Digilir - 4
Pak Gandi tak menjawab dengan kata-kata. Ia menekan tubuh Umi Siska ke ranjang, bibirnya kembali menyerang, kali ini lebih ganas, menggigit pelan bibir bawah Umi Siska sebelum turun ke lehernya, meninggalkan jejak ciuman basah yang membuat Umi Siska menggelinjang. Tangan kanannya meremas payudara kiri Umi Siska, jempolnya menggosok puting yang sensitif itu hingga Umi Siska mendesah keras, suara yang selama ini ia pendam kini meledak bebas.
"Ahh... Pak..." erangnya, punggungnya melengkung, menekan tubuhnya lebih dekat ke Pak Gandi. Tangan kirinya turun lagi ke selangkangan lelaki itu, kali ini lebih tegas, meremas tonjolan yang kini terasa seperti besi panas di balik celana. Ia bisa merasakan denyutannya, panjang dan tebal, membuat imajinasinya liar, seperti yang ia bayangkan tadi siang, jauh lebih memuaskan daripada kenangan pudar dengan suaminya.
Pak Gandi merespons dengan gerakan cepat. Ia bangkit sebentar, menarik celananya sendiri ke bawah, memperlihatkan penisnya yang selama ini hanya ia pamerkan melalui tonjolan. Senjata itu memang sangat besar, panjang, dan keras, urat-uratnya menonjol di bawah kulit yang tegang.
Umi Siska menatapnya dengan mata melebar, napasnya tersengal, tangannya tanpa sadar meraihnya, merasakan kehangatan dan kekerasan yang begitu nyata.
"Ini... yang Umi butuhkan," bisik Pak Gandi, suaranya parau, sebelum ia menarik celana dalam Umi Siska ke bawah, memperlihatkan rahasia terakhirnya yang basah oleh hasrat. Tubuh mereka kini telanjang sepenuhnya, bergesekan di atas seprai yang kusut, keringat mulai membasahi kulit mereka.
Pak Gandi memposisikan dirinya di antara paha Umi Siska yang terbuka, tangannya memegang pinggulnya erat, sementara Umi Siska melingkarkan kakinya di pinggang lelaki itu, menariknya lebih dekat. Penis kekar itu masuknya lambat tapi pasti, membuat Umi Siska menjerit pelan, campuran sakit dan kenikmatan yang membanjiri seluruh tubuhnya.
"Ya Allah... lebih dalam lagi, Paaaaak..." desahnya, lupa segalanya, hanya ada ritme tubuh mereka yang saling menyatu, semakin cepat, semakin intens, hingga ranjang bergoyang dan desahan mereka memenuhi kamar saat Umi Siska benar-benar mencapai puncaknya..
Malam itu, di rumah yang sepi, Umi Siska menemukan pelepasan yang selama ini ia idamkan, meski dengan harga yang mahal di hati nuraninya.
Setelah gelombang kenikmatan Umi Siska mereda, Pak Gandi yang penuh pengalaman itu masih tak puas. Dengan tangan yang kuat namun lembut, ia membalikan tubuh Umi Siska menungging, posisi yang membuatnya berlutut di ranjang, punggung melengkung, dan pantat terangkat.
Umi Siska kaget, matanya melebar, jantungnya berdegup lebih kencang lagi. "Pak... apa-apaan ini?" gumamnya pelan, suaranya campur antara terkejut dan penasaran.
Selama ini, suaminya tak pernah banyak gaya dalam bercinta, selalu misionaris yang sederhana, dingin, dan cepat berakhir, seolah kewajiban semata. Posisi menungging seperti saat ini terasa asing dan terlarang, membuatnya merasa rentan tapi juga terbuka untuk sesuatu yang baru.
Pak Gandi tersenyum licik dari belakang, tangannya mengusap pelan punggung Umi Siska, merasakan getaran kulitnya yang basah oleh keringat.
"Santai, Umi... biar saya ajari menikmati kebersamaan yang jauh lebih enak," bisiknya serak, suaranya penuh keyakinan dari pengalaman panjangnya.
“Hah!” seru Umi Siska kaget. Dia terperanjat saat mulut Pak Gandi menyentuh area intim belahan pantatnya. Lidah Pak Gandi yang hangat dan lincah menyapu pelan, menjilat bibir anusnya. Bagian paling sensitif yang selama ini tak pernah disentuh siapa pun kecuali dirinya, apalagi dengan cara seperti ini, menungging.
