1. Predator Loreng - 3
“Ini Mas pesanannya. Nasi goreng seafood, satu pedas satunya lagi biasa, cumi bakar saus asam dan orange jus.” Kata si pelayan sambil menyusun menu di atas meja.
“Nasi goreng yang pedas… buat dia ya Mbak!” Ujar Kak Saif.
Pelayan meletakkan nasi goreng dimaksud di depanku. HAH…! Aku memang lapar sekarang, tapi nasi pedas ini bisa mengobrak-abrik lambungku. Asam lambungku bisa ngamuk, maag-ku bisa bertamu kemudian. Sesaat aku diam tak menyentuh piring di depanku, sementara Kak Saif mulai menikmati hidangannya.
“Kenapa gak dimakan? Enak loh. Ayo gak usah sungkan.” Katanya sambil menatap tajam ke arahku.
Aku jadi takut dengan tatapannya itu. Lalu mulai menyendok nasi goreng pedas itu. Dalam hati berdoa semoga lambungku bersahabat denganku untuk kali ini tanpa protes sampai aku selesai dengan ‘kerja paksa’ ini. Lidahku laksana disulut api. Baiklah itu memang kedengaran berlebihan, tapi aku benar-benar tidak terbiasa dengan makanan pedas. Baru beberapa suap aku berhenti dan meneguk hampir setengah dari gelas jus-ku.
“Kenapa gak dimakan lagi?” Tanya Kak Saif melihat aku tidak menyendok lagi. “Makanan di sini mahal, bayarnya pake duit bukan pake daun. Ayo habiskan. Pikir cari duit tuh gampang apa. Jangan membuat mubazir!” Dia terdengar seperti ibu tiri di sinetron-sinetron.
“I… iya Kak!” Dengan sangat berat hati -seperti orang yang dipaksa untuk memakai baju merah di depan banteng liar- aku mengosongkan semua isi piringku. Mengunyah dan menelan secepat mungkin agar mulutku tidak terlalu merana, terserah nanti bagaimana reaksi perutku, semoga saja dia cukup friendly kali ini.
Setelah makan, Kak Saif segera membayar pesanan kami dan langsung keluar menuju mobil. Adzan maghrib berkumandang dari mushalla di samping resto. Kak Saif tidak jadi masuk mobil, sebaliknya membuka bagasi dan mengeluarkan dua helai sarung dari tas kain yang disimpan dalam bagasi berikut dua helai sajadah. Masing-masing diberikan satu untukku. Sepertinya perlengkapan shalat ini memang selalu dibawa kemana-mana Tanpa berkata apa-apa dia langsung malangkah ke mushalla. Aku berjalan mengikuti di balik tubuh jangkungnya. Beberapa saat kemudian aku sudah berdiri bersama jamaah lain di dalam mushalla untuk berjamaah. Kak Saif tepat di sebelah kananku. Dugaanku bahwa tingginya mencapai 180 cm mungkin benar, dia lebih menjulang dariku. Jamaahnya sungguh ramai sehingga shaf benar-benar rapat. Aku mepet ke badan Kak Saif. Wangi parfum bercampur keringatnya jelas tercium olehku. Cukup untuk membuatku terangsang. Shalatku tidak khusyu’ kali ini.
Setelah selesai, orang-orang seperti berebut keluar. Aku masih tetap berada di belakang Kak Saif, tidak punya nyali untuk mendahuluinya. Berjalan menuruni anak tangga di luar mushalla. Sekonyong-konyong seorang lelaki menabrakku dari belakang. Tanpa bisa dicegah aku terhuyung ke depan, miring bagai Menara Pisa di Itali. Tapi ini lebih parah, tubuhku tidak berhenti di kemiringan seperti Menara Pisa, tapi terus melaju dan menubruk Kak Saif tepat di saat dia berbalik untuk memakai sandalnya. Sekilas aku merasakan sesuatu yang lembut agak basah menyentuh pipi kiriku, rasanya seperti bibir Kak Saif. Aku tidak sempat berpikir lebih jauh. Tangan kiri Kak Saif sempat menahan pinggangku sedang tangan kanannya memegang lengan kiriku. Dengan begitu aku, lebih tepatnya kami, tidak jatuh bergedebukan di tangga.
“Eh Mas, jalan hati-hati dong!” Kata Kak Saif agak sengit pada laki-laki yang berumur 30-an yang tadi bertindak sebagai mobil tank dan menabrakku dari belakang seperti kerbau menyeruduk mangsa. Tadinya aku mengira kalau aku yang bakal dimaki oleh Kak Saif.
“Maaf, saya buru-buru, tidak sengaja.” Jawab laki-laki itu dengan muka bersalahnya lalu segera berlalu, takut jika Kak Saif naik berang dan menghantamkan buku limanya tiba-tiba. Tapi itu tidak terjadi.
