1. Predator Loreng - 4
Aku ingin mandi, rasanya badanku lengket-lengket. Di kamar mandi, aku kembali dibuat terpana. Ini kamar mandi apa kamar tidur juga ya? Sungguh bersih, mengkilap. Ruangan di rumahku saja tak ada yang sebersinar kamar mandi ini, ck…ck…ck. Kutatap lama keadaan di dalam kamar mandi ini. Ada bak cuci tangan –yang aku tahu sering disebut wastafel- dengan cermin lebar di atasnya, rak sabun yang terisi penuh dengan bermacam produk mandi, ada tirai plastik sintetis yang menggantung di tengah-tengah yang membagi kamar mandi ini jadi dua bilah. Kusibak tirai plastik, tak ada bak seperti di kampungku. Yang ada adalah periuk besar bewarna putih mengkilap, kayak di iklan sabun yang kulihat di TV. Aku tau namanya bath tub. Jangan merasa aneh dan menganggap aku terlalu pintar untuk ukuran anak udik, aku bukan anak kampung yang tidak tahu perkembangan zaman. Kita lanjut untuk kamar mandi, sebuah shower tergantung agak tinggi, toilet duduk berada agak menjorok ke sudut. Aku menarik tirai, menggantung handuk dan mulai mandi di bawah shower. Tidak berani masuk berendam dalam periuk porselen bath tub, takut pecah. Hihihii…
***
Aku bangun pukul lima. Setelah shalat subuh aku turun ke bawah, kutangkap suara-suara dari arah dapur, aku menuju ke sana. Kudapati Tante Anisah sedang menyiapkan sarapan. Sendirian, tidak ada pembantu.
“Selamat pagi Tante…”
Tante Anisah menoleh, “Loh, kok cepet bangunnya?”
“Udah biasa di rumah Tante, dilanjutin tidur pun udah gak ngantuk lagi.” Aku menghampiri Tante Anisah, “Aidil bantuin ya, Tante.”
“Kamu bisa?”
“Bisalah Tante.”
“Ya sudah, kamu bantu Tante ngiris ini aja.” Tante Anisah menyodorkan wadah berisi daun bawang, seledri, tomat, beberapa cabe dan bawang. Aku mulai mengirisnya. Setelah selesai, aku bermaksud membantu yang lainnya, tapi Tante Anisah melarang. Aku duduk di kursi yang ada di situ.
“Pasti cape ya Tante mengurus rumah sebesar ini sendiri.”
Tante Anisah tersenyum. “Gak juga kok Aidil, Tante dibantu Mak Iyah, tapi seminggu lalu dia minta izin jenguk saudaranya di kampung, lusa mungkin uda ada di sini lagi.” Jawab Tante Anisah seperti tau maksud pertanyaanku yang tersirat. Aku manggut-manggut.
Seseorang masuk ke dapur, ternyata Kak Saif. Dia memakai kaos putih buntung dan celana training hitam, badan atletis-nya jelas terlihat. Kak Saif menuju dispenser.
“Mau jogging kamu?” Tanya Tante Anisah.
Kak Saif mengangguk sambil mendekatkan mulut gelas ke bibirnya.
“Aidil, kamu ikut aja!” Tante Anisah menyuruhku.
“Gak usah Tante.” Aku menolak karena merasa kurang nyaman mengingat sikapnya kemarin.
“Udah ikut aja, di rumah juga sendiri, biar kamu tau lingkungan sekitar sini. Saif, tunggu Aidil, dia ikut kamu.” Tante Anisah mengeluarkan ultimatumnya.
Kak Saif diam saja, tidak beranjak dari tempatnya, seperti menungguku. Aku ke kamar untuk ganti baju. Karena tidak bawa training, aku pakai celana selutut dan baju kaos.
Kami berlari kecil menyusuri jalan sekitar kompleks. Sepanjang jalan tak sepatah kata pun keluar dari bibir Kak Saif. Karena takut salah dan disemprot pagi-pagi buta di depan rumah orang sepanjang jalan kompleks, aku pun memilih diam. Sesekali aku melirik ke arahnya, dalam keadaan berkeringat seperti ini Kak Saif terlihat jantan sekali. Kaosnya basah di beberapa bagian. Rambutnya yang sedikit berjuntaian di bagian belakang sekarang basah dan menempel lengket di tengkuknya. Sangat membius, pasti banyak cewek yang rela ngelakuin apapun asal bisa mendapat perhatiannya.
Hampir satu jam kemudian setelah sukses jogging dalam kebisuan, kami kembali ke rumah. Di depan rumah kulihat Om Zaldi dan seorang pria yang segera kukenali sebagai Kak Adam sedang duduk sambil menyeruput kopi pagi. Dari jauh Kak Adam sudah tersenyum begitu melihatku. Senyum yang cukup menawan di mataku, masih sama menawannya dengan masa sepuluh tahun dulu. Begitu sampai, Kak Saif langsung masuk ke dalam sedangkan aku menyalami Kak Adam.
