Pustaka
Bahasa Indonesia

Digilir Suami Orang

161.0K · Baru update
Demar
117
Bab
2.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

DIGILIR SUAMI ORANG (21+) Novel original belum pernah diterbitkan di platform manapun dan dalam bentuk apapun, Hanya ada di Hinovel. Kisah menegangkan yang unik berbeda dengan cerita manapun yang pernah ada. Disarankah khusus pembaca yang sudah memiliki kedewasaan dalam berpikir dan bertindak.

RomansaIstriPerselingkuhanKeluargaPernikahanPlot TwistBalas Dendam

Digilir - 1

Sabtu pagi masih diselimuti embun ketika sebuah motor berhenti di bahu jalan Kampung Cikulat. Tanah becek sisa hujan malam berbau segar, berpadu aroma rumput basah dan asap kayu dari dapur warga. Di kejauhan, hamparan sawah menguning menyambut cahaya matahari.

Seorang pria turun dari motor, mengenakan kemeja krem dan sepatu tua. Istrinya, menyusul sambil merapikan gamis bermotif bunga.

“Alhamdulillah, sampai juga, Mi,” katanya lega.

“Masya Allah, adem sekali,” balas Umi Siska sambil menatap rumah mungil bercat hijau muda dan pohon jambu air yang rimbun.

Beberapa perempuan kampung mendekat.

“Pak guru baru, ya?” tanya seorang ibu.

“Iya, Bu. Saya Fahmi, ini istri saya, Siska.”

Warga menyambut hangat, candaan ringan membuat suasana cepat cair. Mereka ikut membantu merapikan rumah.

Fahmi Nawawi, 45 tahun, guru agama yang sabar, resmi tinggal di kampung terpencil ini dengan harapan menemukan ketenangan baru. Istrinya, Siska Risma MeiLesti, 40 tahun, dikenal lembut dan mudah akrab. Dua putra mereka mondok di pesantren modern jadi tidak ikut pindah.

Sore hari, setelah shalat Ashar, Umi Siska keluar hendak ke warung. Namun gamis yang ia kenakan tampak lebih pas dari biasanya, membuat Ustad Fahmi sedikit risi.

“Astagfirullah, Mi… itu nggak salah bajunya?”

Umi Siska tersenyum tipis. “Biasa saja, Bi. Di sini ibu-ibu juga banyak yang pakai model begini.”

Ustadz Fahmi menghela napas, “Kita harus jaga wibawa. Orang memperhatikan.”

“Ah, jangan terlalu kaku, Abi,” jawab Umi Siska lembut sebelum pergi.

Di warung, sambutan warga ramah, meski beberapa lelaki terlihat memberi perhatian lebih dari yang membuatnya nyaman. Pujian berlebihan membuatnya canggung, namun ia tetap menjaga senyum. Dalam perjalanan pulang, sekelompok pemuda menatapnya lama—berbisik-bisik dengan nada yang tidak ia mengerti namun cukup membuat langkahnya gelisah.

Beruntung, tak jauh dari rumah, beberapa ibu muda menyapanya ramah sehingga suasana hatinya kembali ringan.

Malamnya, setelah Isya, beberapa tokoh kampung berkunjung: Pak RT, Pak RW, Ustadz setempat, Ketua Pemuda dan beberapa warga. Umi Siska menyuguhkan minuman sambil merasakan sejumlah tatapan yang cepat berpaling saat tertangkap. Tatapan Adnan sang ketua pemuda, bahkan terasa lebih tajam, hampir membuatnya tidak nyaman.

Obrolan berlangsung hangat, membahas kegiatan kampung hingga rencana menghidupkan kembali pengajian remaja. Ustadz Fahmi tampak senang karena sambutan warga begitu baik, sementara Umi Siska berusaha tetap ramah meski perasaan was-was tak sepenuhnya hilang.

Setelah tamu pulang, Ustadz Fahmi berkata, “Alhamdulillah, hari pertama ramai ya, Mi. Insya Allah kita betah.”

“Amiin, Bi,” jawabnya. Ia tersenyum.

Pikiran Umi Siska masih terbayang tatapan-tatapan aneh dari para lelaki itu terutama Adnan. Namun ia tetap yakin, kampung Cikulat menyimpan kehangatan yang bisa menjadi awal baru bagi keluarganya.

Hari berikutnya berjalan tenang. Libur sekolah membuat suasana lebih santai; udara pagi dipenuhi aroma kopi dan sarapan. Matahari sudah naik ketika Ustadz Fahmi dan Umi Siska duduk di teras, menikmati angin lembut beraroma melati.