Kak Saif mendengus, melepaskan pegangannya dariku. “Lemes banget, baru gitu aja udah jatuh, dasar anak kecil!” desisnya tepat di samping kupingku kemudian berjalan ke mobil.
Oh Tuhan, apakah aku akan betah di sini??? Pilihanku kali ini nampaknya tidak benar-benar baik.
***
Om Zaldi dan Tante Anisah menyambut hangat kedatanganku. Om Zaldi merangkulku dan menepuk bahuku beberapa kali sementara Tante Anisah mengelus kepalaku saat aku menyalaminya.
“Sudah besar kamu Aidil, hampir Tante tidak mengenalimu.” Katanya, aku hanya tersenyum.
“Kamu pasti lelah, lebih baik kamu istirahat dulu, besok pagi kita bisa bicara panjang lebar. Bunda, tunjukkan kamar Aidil.” Kata Om Zaldi.
“Mari Nak…!” Ajak Tante Anisah.
Aku bangun dan hendak mengikuti Tante Anisah, ketika ingat pada dua kardus yang kubawa dan saat itu masih tergeletak di dekat pintu, aku berhenti. “Aidil hampir lupa, Ibu ada nitip bolu pandan sama limau manis.” Aku mengambil dua kardus itu.
“Aduh… Ibu kamu masih saja ingat kalau Tante suka bolu pandan buatannya. Jadi merepotkan saja.” Kata Tante Anisah sambil tertawa senang dan menerima oleh-oleh itu dari tanganku. “Tante simpan ini dulu ke dapur, kamu langsung naik aja ke kamar gak apa-apa. Kamar kamu di samping kamar Saif.” Kata Tante Anisah seraya kemudian melangkah ke dapur.
“Ayo Aidil, langsung ke kamar saja.” Kata Om Zaldi.
“Iya Om.” Aku mengambil ransel dan berjalan menaiki tangga ke lantai dua. rumah Om Zaldi sangat luas, tak habis-habis aku mengagumi interior yang didekor cukup artistik. Berbagai perabotan mewah kelas atas menjadi fasilitas rumah ini, semua yang ada di dalamnya membuatku berdecak kagum meleletkan lidah.
Tiba di lantai atas, aku hanya berdiri mematung, tidak tau kamar mana yang dimaksudkan Tante Anisah sebagai kamar yang akan aku tempati. Di lantai atas ada empat kamar. Sayup-sayup aku mendengar suara musik dari salah satu kamar. Pasti suara itu dari kamar Kak Saif, pikirku. Tadi setelah tiba dia langsung naik ke atas, tidak ikut mengobrol dengan kami di bawah.
“Kok malah bengong.” Suara Tante Anisah mengagetkanku. “Ayo, ini kamar kamu, Aidil.” Tante Anisah berjalan mendahului dan membuka pintu kamar di sebelah kananku. Aku mengikuti di belakang. Lagi-lagi aku menelan liur. Kamar ini begitu luas, ada kamar mandi di sudut kiri, ranjang besar di tengah kamar, rak buku merangkap meja belajar ditempatkan berdampingan dengan lemari baju di sisi kanan. Yang membuat aku melongo, di sini juga ada satu unit komputer dengan monitor slim lumayan lebar, dan… kamar ini ada AC-nya juga. Ini terlalu berlebihan untuk anak udik sepertiku.
“Tante, Aidil rasa kamar ini terlalu mewah untuk Aidil tempati.”
Tante Anisah tersenyum. “Sudah, kamu istirahat aja, jangan merasa asing. Mulai sekarang anggap ini rumah kamu juga.”
Aku mengangguk pelan, masih merasa bagai mimpi.
“Tante gak naruh TV di sini, kalo kamu pengen nonton bisa turun ke bawah atau ke kamar Saif. Gak usah sungkan. Ya sudah, tante turun dulu.” Tante Anisah menutup pintu kamar.
Aku duduk di tepi ranjang, memandang sekali lagi seluruh isi kamar dengan perasaan kagum luar biasa. Kutarik ransel besar menuju lemari. Kubuka pintunya, di dalamnya tersusun beberapa handuk besar, beberapa baju dan celana jeans. Aku bertanya-bertanya apakah baju-baju ini sengaja ditaruh untukku atau milik Kak Saif yang disimpan sementara di situ? Atau mungkin milik Kak Adam?
Kak Adam… aku tidak melihatnya dari tadi, apa dia tidak di sini? Aku tidak sempat menanyakan pada Om Zaldi. Mungkin Kak Adam belum pulang kerja. Aku mulai menyusun baju-baju ke dalam lemari. Ransel yang sudah tak berisi kulipat sedemikian rupa dan kutaruh di rak lemari paling atas yang masih kosong. Lama aku menatap baju-bajuku yang baru saja kuatur di dalamnya. Sebentuk perasaan menelusup dalam diri, aku tidak lagi di rumahku.
