bergerak melewati ruang tamu yang gelap, suara langkah kaki mereka memecah keheningan malam, menjadi irama detak jantung yang berpacu kencang.

Pak Gandi membawa Umi Siska masuk ke dalam kamar tidur, pintu tertutup pelan di belakang mereka, mengunci dunia luar. Udara di dalam kamar terasa lebih hangat, pengap oleh gairah yang memuncak. Umi Siska masih dalam gendongan Pak Gandi, kakinya melingkari pinggang lelaki itu, ciuman mereka tak terputus.

Dengan lembut, Pak Gandi menurunkan Umi Siska ke tepi ranjang, tubuh mereka masih sangat dekat, bergesekan, merasakan setiap lekuk dan tonjolan yang saling berhadapan.

Tanpa melepaskan ciuman, tangan Pak Gandi mulai bergerak melucuti pakaian Umi Siska. Jemarinya yang cekatan dan berpengalaman dengan lembut menyelipkan di antara kancing daster tipis Umi Siska. Satu per satu, kancing terlepas, membuka sedikit demi sedikit kulit putih mulus yang selama ini tersembunyi.

Umi Siska mendesah pelan di antara ciuman mereka, merasakan hembusan udara dingin menyentuh kulitnya yang mulai hangat. Ia tak melawan, justru ikut membantu. Tangannya yang gemetar naik ke bahu Pak Gandi, kemudian turun ke kemeja batik yang dikenakan lelaki itu, menariknya pelan ke atas, seolah ingin segera menyingkirkan penghalang di antara mereka.

Daster tipis itu akhirnya melorot dari bahu Umi Siska, jatuh ke lantai dengan bunyi gemerisik pelan, meninggalkan Umi Siska hanya dengan pakaian dalamnya. Cahaya remang-remang dari lampu tidur yang samar menyinari tubuhnya, menyoroti lekuk payudara yang membusung di balik bra renda, serta garis celana dalam yang membungkus pinggulnya.

Pak Gandi menghentikan ciumannya sejenak, menatap Umi Siska dengan pandangan yang penuh gairah, matanya berkilat memancarkan keinginan yang dalam.

Umi Siska balas menatap, napasnya tersengal, wajahnya memerah karena malu sekaligus gairah. Dalam tatapan Pak Gandi, ia melihat kerinduan yang sama dengan yang ia rasakan, sebuah pengakuan akan kecantikan dan daya tariknya yang selama ini terabaikan.

Jantungnya berdebar kencang, kali ini bukan karena takut atau malu, melainkan karena gejolak hasrat yang membakar. Ia tak lagi memikirkan Ustadz Fahmi, tak lagi memikirkan Adnan, apalagi kedua anaknya yang sedang mesantren. Yang ada hanya Pak Gandi di hadapannya, dan keinginan untuk merasakan sentuhan yang ia dambakan.

Mereka tak bisa lagi dihentikan. Dengan langkah yang mantap, Pak Gandi membawa Umi Siska menuju kamar, tempat yang lebih privat, tempat di mana batas-batas akan benar-benar runtuh, dan hasrat yang terpendam akan menemukan pelepasannya.

Pak Gandi tak bisa lagi menahan diri. Tatapannya yang penuh nafsu menyapu tubuh Umi Siska yang kini setengah telanjang, bra renda hitam yang menyangga payudara montoknya, dan celana dalam tipis yang membungkus pinggul lebarnya. Napasnya berat, dada naik-turun cepat, sementara tangannya kembali bergerak, kali ini lebih berani dan penuh gairah.

Ia meraih kaitan bra di belakang punggung Umi Siska, jarinya lincah membuka kait itu dengan satu gerakan halus. Bra itu melorot pelan, memperlihatkan payudara Umi Siska yang penuh dan kencang, putingnya yang sudah mengeras karena udara dingin dan sentuhan sebelumnya. Pak Gandi mendesah pelan, matanya tak berkedip, seolah memuja pemandangan itu.

"Masya Allah... sempurna sekali," bisiknya serak, suaranya penuh kekaguman yang bercampur nafsu.

Umi Siska merasa tubuhnya terbakar, sensasi angin malam menyentuh kulit telanjangnya membuatnya menggigil, tapi bukan karena dingin, melainkan karena gelombang panas yang naik dari perutnya. Ia tak lagi berusaha menutupi diri; malah, tangannya naik ke dada Pak Gandi, menarik kemeja batiknya hingga kancing-kancingnya terlepas satu per satu, memperlihatkan dada berbulu tipis dan perut yang masih rata untuk lelaki usia 57 tahun.

Kulit Pak Gandi terasa kasar dan hangat di bawah telapak tangannya, kontras dengan kelembutan tubuhnya sendiri. Mereka saling menatap, mata Umi Siska berkaca-kaca oleh campuran rasa bersalah yang tersisa dan hasrat yang tak terkendali. "Pak... ini salah," gumamnya lemah, tapi suaranya justru seperti undangan, bukan penolakan.

^*^

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel