Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Digilir - 2

Lelaki itu tampak santai, hanya mengenakan kaus singlet putih yang memperlihatkan otot-otot lengannya dan celana pendeknya. Umi Siska terus mengamati gerak-geriknya dengan rasa was-was. "Siapa dia? Dan kenapa menembak di dekat sini bukan di hutan?" gumamnya dalam hati.

Setelah beberapa lama fokus membidik ke arah pepohonan, lelaki itu tiba-tiba menurunkan senapan anginnya dan menyandarkannya di batang pohon mangga yang kokoh, lalu tanpa ragu-ragu, ia melonggarkan ikat pinggangnya dan menurunkan celana pendeknya hingga sebatas lutut.

Umi Siska tercekat dan tertegun. ‘Apa yang akan dia lakukan?’ pikirnya panik.

Lelaki itu berdiri menghadap semak-semak yang rimbun, lalu mulai buang air kecil. Dari sudut pandang Umi Siska yang mengintip dari balik jendela dapur, bisa dengan jelas melihat segalanya dari samping.

Umi Siska membeku. Jantungnya berdebar makin tak terkendali. Bukan hanya karena kaget, tapi juga rasa malu dan sedikit rasa ingin tahu yang bercampur desiran aneh yang sulit dikendalikan. Ia dengan jelas melihat ‘batang senjata’ lelaki itu.

Ukurannya tampak luar biasa, jauh berbeda denagn milik suaminya atau yang ia bayangkan saat pertama melihat lelaki itu tadi. Seketika pipi Umi Siska memerah dan memanas. Ia segera memalingkan muka, berusaha keras untuk tidak melihat lagi.

Saat pemuda itu selesai buang air kecil dan hendak menarik kembali celananya, ia menolehkan wajahnya ke arah jendela dapur. Mata Umi Siska seketika terbelalak lebar, mulutnya menganga tanpa sadar. Lelaki itu ternyata Adnan! Sang ketua pemuda kampung yang sudah lama tidak ia lihat karena memang kerja dan tinggal di kota dengan istrinya.

Umi Siska bahkan masih ingat, bagaimana kilatan nakal mata Adnan saat ia bercanda dengan Pak RW dan saat berpamitan beberapa bulan lalu.

‘Ya Tuhan! Mas Adnan?’ batin Umi Siska histeris. Ia merasa malu, kaget, dan bingung bercampur jadi satu.

Umi Siska segera berjongkok di bawah jendela, berusaha menyembunyikan diri. Ia berharap Adnan tidak melihatnya mengintip. Ia merasa sangat bersalah dan malu. Bagaimana jika Adnan tahu bahwa ia telah melihatnya dalam keadaan seperti itu? Apa yang akan dipikirkannya?

‘Bagaimana bisa aku tidak mengenalinya? Mungkin karena Mas Adnan hanya mengenakan singlet dan celana pendek, atau mungkin karena aku terlalu fokus pada ‘batang senjatanya? Sialan!’ batinnya.

Jantung Umi Siska masih berdebar kencang. Ia mencoba mengatur napasnya dan menenangkan diri. Kejadian ini terlalu tiba-tiba dan mengejutkan. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap jika bertemu Adnan lagi nanti. Yang jelas, ia merasa sangat tidak nyaman dan ingin segera melupakan kejadian ini.

Setelah beberapa saat berjongkok di bawah jendela, Umi Siska menduga Adnan sudah pergi. Ia memberanikan diri untuk bangkit dan mengintip lagi. Halaman belakang sudah sepi. Ia menghela napas lega. ‘Syukurlah, dia sudah pergi,’ pikirnya.

Umi Siska merasa bahwa kampung Cikulat ini semakin membawa dirinya ke dalam berbagai situasi yang tak terduga. Setelah berbagai ketegangan batin yang ia alami, kini ia harus kembali menghadapi kejutan lain. Kejutan yang selalu membuatnya merasa campur aduk: kaget, malu, dan sedikit rasa ingin tahu yang tak seharusnya.

Namun, baru saja ia hendak berbalik, tiba-tiba terdengar suara ketukan pelan di pintu depan.

Tok! Tok! Tok!

Umi Siska terkejut. Siapa yang datang pagi-pagi begini? Dengan ragu-ragu, ia melangkah menuju pintu depan dan membukanya perlahan.

Di ambang pintu, berdiri Adnan. Ia tersenyum manis, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi.

