Pustaka
Bahasa Indonesia

Dientot Komandan TNI AD

28.0K · Ongoing
Dilan Kisaran
30
Bab
1.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Mengandung adegan dewasa 21++ Dapat membuat kalian ingin coli terus, bukan untuk bocah ya. Dosa ditanggung masing-masing, bukan salah penulis lagi.

RomansaDramapetarungplayboyPerselingkuhanKawin KontrakOne-night StandMengandung Diluar NikahMemanjakanDewasa

1. Predator Loreng - 1

"Ach, sa sakit komandan, hentikan aku gak tahan lagi nih," ucap wanita yang merupakan istri polisi sahabat dekat komandan.

"Sabar sayang baru kepalanya aja yang masuk, belum batangnya loh.'

******

PROLOG

Rasa itu bertahta di hatiku

Merajai fikir dan jiwaku

Seumpama darah yang mengalir ke setiap sendi tubuhku

Meledak-ledak dan terus membuncah

Berakar rimbun dalam belantara hatiku

Menjalar liar dan meranggas mencari ruang

Semikan rasa itu binasakanku

Punahkan dia hancurkan diriku

Adakah ia nyata?

Atau hanya ilusi yang datang dan pergi

Menyelinap antara fatamorgana tak bertepi

Jika dia nyata,

Aku masih setia biarkan dia bersemi

Meski itu binasakan diriku

Aku setia berharap

Karena impian itu kadang nyata di batas harap

Walaupun harus jatuh dan bangun menuju batas itu

Yakinlah bahwa itu rentaknya

Tak ada jalan tanpa tanjakan

Seumpama kerikil tajam yang selalu ada saat destinasi akan ditemui

Nian di hatiku

Rasa itu masih ada

Semikan dia binasakanku

Punahkan dia hancurkan diriku.

***

“Huaahff……”

Untuk sekian kalinya aku tak dapat menahan diri untuk tidak menguap, udara sepanjang perjalananku menuju tempat baru dimana aku akan melanjutkan pendidikanku nantinya benar-benar mendukung untuk tidur, adem dengan pepohonan rindang dan hutan lebat yang terpelihara di kiri kanan jalan. View-nya cukup menarik. Ini perjalanan perdanaku, karena itulah mati-matian aku menahan diri agar tidak lena karena ingin menikmati suasana dan melihat yang belum pernah kulihat. Dari jendela bus ini aku leluasa memandang kehijauan di luar sana. Sesekali aku menyempatkan menjepret dengan kamera ponselku. Kulirik arloji, sudah pukul 3 sore, berarti 5 jam lamanya aku sudah di dalam bus, mungkin kira-kira 3 jam lagi aku sampai.

Ponselku berdering memperdengarkan lagu Crush-nya David Archuleta, nama Om Rizaldi tertera di layar, segera ku jawab.

“Assalamualaikum Om…”

“Wa’alaikumsalam, bagaimana Nak Aidil, masih lama sampainya?” Tanya Om Rizaldi di ujung sana.

“Mungkin sekitar tiga jam lebih lagi Om.”

“Sekarang sudah sampai dimana?”

“Aidil kurang tau Om, tapi ini di kiri kanan hutan semua.”

“Iya… Iya, om tau itu, tidak sampai tiga jam lagi mungkin kamu tiba. Insyaallah sebelum magrib kamu sudah di rumah, Om sudah nyuruh Saif untuk jemput kamu di terminal kota, begitu kamu sudah tiba kabari Om!” kata Om Rizaldi.

“Iya Om, maaf Aidil membuat repot Om sekeluarga.”

“Ah, kamu ini. Toh Om juga bukan orang lain lagi bagi keluargamu. Ya sudah Om mau lanjut kerja, jangan lupa kabari begitu sampai!” Om Zaldi memperingatkan lagi.

“Iya Om!”

“Assalamualaikum.”

“Wa’alaikumsalam.” Jawabku mengakhiri pembicaraan.

Aku menghela nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan, kembali terngiang kata-kata ibu waktu melepasku di terminal bus kecamatan 5 jam lalu. ‘Baik-baik membawa diri Nak, jangan kecewakan Om Zaldi-mu bila sudah di sana!’ Ah, laki-laki itu memang sangat baik, padahal dia hanya sahabat mendiang Ayah dulu. Aku masih ingat pertama kali aku berjumpa dengan Om Zaldi, waktu itu umurku 7 tahun. Om Zaldi datang bersama keluarganya menyambangi Ayah di kampung kami. Masih kuingat bagaimana dia merengkuh tubuh mungilku dalam gendongannya sambil sesekali mengangkat aku tinggi-tinggi ke udara yang mengundang tatapan iri anak lelakinya yang berumur 2 tahun lebih tua dariku waktu itu. ‘Bocah kecil ini makin menyerlah, aku yakin dia akan jadi orang pintar bila dewasa nanti!’ katanya pada Ayah sambil menurunkanku. Ayah dan ibuku hanya tersenyum saja kala itu. Kata-kata dan keakraban Om Zaldi padaku waktu itu masih terus kuingat dan terbayang di inderaku sampai saat ini. Kali pertama aku mengenalnya, otak kanak-kanakku langsung mengatakan Om Zaldi adalah orang baik.