Suara motor berhenti di depan pagar bambu. Datanglah Pak Sugandi, Kepala Sekolah, bersama istrinya. Mereka membawa kue talam dan pisang rebus sebagai tanda silaturahmi.

“Assalamualaikum, Pak Ustadz, Bu Siska!”

“Waalaikumsalam, silakan masuk,” sambut Fahmi.

Umi Siska masuk ke dapur menyiapkan teh. Hari ini ia memilih gamis abu-abu sederhana, penampilan yang lebih hati-hati setelah pengalaman kurang nyaman kemarin.

Obrolan di ruang tamu mengalir santai.

“Gimana tidurnya semalam? Sudah betah di sini Pak Ustadz?” tanya Pak Gandi.

“Insya Allah, Pak. Semoga saya bisa memberi semangat baru di pelajaran agama,” jawab Ustadz Fahmi.

Bu Gandi tersenyum ramah. “Senin Bapak bisa kenalan dengan guru-guru. Bu Siska juga boleh ikut kegiatan PKK minggu depan.”

“Insya Allah, Bu,” sahut Umi Siska hangat.

Hampir satu jam mereka bercakap tentang kegiatan sekolah, kampung dan rencana gotong royong. Setelah berpamitan, pasangan itu pergi, meninggalkan kesan baik.

“Alhamdulillah, Pak Gandi orangnya menyenangkan,” ujar Ustadz Fahmi.

Namun Umi Siska hanya berdiri di ambang pintu, memegang nampan kosong. Ada sesuatu yang ia rasakan sejak tadi. Tatapan Pak Gandi beberapa kali terasa terlalu memperhatikan. Sekilas saja, namun cukup membuat hatinya tidak tenang. Ia mencoba menganggapnya hanya salah paham, tapi rasa gelisah itu bertahan.

Ia kembali ke dapur mencuci cangkir. Ingatannya melayang pada momen ketika Pak Gandi sempat lewat menuju kamar mandi. Senyumnya sopan, namun sorot matanya seolah mengamati lebih dari sekadar menyapa. Tidak ada tindakan yang jelas, tetapi cukup untuk membuatnya menundukkan wajah dan menjaga jarak.

Setelah rumah kembali rapi, Ustadz Fahmi mengajak istrinya jalan santai keliling kampung. Angin dari arah sawah membuat cuaca terasa sejuk meski matahari sedang terik. Umi Siska berusaha mengimbangi langkah suaminya sambil menenangkan kegelisahan yang tersisa sejak kemarin.

Mereka berpapasan dengan Bu Sinta dan Pak Joko, dua guru SD yang akan menjadi rekan Ustadz Fahmi.

“Semoga betah di Cikulat ya, Pak Ustadz,” sapa Bu Sinta sambil menawarkan es teh.

Obrolan ringan menyinggung sekolah dan kegiatan pengajian. Ustadz Fahmi tampak menikmati suasananya, sementara Umi Siska sesekali kehilangan fokus, teringat pada tatapan Pak Gandi yang mengganggunya tadi pagi.

Mereka melanjutkan berjalan, disapa banyak warga. Anak-anak kecil berlari menghampiri mereka, berebut salaman. Ustadz Fahmi terlihat gembira, merasa benar-benar diterima.

Setelah cukup lama, Ustadz Fahmi berkata, “Mi, kita sekalian mampir ke rumah Pak Gandi, ya? Dekat kok.”

Umi Siska terdiam sebentar, lalu mengangguk pelan, mengikuti langkah suaminya meski perasaannya masih bercampur.

Rumah Pak Gandi cukup megah berlantai dua dengan halaman berpagar kayu. Saat mereka mengetuk, Pak Gandi keluar dengan penampilan santai: kaos singlet dan celana pendek.

“Wah, Ustadz Fahmi, Umi Siska! Masuk, masuk. Saya lagi istirahat, kalau istri lagi ke kampung sebelah, ada kerabatanya yang sakit” sambutnya ramah.

Ustadz Fahmi sama sekali tidak mempermasalahkan penampilan atasannya yang sejatinya kurang sopan, namun dia memaklumi mungkin kebiasaan di rumah memang begitu.

“Kami cuma mampir sebentar, Pak. Barusan kami sudah keliling ketemu warga, orang tua murid juga Bu Sinta dan Pak Joko.”

Mereka duduk di ruang tamu yang sejuk, kipas angin berputar pelan. Pak Gandi menuangkan es jeruk. Obrolan beralih ke sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler. Umi Siska duduk di samping suaminya, berusaha diam dan tenang, meski perasaan tak nyamannya kembali muncul melihat dandanan Pak Gandi yang terlalu santai untuk menerima tamu, terutama anak buahnya dan istrinya.