"Selamat siang, Bu Ustadzah," sapanya sopan. "Maaf mengganggu. Boleh minta air minum? Haus sekali sedang berburu bajing."

Debaran jantung Umi Siska semakin parah. Ia tidak menyangka akan bertemu Adnan kembali secepat ini, dan dalam situasi seperti ini. Kini, ia tidak lagi melihat Adnan sebagai ketua pemuda yang sopan dan ramah. Yang terbayang di benaknya adalah ‘senjata laras panjang yang tadi dilihatnya sekilas dan benar-benar menakjubkan.

Ia merasa gugup dan salah tingkah. "Oh, Mas Adnan... Iya, tentu saja. Masuklah," jawab Umi Siska dengan suara sedikit bergetar.

Dengan senyum ramahnya, Adnan masuk ke ruang tamu. Ruangan itu sederhana namun tertata rapi, mencerminkan kepribadian pemiliknya yang telaten. Adnan mengedarkan pandangannya sejenak, lalu kembali menatap Umi Siska dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Terima kasih, Bu," ucap Adnan sambil duduk di kursi yang berada di dekat meja. "Maaf sudah lama tak bertemu, sekalinya bertemu lagi merepotkan ya."

Umi Siska berusaha menenangkan diri. Ia berjalan menuju dapur untuk mengambilkan air minum untuk Adnan. Sambil menuangkan air ke dalam gelas, pikirannya berkecamuk. Ia merasa canggung dan tidak tahu harus berkata apa. Bayangan penis besar dan panjang itu terus membayang.

"Ini, minumnya, Mas," ucap Umi Siska sambil menyodorkan segelas air dingin kepada Adnan. Tangannya sedikit gemetar.

Adnan menerima gelas itu dengan senyum. "Terima kasih banyak, Bu," ujarnya. Ia meneguk air itu dengan cepat, lalu menghela napas lega. "Segar sekali."

Setelah meletakkan gelasnya di meja, Adnan kembali menatap Umi Siska. Tatapannya kali ini terasa lebih intens dan penuh arti. Umi Siska merasa jantungnya semakin berdebar kencang. Ia tahu, percakapan ini akan menjadi lebih sulit dari yang ia bayangkan.

"Ibu pasti kaget ya, lihat saya tadi di belakang rumah?" tanya Adnan tiba-tiba, dengan nada suara yang menggoda.

Umi Siska tersentak. Ia merasa wajahnya memerah. "Ah... itu... anu..." jawabnya gugup, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Saya... saya tidak sengaja melihat..."

Adnan tersenyum semakin lebar. "Tidak sengaja melihat apa, Bu?" godanya lagi, membuat Umi Siska semakin salah tingkah.

Umi Siska menelan ludah. Ia tahu, ia tidak bisa lagi menghindar. Ia harus menghadapi situasi ini dengan tenang dan kepala dingin. Tapi, bagaimana caranya? Pikirannya benar-benar buntu.

"Eh, Mas Adnan, maaf ya, saya sedang masak, buat persiapan makan siang Pak Ustadz. Mohon maaf," ucap Umi Siska dengan nada yang dibuat sesantai mungkin, meskipun jantungnya masih berdegup kencang. Ia berharap alasan ini cukup meyakinkan Adnan untuk segera pergi.

Adnan tampak mengerti. "Oh, begitu. Tidak apa-apa, Bu. Saya juga tidak mau mengganggu terlalu lama," jawabnya sambil bangkit dari kursi. Ia tersenyum ramah, tapi tatapannya masih menyimpan sesuatu yang sulit dibaca.

Adnan berjalan menuju pintu, namun sebelum keluar, ia berhenti sejenak dan menoleh ke arah Umi Siska.

"Oh iya, Bu, kalau boleh, kita tukeran nomor ponsel ya?" pintanya dengan nada yang terdengar sangat sopan. "Biar mempermudah komunikasi, terutama kalau ibu butuh teman ngobrol, atau untuk apa saja." Adnan bahkan menekankan kata "untuk apa saja" sambil mengedipkan sebelah matanya.

Umi Siska merasa pipinya kembali memanas. Ia mengangguk pelan dan menyebutkan nomor ponselnya. Adnan dengan cepat menyimpan nomor itu di ponselnya, lalu membalasnya dengan sebuah pesan singkat. [Ini nomor saya, Bu]

"Terima kasih banyak, Bu Ustadzah. Saya pamit dulu. Selamat siang," ucap Adnan sambil melangkah keluar. Ia tersenyum sekali lagi sebelum menghilang di balik pintu.