Dalam sepanjang hidupnya, Umi Siska baru merasakan sensasi gila ini. Tak menduga seorang kepala sekolah, atasan suaminya yang bahkan oleh sebagain warga juga sering dijuluki Pak Ustadz, berani menjilati anusnya. Hal yang selama ini dia naggap kotor dan menjijikan. Namun anehnya hal itu juga membuat gelombang panas naik dari bawah perutnya, seperti arus listrik yang menyambar ke seluruh tubuhnya denga tiba-tiba.
“Paaaaak uuuuh jangaaan….”
Umi Siska tak mampu meneruskan lenguhannya, ia merasa melayang di awang-awang, sebuah rasa yang sudah selama berumah tangga dengan suaminya, baru kali ini dirasakannya. Anus dan vaginanya dijilati secara bergantian, dia bahkan tak pernah membayangkannya.
Tubuh Umi Siska gemetar hebat, tangannya mencengkeram seprai erat, desahannya tak terkendali lagi "Ahh... Pak... jangan berhenti… lebih dalaaaam…" Pinggulnya tanpa sadar bergoyang, mengejar kenikmatan yang begitu intens dan liar dari lidah suami orang. Lupa dengan jadi dirinya, suaminya juga kedua anaknya yang sedang mondok di pesantren.
Pak Gandi makin bersemangat, terus mengeksplorasi dengan penuh gairah lobang depan dan belakang istri bawahannya yang sejak pertama bertemu memang sudah ditarget. Tangannya meremas pantat, bibir dan lidahnya makin liar dan rakus bermain pada dua lobang sensitif Umi Siska, Semakin membaust wanita itu tenggelam dalam sensasi dahsyat hingga dia menyerah.
“Aaaaaah Paaaak sayaaaaa dapat lagiiii…. oooh sssst… nikmaaat sekaliii….” Umi Siska mencapai puncak lagi, tubuhnya ambruk ke ranjang, napas tersengal, pikirannya kosong oleh euforia yang tak pernah ia bayangkan benar-benar melanda jiwa raganya.
“Istirahat saja dulu, Mi,” bisik Pak Gandi lembut.
Setelah gelombang kenikmatan yang membara mereda, kamar tidur terasa hening, hanya diisi napas tersengal Umi Siska yang masih terbaring lemas di ranjang, tubuhnya basah oleh keringat dan sisa-sisa gairah.
Pak Gandi, dengan tetap telanjang bulat bangkit dari ranjang. Ia menatap Umi Siska sebentar, senyum lembut tersungging di bibirnya, sebelum berjalan ke luar kamar. Penisnya yang besar dan panjang dan masih mengacung keras, tampa berayun. Dia berjalan ke dapur dengan perlahan. Suara air mengalir dan teko dan gelas beradu, memecah keheningan malam yang panas.
Pak gandi kembali dengan segelas air dingin, mendekati Umi Siska yang kini duduk setengah bersandar di bantal, selimut tipis menutupi tubuhnya yang lelah tapi puas.
"Ini, Umi. Minum dulu, biar segar," katanya pelan, menyerahkan gelas itu ke tangan Umi Siska yang gemetar.
Umi Siska menyesap air itu pelan, merasakan kesejukan yang menenangkan tenggorokannya yang kering, tapi matanya tak lepas dari lelaki di depannya. Pak Gandi lalu duduk di sisi ranjang, lengannya melingkar lembut di bahu Umi Siska, menariknya ke pelukannya. Tubuh mereka bersentuhan lagi, tapi kali ini bukan gairah liar, melainkan kehangatan yang intim.
Ia menunduk, menciumi kening Umi Siska dengan lembut, bibirnya berlama-lama di sana, diikuti bisikan mesra yang mengalir seperti madu: "Kamu luar biasa, Bu. Terima kasih sudah percaya padaku malam ini. Aku janji, ini baru awal." Sesuatu yang nyaris tak pernah dilakukan Ustadz Fahmi.
Umi Siska terbuai, jiwanya meleleh dalam pelukan itu, merasakan kelembutan yang selama ini hilang dari kehidupan rumah tangganya. Ia merasa jika selama ini suaminya hanya menganggap dirinya seonggok daging. Bersetubuh tak lebih dari sebuah kewajiban yang dingin, tanpa sentuhan hangat, tanpa bisikan mesra, apalagi setelah didera gelombang klimaks. Bersama Pak gandi Umi Siska merasa berbeda, lebih hidup.
Setelah dirasa Umi Siska kembali bertenaga, Pak Gandi, dengan mata yang masih berkilat gairah, tersenyum puas melihat perubahan itu. Ia tahu, wanita di depannya kini siap untuk petualangan yang lebih dajsyat. Dan bandot tua penuh pengalaman itu, tak akan menyia-nyiakan momen yang sudah lama dia nanti-nantikan.
Dengan gerakan mantap, ia bersiap memberikan yang sebenar-benarnya, sesuatu yang lebih dalam dan bertahan lama, bukan sekadar ledakan cepat seperti yang mungkin pernah dialami Umi Siska sebelumnya.
Pak Gandi memposisikan dirinya di depan Umi Siska, yang kini terlentang bebad dan membentangkan kedua kakinya lebar di ranjang. Posisi yang membuatnya merasa terbuka sepenuhnya, rentan tapi juga penuh antisipasi. Tubuh Umi Siska masih basah oleh keringat, seprai kusut di bawahnya, dan cahaya lampu tidur yang remang menyoroti lekuk pahanya yang halus.
Ia merangkak mendekat, tangannya memegang pinggul Umi Siska lembut tapi tegas, menariknya lebih dekat hingga penisnya yang besar dan keras menyentuh bibir vagina yang sudah basah dan siap. Umi Siska menahan napas, matanya menatap Pak Gandi dengan campuran kerinduan dan sedikit ketakutan, ini akan berbeda, lebih intens dari sebelumnya.
"Nikmatin, Sis," bisik Pak Gandi serak, suaranya penuh janji, matanya terkunci pada wajah Umi Siska. "Aku akan melakukannya dengan lebih pelan, biar kamu lebih bisa menikmati sepenuhnya." dia bahkan mulai mengganti panggilan dengan ‘aku dan kamu.’ Yang terasa lebih intik.
Pak gandi lantas mendorong pinggulnya, batang penisnya masuk pelan inci demi inci, memberi waktu bagi Umi Siska untuk merasakan setiap denyut dan panasnya.
“Paaaak Ooooh sssst nikmaaaat…. sekaliii ini aaaah…” Umi Siska mendesah panjang, punggungnya melengkung, tangannya mencengkeram bahu Pak Gandi erat.
Ritmenya lambat tapi dalam, setiap dorongan seperti gelombang yang membangun kenikmatan bertahap, membuat Umi Siska merasakan setiap detail, panjangnya yang mengisi ruang kosong bertahun-tahun, kekerasannya yang tak pudar, dan cara ia menyentuh titik-titik sensitif yang tak pernah disentuh suaminya.
"Ahh... Pak... lebih pelan lagi..." erangnya, kakinya melingkar di pinggang lelaki itu, menariknya lebih dalam, tubuhnya bergoyang mengikuti irama yang lambat tapi memabukkan.
Malam itu, di kamar suaminya, Umi Siska benar-benar tenggelam dalam kenikmatan yang pelan dan mendalam dari lelaki lain. Sebuah pengalaman yang membuatnya lupa segalanya kecuali sensasi nikmat yang tak terkirakan.
Ritme mereka semakin cepat, dorongan Pak Gandi makin intens, tak lagi pelan seperti janji awalnya. Kedua tubuh itu bergesekan, melenguh, dan mendesah dalam satu kesatuan gila di tengah kegelapan kamar. Umi Siska tak henti-hentinya mengerang, suara-suara yang selama ini ia pendam kini pecah bebas, membanjiri ruangan.
Ia mencengkeram punggung Pak Gandi, kuku-kukunya tanpa sadar menancap di kulit lelaki itu, meninggalkan jejak merah samar. Matanya terpejam erat, wajahnya memerah padam, keringat bercucuran membasahi pelipisnya.
Pak Gandi tak kalah liar. Napasnya terengah-engah, rahangnya mengeras, wajahnya menunjukkan perjuangan untuk menahan ledakan yang sudah di ujung penis. Ia membungkuk.
“Nikmatin kontolku dengan hati, Sis,” ia membisikkan kata-kata kotor dan penuh gairah di telinga Umi Siska, sambil memompa pinggulnya dengan kekuatan penuh, mempercepat irama yang sudah menggilas batas.
Kata-kata vulgar dari keduanya mulai meluncur bebas. Setiap hentakan terasa begitu dalam, begitu tepat, mengenai semua titik kenikmatan yang Umi Siska bahkan tak tahu ia miliki. Tak lama kemudian.
“Paaaak aaah nikmaat sekali kon…kontol Bapak…”
“Memekmu juga sangat luar biasa, Siska. Baru kali ini… aku dapat yang senikmat ini… aaah ssst..”