“Umi, sudah nyaman di sini? Kalau butuh apa-apa, bilang aja ke saya,” tanya Pak Gandi dengan senyum lebar.

Umi Siska membalas dengan senyum tipis. Suasana sebenarnya tidak menyulitkan, namun kedekatan jarak dan tatapan Pak Gandi membuatnya kembali salah tingkah. Ia memegang gelas es jeruk erat, mencoba fokus pada percakapan suami dan atasannya.

Tiba-tiba Ustadz Fahmi berdiri. “Maaf, Pak Kepala, boleh pinjam kamar mandi sebentar?”

“Silakan, Pak, ada di dapur juga ada di lantai dua,” jawab Pak Gandi.

“Saya yang di dapur saja, Pak.” jawab Ustadz Fahmi sambil melangkah ke dapur dipandu Pak Gandi sampai pintu.

Kini hanya Umi Siska dan Pak Gandi di ruang tamu. Ruangan terasa lebih sunyi. Umi Siska menunduk, memainkan ujung gamisnya. Pak Gandi bersandar santai di sofa dan bergeser sedikit, seolah ingin menunjukkan bahwa ia benar-benar rileks di rumah sendiri.

“Umi, tenang aja. Di kampung ini kita semua akan dianggap satu keluarga,” katanya dengan nada ramah, meski bagi Umi Siska terdengar janggal.

“I-iya, Pak. Terima kasih sudah menyambut kami,” jawab Umi Siska dengan suara pelan.

Pak Gandi lalu menghela napas, menatapnya seolah ingin membuka percakapan yang lebih personal. “Ustadz Fahmi orang baik, Tapi ya… guru seperti dia pasti banyak beban. Hubungan suami-istri kadang terganggu karena rutinitas dan beban pikiriannya? Saya paham kok.”

Umi Siska terkejut. Ada nada samar yang membuat kata-kata itu terasa lebih dari sekadar obrolan biasa. Dari mana ia tahu tentang urusan rumah tangga? Mengapa komentar itu meluncur seolah ia sudah lama menyimpan persepsi tertentu tentang kehangan ranjang Ustadz Fahmi dan istrinya.

Pak Gandi bergeser lagi sedikit, duduk lebih kantas dengan tetap bersandar, kakinya terbuka lebar. Posisi itu membuat tonjolan di selangkangannya yang sebenarnya sudah terlihat jelas, kini semakin jelas di mata Umi Siska, walau terhalang celana pendeknya yang terkesan makin pendek. Umi Siska bahkan menduga lelaki paruh baya itu tak memakai dalaman.

Umi Siska merasakan wajahnya memanas, matanya buru-buru memaling ke jendela, tapi bayangan yang sempat terlihat tak bisa sepenuhnya lepas dari benaknya. Apakah ini sengaja? Pikirannya berputar kacau, membuatnya salah tingkah, tangan gemetar saat memegang gelas, dan ia berpura-pura menatap gambar karpet lantai.

Beruntung Ustadz Fahmi tak muncul lagi dari dapur, lantas melirik jam di pergelangan tangannya.

"Pak Kepala, kami harus pamit dulu, sudah sore. Terima kasih banyak sudah menyambut kami dengan hangat," ujarnya ramah. Umi Siska segera berdiri, merasakan sedikit kelegaan bahwa momen ini akan segera usai.

Pak Gandi ikut bangkit, senyumnya masih tersungging. "Oh, iya, Pak Ustadz. Jangan sungkan-sungkan mampir lagi kapan-kapan, kita bisa diskusi santai di sini. Umi juga main aja sering-sering ke sini biar cepat akrab dengan istri saya," jawabnya kalem sambil mengantar Ustadz Fahm dan istrinya sampai beranda.

Hari-hari berlalu. Umi Siska mulai mengikuti ritme hidup kampung, ikut mencuci dan mandi di sungai bersama ibu-ibu, menghadiri arisan, dan menjadi bagian dari obrolan ringan tetangga. Meski kadang masih menerima tatapan-tatapan lelaki yang membuatnya canggung, ia berusaha tetap ramah dan menjaga sikap.

Dua bulan tinggal di Cikulat, keluarga Ustadz Fahmi semakin dikenal. Warga sering memuji keanggunan Umi Siska; pesona halusnya membuatnya cepat terkenal. Meski ia selalu mengikuti anjuran suami untuk berpakaian sopan, tetap saja ada lelaki yang memperhatikan dengan cara yang membuatnya gelisah. Ditambah lagi, hubungan rumah tangga mereka terasa dingin belakangan ini, membuat batinnya makin rapuh.

Siang itu Umi Siska baru pulang dari sungai. Gamis krem yang ia kenakan masih agak lembap saat ia menjemur cucian di halaman samping. Tempat itu agak tersembunyi, namun masih terlihat dari pagar bambu. Angin semilir menenangkan, tetapi pikirannya tidak.

Tiba-tiba terdengar suara memanggil.

“Assalamualaikum, Umi! Lagi sibuk?”

Umi Siska terkejut. Di balik pagar berdiri Pak Sugandi, berseragam PNS rapi, map tebal di tangan.

“Maaf mengganggu. Saya habis dari rumah orang tua murid. Lewat sini sekalian mampir. Ustadz Fahmi masih di sekolah, ya?”

“Waalaikumsalam… iya, Pak.” Umi Siska mencoba tersenyum, meski gamisnya yang lembap menempel pada tubuh membuatnya tidak nyaman.

Pandangan Pak Gandi tampak terlalu memperhatikan, jauh lebih lama dari yang pantas.

“Sudah dua bulan di Cikulat, Umi betah?” tanya dengan senyum yang terasa terlalu akrab.

“Alhamdulillah, Pak. Sudah mulai terbiasa,” jawabnya pelan.

Pak Gandi mengangguk, sorot matanya tak lepas darinya.

“Kalau ada apa-apa, Umi bilang saja. Saya harus pastikan keluarga guru-guru aman dan nyaman.”

Lalu ia mengeluarkan ponsel.

“Boleh minta nomor Umi? Biar mudah kalau ada hal penting. Pak Ustadz kan sering di luar.”

Umi Siska ragu sejenak, tapi akhirnya menyebutkan nomornya. Secara formal itu wajar. Namun hati kecilnya terasa tidak tenang. Ada sesuatu dalam cara Pak Gandi berdiri, bicara, dan menatap yang membuatnya ingin lekas mengakhiri percakapan.

“Baik, Umi. Nanti saya hubungi kalau ada kabar,” katanya sebelum pergi.

Begitu ia menghilang dari pandangan, Umi Siska segera masuk dan mengunci pintu. Napasnya berat, tangan gemetar. Ia duduk di sofa, mencoba memahami perasaan yang menekan dadanya: takut, cemas… dan sesuatu lain yang ia benci akui. Bahwa sikap Pak Gandi membangunkan kembali ketidakstabilan batinnya beberapa bulan terakhir.

Ia mencoba mengalihkan pikiran dengan beres-beres rumah. Namun bayangan tatapan Pak Gandi seakan menempel. Rumah terasa sepi, tetapi ia merasa seperti diawasi.

Ponselnya tiba-tiba bergetar. [Umi, ini nomor pribadi saya. Kalau Umi butuh apa-apa, kabari saja.]

Umi Siska mengetik pelan: [Iya, Pak. Terima kasih.]

Beberapa detik kemudian pesan baru masuk: [Saya lewat tadi lihat Umi baru dari sungai. Kelihatan segar sekali.]

Dada Umi Siska langsung mengencang. Ia tidak membalas.

Pesan berikut menyusul: [Kalau ada yang ganggu, bilang sama saya. Pak Ustadz kan banyak kesibukan… pasti Umi sering sendirian, ya?]

Umi Siska segera menutup ponsel. Tangannya gemetar lebih keras daripada tadi. Ia berdiri, menatap pintu rumah seolah takut seseorang mengetuk kapan saja.

Dalam hatinya muncul dua ketakutan sekaligus: Tukut pada orang lain, dan takut pada pikirannya sendiri yang mulai goyah.

Haruskah ia menceritakan ini pada suaminya? Ataukah diam, agar tidak menimbulkan masalah di tempat yang baru?

Umi Siska masih mencoba menenangkan diri, tiba-tiba terdengar suara letusan senapan angin dari belakang rumah.

Dorr! Dorr! Dorr!

Umi Siska tersentak dan melonjak kaget, tubuhnya bergetar hebat. Wajar saja, ia kan baru kemarin pindah ke kampung ini. Suara tembakan itu membuatnya membayangkan hal-hal yang tidak-tidak. Dengan jantung berdebar tak karuan dan lutut yang terasa lemas, ia memberanikan diri mengintip dari jendela dapur.

Di halaman belakang, sekitar dua puluh meter dari rumahnya, dekat rimbunnya pohon-pohon besar dan semak belukar, berdiri seorang lelaki. Ia sedang asyik membidik sesuatu dengan senapan anginnya. Burung, mungkin? Atau tupai yang sering mencuri buah?

^*^