Masih kuingat jelas juga bagaimana Om Zaldi menangis tanpa suara di pemakaman Ayah 4 tahun lalu. Ya, Ayah meninggal saat aku duduk di kelas 2 SMP. Om Zaldi datang sendiri saat itu ketika dia mendapat kabar Ayah sakit keras. Om Zaldi tak pernah jauh dari Ayah menjelang detik-detik terakhirnya, laki-laki itu senantiasa di sisi Ayah sambil membaca surah Yasin dengan suara serak yang kadang hampir tak terdengar. Aku bertanya pada hatiku saat itu, masih adakah sahabat sejati di masa sekarang yang setia ada sampai kita menjelang mati? Om Zaldi adalah salah satunya.

Tidak hanya itu, Om Zaldi bahkan membantu aku menyelesaikan sekolah menengahku, sedikit banyak juga membantu ekonomi keluargaku karena ibu tidak mungkin sanggup membiayai hidup dan pendidikanku hanya mengandalkan kios kecil peninggalan Ayah. Pada saat itu kakak perempuanku baru saja menikah di usianya yang tergolong muda, 20 tahun. Sementara abangku tertua tidak mungkin mampu menanggung aku dan Ibu karena tak punya pekerjaan layak. Apalah yang dapat dilakukan laki-laki desa yang hanya berijazah SMP seperti Bang Anjas? Dan Om Zaldi mengulurkan tangan dermawannya. Dia yang bukan siapa-siapa, bukan sanak bukan saudara tanpa pamrih membantu di saat saudara-saudara yang bertalian darah tidak memandang sebelah matapun. Bagiku Om Zaldi adalah manusia berhati malaikat. Sekarang, setelah aku menamatkan SMA di prestasi puncak, Om Zaldi bersikeras memaksa aku pindah ke tempatnya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Aku menolak mulanya karena tak ingin membebani Om Zaldi dan keluarganya lebih jauh. Tapi apa yang dikatakan laki-laki itu? ‘Kamu anakku Aidil, jadi apakah kamu tega menyakiti dan mengecewakan ayahmu ini dengan tidak mengikuti inginnya?’

Dan sekarang, disinilah aku, dalam perjalanan menuju hidup baruku yang tak pernah terfikirkan sebelumnya. Ponselku berbunyi lagi. Benda inipun kiriman Om Zaldi, hadiah prestasiku di kelas 2 SMA. ‘Biar mudah tahu kabar di kampung…’ Begitu Om Zaldi menulis dalam surat kecil yang diselipkan dalam kotak ponsel yang sudah dipaket. Aku melonjak kegirangan ketika itu.

“Assalamu’alaikum…. Iya Om….”

“Wa’alaikumsalam, Om sudah nyuruh Saif nunggu kamu di Terminal Raya, kamu hampir sampai kan?” Tanya Om Zaldi.

Aku tertawa kecil, “Gak tau Om, Aidil belum pernah ke sini. Ini kali pertama. Om bilang perjalanannya delapan jam….” Aku melirik jam bututku. “Perhitungan Aidil, ini udah lebih delapan jam!”

Terdengar Om Zaldi tertawa di ujung sana. “Tidak usah cemas. Sebentar lagi kamu sampai. Tidak akan kesasar, pokoknya kamu turun di hentian terakhir bus, di Terminal Raya. Saif sudah menunggu kamu di sana.”

“Iya Om….!” Om Zaldi menutup telepon.

Saif. Aku tersenyum kecil. Nama lengkapnya Ananda Saif Al-Fata, putra kedua Om Zaldi. Lebih tua 2 tahun dariku. Seingatku dia cuma ikut 2 kali ketika ayah dan ibunya berkunjung ke kampungku. Kunjungan pertama saat aku digendong ayahnya dan dia memandang iri dengan tampang cemberut padaku sementara aku terbahak dalam gendongan ayahnya. Kali kedua saat libur kenaikan kelas, aku naik kelas tiga dan dia naik kelas lima sekolah dasar. Saat itu Kak Adam -anak sulung Om Zaldi- juga datang bersama. Dan aku kembali menemukan tatapan irinya ketika hari-hari bermain Kak Adam lebih banyak memanjakan aku ketimbang dia. Masih kuingat bagaimana dia marah besar dengan bibir maju mengerucut ketika Kak Adam mendukung aku di punggungnya saat kami bermain rakit di sungai, bahkan dia mengadukan pada ayah dan bundanya -mereka memanggil ayah bunda untuk ortunya- tapi Tante Anisah, ibunya malah menjawab ‘Aidil kan lebih kecil dari Saif, jadi Kak Adam harus jagain biar Aidil gak hanyut. Kalau Saif kan sudah besar, bisa jaga diri.’ Dan aku tak bisa menahan tawa saat melihat Saif menangis besar mendengar ibunya membelaku bukannya memihak padanya. Sedangkan Kak Adam waktu itu sengaja mempermainkan dengan mendukung aku di atas bahunya kembali yang membuat Saif memperkeras volume tangisnya. Mengingat itu semua aku kembali tersenyum sendiri. Entah bagaimana rupa Saif dan Kak Adam sekarang. Apakah Saif masih kurus seperti ketika kecil dulu? Atau apakah Kak Adam masih baik dan ramah seperti zaman kanak-kanak? Pasti sekarang mereka sudah kuliah, Kak Adam sendiri mungkin sudah bekerja.