“Wahh, lama gak jumpa nyatanya adek kecil Kak Adam udah besar dan cakep begini…!” Katanya sambil menjabat tanganku. Yang tak kusangka-sangka, tiba-tiba Kak Adam bangun dan langsung memelukku. Karena dia lebih tinggi, otomatis wajahku terbenam di pangkal lehernya. Jantungku berdetak kencang seperti genderang mau perang-nya Dewa 19. Kak Adam menepuk pundakku, “Akhirnya Kak Adam punya adek satu lagi, hehee..” Ujarnya sambil tertawa. Om Zaldi tersenyum saja melihat keakraban kami.
Berada dalam rengkuhan Kak Adam seperti tadi membuatku kembali terbayang masa kanak-kanak kami, saat aku berada dalam gendongannya, saat dia mendukungku di punggungnya, dan banyak lagi kenangan masa kecilku dengan Kak Adam.
“Sini Aidil, kamu duduk dulu, Om mau ngomong masalah kuliah kamu.” Kata Om Zaldi.
Aku duduk di samping Kak Adam.
“Rencana Om, kamu masuk Fakultas Kedokteran Gigi di universitas tempat Saif kuliah. Om liat prospeknya bagus dan banyak menghasilkan lulusan yang berkompeten. Tapi kalo kamu punya keinginan ke ilmu lain ya gak apa-apa, kamu boleh milih sendiri!” Menjelaskan Om Zaldi langsung ke intinya.
Sejenak aku terdiam. Aku memang menyukai bidang kesehatan, bahkan sejak SD dulu jika guru-guru menanyakan cita-citaku pasti dengan mantap aku akan menjawab, ‘Saya ingin jadi dokter!’ walaupun otak kecilku saat itu tahu kalau itu takkan pernah terwujud dengan kondisi ekonomi morat marit keluargaku. Tapi begitulah anak-anak. Kalian pernah jadi anak-anak juga kan…?
Kemudian aku berpikir, mungkin ini adalah awal untuk mewujudkan cita-cita muluk masa merah putih-ku dulu, walaupun bukan dokter segala penyakit tapi menjadi dokter gigi kayaknya lebih menarik. Toh sama-sama dokter juga dan profesi dokter gigi belum bejibun seperti dokter-dokter lainnya, otomatis lapangan kerjanya masih luas. Begitu fikirku, tapi… bukankah sekolah kedokteran apapun spesialisasinya menelan biaya yang tidak sedikit? Berpikir sampai di situ aku jadi ragu, aku merasa seperti memanfaatkan kebaikan Om Zaldi jika menerimanya.
“Kak Adam rasa itu pilihan yang bagus.” Wajah tampan di sampingku mengeluarkan suara setelah beberapa lama menunggu aku tidak menjawab.
“Gimana Nak Aidil, kamu setuju? Atau kamu menyukai jurusan studi lain?” Tanya Om Zaldi.
“Ennggg… gini Om, sebenarnya gak masalah Aidil kuliah di jurusan manapun. Diijinkan kuliah saja sudah merupakan hadiah terbesar bagi Aidil. Tapi jika Aidil kuliah di tempat yang Om bilang tadi apa gak terlalu tinggi? Sekolah kedokteran pasti menghabiskan biaya besar. Aidil gak mau terlalu memberatkan. Jika boleh, Aidil mau ambil diploma saja, selain cepat selesai, biayanya juga gak tinggi…”
Om Zaldi tertawa.
Kak Adam nyengir mendengar jawabanku. “Kalo Aidil ambil diploma jadinya Kak Adam gak bisa lama dong punya adek buat kawan, gak boleh pokoknya!”
Giliranku tertawa mendengar kalimat Kak Adam, kok bisa dia berpikiran ke situ.
“Aidil, zaman sekarang orang berlomba-lomba untuk mencapai tingkat pendidikan yang tinggi, karena itu adalah jaminan masa depan cerah. Dari masa ke masa standard SDM itu terus meningkat, dan Om sangat yakin kamu mampu. Satu lagi, dari pertama Om nyuruh kamu kemari bukankah Om sudah pernah bilang jangan pernah singgung masalah biaya, itu tak perlu kamu pikirkan. Jangan jadikan biaya sebagai alasan.” Om Zaldi merenung ke arahku, kurasakan seperti pandangan seorang ayah kepada anaknya.
Aku menghela napas. “Aidil ikut apa kata Om.”
“YESS! Akhirnya…” Sorak Kak Adam dan kembali memelukku untuk kedua kalinya pagi ini. Aku pasrah saja dalam lingkar lengannya. Ada binar bahagia di mata Kak Adam.
“Hari ini kamu mendaftar sama Kak Adam, biar dia bolos kerja sekali-sekali. Sekalian ajakin kamu muter-muter.” Kata Om Zaldi lalu menyeruput sisa kopinya yang sudah dingin.
“SIAP…! Perintah dilaksanakan.” Kata Kak Adam sambil bergaya ala tentara. Aku tak bisa menahan tawaku, Kak Adam beda banget sama Kak Saif.
____________________________________________
Bersambung
*