Setelah Adnan pergi, Umi Siska hanya bisa bersandar lemas di daun pintu yang tertutup. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Namun, bayangan penis itu kembali membayang di benaknya, membuat jantungnya berdebar tak terkendali.

Umi Siska sudah banyak mendengar cerita tentang Adnan dari Bi Wati, walau sudah beristri dan punya anak di kota, namun saat pualng kampung dia dikenal agak nakal.

Umi Siska merasa terjebak dalam situasi yang aneh dan membingungkan. Apa yang sebenarnya aku inginkan, mengapa kasih nomor hape? Bagaimana harus bersikap jika Adnan menghubunginya nanti? Bagaimana kalau kethuan istrinya nanti. Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalanya, membuatnya semakin gelisah.

Umi Siska gelisah sendiri di kamarnya. Semua pekerjaan rumah sudah selesai, dan Ustadz Fahmi baru akan pulang nanti sore. Kesunyian rumah semakin menambah kegelisahannya. Ia mencoba membaca buku, tapi pikirannya melayang pada Adnan dan kejadian pagi tadi. Ia merasa malu, penasaran, dan sedikit takut.

Tiba-tiba, ponselnya berdering, menandakan ada notifikasi pesan WhatsApp. Dengan ragu-ragu, Umi Siska membuka aplikasi tersebut. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Ternyata, itu nomor Adnan.

[Selamat siang, Umi Siska. Sedang apa nih? Masih kepikiran saya ya? wkwkwkwk]

Umi Siska tersentak membaca pesan itu. Pipinya langsung memerah. Ia menggigit bibirnya, berusaha menenangkan diri. Ia tidak tahu harus membalas apa. Jantungnya berdebar semakin kencang saat notifikasi pesan baru kembali muncul.

[Tadi pasti kaget ya, lihat senjata saya? Maaf kalau bikin Ibu terpesona. Hehe…]

Umi Siska merasa darahnya berdesir. Ia benar-benar tidak menyangka Adnan akan seberani ini. Ia merasa marah, malu. Ia ingin membalas pesan itu dengan kata-kata yang tegas dan menohok, tapi entah kenapa, jari-jarinya terasa kaku dan sulit digerakkan.

Pesan ketiga dari Adnan masuk, kali ini lebih menggoda.

[Bu Ustadzah, jangan diam saja dong. Biar saya tidak penasaran, Ibu lebih suka saya berburu di hutan, atau berburu di hati Ibu? wkwkwk]

Setelah pesan-pesan lainnya yang lebih berani bermunculan, walau tak satu pun dibalasnya. Umi Siska benar-benar kehilangan kata-kata untuk membalasnya. Naum ia sadar sudah terpesona dengan Adnan. Sehingga ia tidak bisa menghentikan dirinya untuk terus membaca pesan-pesan nakal itu.

Umi Siska menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membalas pesan Adnan dengan nada yang dibuat bercanda, meskipun jantungnya masih berdebar tak karuan.

[Saya tadi kaget, seharusnya Mas Adnan berburu di hutan, biar gak ngagetin orang,] balas Umi Siska, berharap Adnan mengerti bahwa ia tidak tertarik dengan rayuan gombalnya.

Namun, Adnan semakin berani dan mau menyerah begitu saja.

[Masa lihat senjata saya kaget, Bu?]

Umi Siska semakin kelabakan. Terdiam beberapa saat.

[Bu Ustadzah, sebenarnya saya sudah lama memperhatikan Ibu, dari sejak pertama bertemu beberapa bulan lalu. Ibu memang beda, cantik, anggun, dan sangat menarik.]

Umi Siska tak membalas lagi.

[Saya tahu Ibu kesepian di rumah, kenapa kita tidak saling menghangatkan? Saya sanggup membuat Ibu bahagia, percayalah.]

Umi Siska merasa rayuan Adnan sudah terlalu jauh. Dengan tangan gemetar, ia mengetik balasan.

[Maaf Mas Adnan, saya tidak tertarik. Mohon, jangan ganggu saya lagi. Kecuali mau saya laporkan ke Pak Ustadz]

Setelah mengirim pesan itu, Umi Siska mematikan ponselnya dan meletakkannya di meja.