“Paak aku dapaaat lagiiii…”
“Akuuuuu sssst jugaaaa, kita bareng ajaaaa, Sayaaaang…”
Mereka mencapai puncak nyaris bersamaan. Sebuah gelombang gila melanda tubuh Umi Siska, sensasi yang berkali-kali lipat lebih kuat, lebih lama, dan lebih memabukkan dari dua puncak sebelumnya.
Umi Siska kejang-kejang di bawah Pak Gandi, merasakan orgasme yang begitu intens hingga seluruh indranya lumpuh. Di saat yang sama, Pak Gandi mendesah panjang, mengerang, menumpahkan semua spermanya dalam vagina istri bawahannya, tubuhnya bergetar hebat di atas wanita itu.
Umi Siska benar-benar merasakan sesuatu yang tak pernah terjadi dengan suaminya. Kenikmatan sinkron seperti ini, mencapai puncak bersamaan dengan intensitas segila ini, adalah sebuah fantasi yang tak pernah ia raih bersama Ustadz Fahmi.
Dalam pelukan Pak Gandi, Umi Siska benar-benar merasakan ledakan gairah yang sesungguhnya, sebuah pemenuhan yang selama ini hanya ia impikan.
Mereka terbaring lemas pasca guncangan itu. Napas terengah-engah, tubuh bersatu, keringat membasahi seprai. Keheningan kembali merayap masuk, kali ini diisi dengan detak jantung yang masih berpacu kencang dan sensasi memabukkan yang masih terasa di setiap sel tubuh Umi Siska.
Setelah puncak ketiga yang menyapu seperti badai, kelelahan seharusnya datang. Namun, Pak Gandi dan Umi Siska seolah tak merasakan batas fisik malam itu. Gairah mereka tak padam; malah, semakin membara, seperti api yang ditiup angin. Mereka kembali melakukannya, tubuh saling menempel lagi di ranjang yang kini basah oleh keringat dan sisa-sisa kenikmatan.
Pak Gandi, dengan stamina yang mengejutkan untuk usianya, memimpin ritme yang bervariasi, kali ini dari samping, tangannya menjelajahi setiap inci kulit Umi Siska, membuatnya mendesah dan menggelinjang tanpa henti.
Umi Siska, yang awalnya lemas, kini merespons dengan semangat baru, tangannya meremas punggung lelaki itu, kakinya melingkar erat, mengejar gelombang demi gelombang kenikmatan yang datang bertubi-tubi.
Mereka berganti posisi lagi, Umi Siska di atas, merasakan kendali untuk pertama kalinya dalam hidupnya, pinggulnya bergoyang pelan tapi penuh hasrat, sementara Pak Gandi memandu dari bawah dengan tangan di pinggangnya.
Setiap dorongan, setiap sentuhan, membawa puncak baru, keempat, kelima yang membuat Umi Siska menjerit pelan, tubuhnya kejang hebat, merasakan ledakan yang lebih intens dari sebelumnya.
Tak ada capek yang terasa; hanya euforia yang tak terkira, seolah waktu berhenti dan dunia hanya milik mereka berdua di kamar yang remang itu.
Akhirnya, ketika jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari, Pak Gandi berpamitan. Tubuhnya masih berkilau keringat, tapi senyumnya puas dan lembut.
"Sis, terima kasih malam ini. Ini rahasia kita," bisiknya, mencium kening Umi Siska sekali lagi sebelum bangkit dan mengenakan pakaiannya.
Umi Siska sendiri hanya mengantar sampai pintu dapur, tubuhnya lemas seperti kapas basah, kakinya gemetar saat berjalan. Tak kurang hingga lima kali dia mencapai puncak malam itu, sebuah rekor hidup yang sebelumnya dia menduga sangat mustahil.
Saat Pak Gandi telah pergi, Umi Siska bersandar di dinding, napasnya masih tersengal, pikirannya campur aduk antara kepuasan mendalam, kekesalan sekaligus bayang-bayang penyesalan yang lambat laun menyusup.
Tak pernah dia bisa mencapai kepuasan batin sehebat ini bersama suaminya, Bersama Ustadz Fahmi, bisa mencapai puncak saja sudah sangat luar biasa, itu pun terjadi diawal-awal pernikahan yang kini terasa seperti kenangan pahit yang tak mau pudar. Kesal karena selama ini ternyata suaminya tak pernah benar-benar berusaha memuaskannya. Kalah jauh dengan Pak Gandi, padahal usianya jauh lebih muda.
Bagi Umi Siska, Pak Gandi bukan hanya kuat secara stamina, tapi juga tahu cara memuaskan setiap hasrat yang terpendam, serta pandai memanjakan pasangan. Sesuatu yang tak pernah dilakukan oleh suaminya.
^*^