Tak lama kemudian, Ustadz Fahmi pulang dengan wajah berseri, membawa kabar yang langsung menghapus kegelisahan Umi Siska. Ia menyampaikan bahwa panggilan yang telah lama mereka nantikan akhirnya datang: promosi pengangkatannya sebagai Kepala Sekolah mulai diproses oleh dinas pendidikan. Kebahagiaan itu membuat Umi Siska ikut larut, merasa bangga sekaligus lega atas pencapaian besar suaminya.

Ustadz Fahmi menjelaskan bahwa ia harus berangkat bersama Pak Gandi dan Pak Joko untuk menghadiri proses administratif dan wawancara, bahkan kemungkinan besar harus menginap agar urusan cepat selesai.

Mendengar nama Pak Gandi sempat membuat senyum Umi Siska meredup, namun ia segera menepis kekhawatirannya demi menjaga momen bahagia suaminya. Ia diminta untuk tidak memberi tahu siapa pun sampai semuanya resmi, dan Umi Siska menyanggupi, meski perasaannya campur aduk antara syukur dan kecemasan samar.

Setelah menyiapkan beberapa keperluan, Ustadz Fahmi segera berangkat dengan motornya, meninggalkan rumah dengan penuh harapan dan membawa impian baru untuk masa depan mereka.

Umi Siska menatap kepergian suaminya hingga motor itu hilang di tikungan, meninggalkan rumah yang kembali sunyi namun kini dipenuhi harapan. Ia masuk dengan hati lebih tenang, mencoba menikmati kabar promosi Ustadz Fahmi dan membiarkan rasa syukur memenuhi benaknya.

Namun malam yang sunyi memunculkan kembali bayangan Adnan dengan senjata andalannya yang aduhai. Dan membandingkannya dengan senjata suaminya yang sangat kontras. Bayangan Pak Gandi pun ikut hadir, kian membuatnya resah dan gelisah.

"Andai suamiku sejantan Mas Adnan... atau Pak Gandi..." bisiknya pelan, kata-kata itu terasa asing namun begitu nyata di telinganya sendiri.

Saat kesunyian dalam kesendiriannya semakin jauh, ada sebersit harapan absurd yang muncul. Masuk kembali pesan-pesan rayuan Adnan yang mungkin bisa menghibur hatinya. Namun sama sekali tidak ada.

“Dia pasti tersinggung atau takut dilaporkan pada Abi, makanya tidak kirim pesan lagi,” batinnya sedikit tenang namun juga ada rasa kecewanya yang aneh. ‘Atau mungkin sudah kembali ke kota ke istrinya.”

Malam mendekati jam setengah sembilan. Umi Siska masih terombang-ambing dalam pikirannya yang kalut, bayangan Adnan dan Pak Gandi terus berkelebatan, mengusik ketenangan batinnya. Rumah terasa semakin dingin dan sunyi tanpa kehadiran Ustadz Fahmi.

Tiba-tiba, sebuah ketukan pelan terdengar di pintu depan, memecah keheningan malam.

Tok tok tok

Jantung Umi Siska langsung mencelos. Pikirannya langsung kalut, melayang pada skenario terburuk.

"Adnan?" bisiknya panik. Atau mungkin siapa pun yang punya niat tak baik, mengingat ia sendirian di rumah.

Ia membayangkan lagi tatapan pemuda-pemuda di jembatan, atau Adnan di halaman belakang tadi siang. Dengan langkah gemetar, Umi Siska mendekati pintu, napasnya tertahan. Ia mengintip dari celah kecil di jendela samping pintu, namun tak melihat siapa-siapa. Ragu-ragu, tangannya terulur ke kenop pintu, namun urung.

Tok tok tok..

Ketukan kembali terdengar, kali ini sedikit lebih tegas.

"Assalamualaikum, Umi, maaf ini saya Gandi."

Sekujur tubuh Umi Siska seketika terasa lemas. Jantungnya berdebar makin tak karuan, kali ini bukan hanya karena takut, tapi juga terkejut dan bingung.

"Pak Gandi?" Hatinya bertanya-tanya, bukannya Pak Gandi tadi ikut mengantar suaminya ke kantor dinas? Bukankah ia juga seharusnya menginap di kota? Mengapa ia ada di sini, di depan rumahnya, di malam hari? Pikiran negatif mulai berkejaran. Apakah ini bagian dari rencananya?

^*^

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel