Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

1. Predator Loreng - 2

Sesaat kemudian, aku baru menyadari bus yang kutumpangi sudah memasuki lingkungan perkotaan. Mataku terpana memandangi kemegahan kota ini, semuanya terasa asing. Ini kali pertama aku menjejakkan kaki di ibukota propinsi ini, ah benar-benar menakjubkan. Gedung-gedung tinggi yang sebelumnya hanya kulihat di TV kini tegak di depan hidungku. Jalan yang lebar dan licin -lebih licin dari lantai rumahku menurutku, mobil-mobil mewah, toko-toko yang berkelas semua terpampang di depanku sekarang. Sungguh ramai, padahal hari sudah hampir senja, kota besar memang tidak pernah sepi. Tengah aku terpana memandang kemegahan kota, terdengar kondektur bus berteriak.

“TERMINAL RAYA… TERMINAL RAYA……!”

Bus berhenti begitu masuk halaman gedung terminal, pada tembok besar di depan gedung itu tertulis ‘Selamat Datang di TERMINAL RAYA.’

Ah, akhirnya aku tiba juga. Begitu hendak bangun, ponselku berbunyi, nomor baru. Aku ragu-ragu untuk menjawab. Dan… ya Tuhan aku lupa memberi tahu Om Zaldi kalau aku telah sampai. Begitu nada panggilan dari nomor asing itu berhenti aku langsung mencari nama Om Zaldi di kontak. Ketika hendak menekan tombol call, kembali hape-ku berbunyi, panggilan kedua dari nomor asing tadi.

“Halo……” Jawabku.

“Ini Aidil?” Terdengar suara ngebass di ujung telepon, nadanya cukup datar.

“Iya, ini siapa?” Tanyaku sambil menarik ransel besar di bawah tempat dudukku. Penumpang lain sudah banyak yang turun, di sini hanya tinggal aku dan 2 penumpang lain yang juga sedang menarik barang bawaan mereka menuju pintu. Bus memang sudah lama berhenti.

“Betah amat dalam bus sampe gak turun-turun! Mau balik kampung lagi? Atau mau aku tinggal?” Jawab suara ngebass tersebut tanpa menjawabku.

Akh, aku langsung dapat menduga siapa dia. “Saif…. Iya ini aku lagi…….”

“Sopan dikit, aku lebih tua dari kamu!” Potongnya tajam sebelum aku menuntaskan kalimatku.

Aku langsung merasa tidak enak hati. “Iya Kak Saif, ini Aidil mau…..”

Tuuuuuut…

Telpon terputus, untuk kedua kali ucapanku tak selesai. Aku segera turun dari bus dengan ransel besar di punggungku. Tangan kanan menenteng kotak berisi bolu pandan buatan Ibu yang menjadi kesukaan Tante Anisah bila berkunjung ke kampung sedangkan di tangan kiri tergantung kardus berisi limau manis yang dipetik langsung dari pohon di belakang rumah, Om Zaldi sangat menyukainya.

Mataku liar mencari-cari keberadaan Saif. Sangat ramai di sini, bagaimana aku kenal yang mana dia, wajahnya saja aku tak tahu. Aku memutuskan balik menelpon dan menanyakan keberadaannya, namun hape-ku lebih dulu bersuara. Nomor Saif, segera kujawab.

“Ngapain sih kamu ngacung di situ, gak mau pulang? Lama amat!” Suara bernada tinggi langsung menyembur di telingaku.

“Aidil gak tau Kak Saif dimana.” Jawabku, berusaha seramah mungkin.

“Nih aku di gerbang sebelah kiri….!” Kata Saif sambil mendengus. Suara dengusannya sangat jelas terdengar.

Aku menoleh ke kiri. Lebih kurang 50 meter di sana berdiri cowok jangkung berkaos putih dan celana pendek bawah lutut. Hape menempel di telinga kirinya. Kami bertatapan sesaat sebelum mulutnya bergerak untuk kembali bicara.

“Bikin susah orang lain aja….”

Klik. Sambungan terputus lagi. Kulihat Saif menyarungkan topi hitam yang tadi dipegang di tangan kanannya ke kepala lalu berbalik berjalan ke sebuah mobil bercat putih mengkilap, aku tak tahu apa mereknya, yang jelas harganya pasti mahal.

Aku mengantongi hape lalu mengambil kotak limau yang tadi kuletakkan di bawah ketika menelpon kemudian melangkah ke tempat Saif. Tidak ada inisiatif dari Saif untuk mengambil barang bawaanku, padahal badanku pegal semua akibat duduk selama lebih 8 jam. Dia langsung masuk dan menyalakan mesin. Dengan susah payah aku masuk ke kursi belakang sekaligus menyeret barang-barangku. Tapi…

“Eh, siapa suruh barang kamu taruh di situ?”

Aku melongo.

“Masukkan ke bagasi!” Perintahnya tanpa memandang ke arahku.

Aku menghela napas, awal yang buruk, batinku. Lantas aku turun, mengambil ranselku di jok, berikut dua kardus lalu memasukkannya ke bagasi kemudian kembali ke tempatku semula. Saif mulai menjalankan mobilnya, lalu terdengar nada panggil Crush, semula aku mengira itu panggilanku ternyata itu bunyi hape Saif. Akh, ternyata dia penggemar David juga, pikirku. Segera aku mengambil hape-ku dan mengganti ringtone untuk jaga-jaga, siapa tau cowok dingin di depanku bakal tambah rese bila mendapati ringtone-nya sama dengan anak kampung macamku.

Saif menjawab telponnya. “Iya, Yah…” Ucapnya pertama kali. Berarti Om Zaldi yang menelpon. “Udah, ini lagi di jalan… nyampe Simpang Gading Mas.” Saif menghela napas, “Kenapa gak di rumah aja sih Yah, bentar lagi sampai nih… tapi kan udah mau maghrib, Yah….”

Aku mengikuti pembicaraannya dengan seksama, suara bass-nya enak terdengar. Aku memandang belakang badannya, bahunya bidang, lehernya nampak kokoh, rambut belakangnya agak panjang keluar dari pinggir topi dan menjuntai jatuh di tengkuknya. Melihat agak ke samping, cambangnya kecil rapi turun ke arah garis kukuh rahangnya. Ah ternyata Saif bukan lagi anak kecil kurus seperti 10 tahun lalu.

“Iya… iya… Saif ngikutin kata Ayah!” Tandasnya mengakhiri telepon. “Ehhemm…” Dia mendehem. “Kita mampir ke tempat makan dulu, Ayah nyuruh makan di luar, Bunda baru pulang gak sempat masak….!” Katanya dengan nada dingin. Aku tak menjawab, dalam hati berpikir, apa keluarganya gak punya orang yang digaji untuk masak? Rasanya tak mungkin mereka tak punya pembantu di rumah.

Mobil membelok dan memasuki halaman sebuah bangunan mewah dekat pantai. Suara deru ombak sangat jelas terdengar. Hamparan pantai di waktu senja terlihat sangat indah. Saif turun dari mobil, aku mengekor di belakangnya. Di dekat pintu masuk bangunan mewah ini ada tulisan NAVAL de LIGHT RESTO dengan bentuk elegan bercahaya ditimpa mentari senja. Ternyata ini tempat makan yang dia maksudkan. Saif memilih tempat duduk di dekat dinding kaca transparan yang langsung bisa memandang ke arah laut, aku duduk di hadapannya. Nampaknya tempat makan ini adalah salah satu resto favorit di sini, terbukti dengan ramainya pengunjung. Seorang pelayan datang menghampiri kami sambil menyerahkan buku menu.

“Kamu mau makan apa?” Tanya Saif sambil meneliti buku menu.

“Apa aja boleh, Saif.” Jawabku. Matanya langsung melotot geram ke arahku. Justru dengan begitu wajahnya nampak lucu dan semakin mempesona, hampir saja aku tak bisa menahan tawa lalu buru-buru meralat ucapanku. “Aidil makan apa saja yang KAK SAIF pesankan.” Sengaja aku memberi penekanan saat menyebut namanya. Sudah saatnya mungkin aku memberi sapaan ‘KAK’ sebelum namanya.

“Mbak, saya pesan dua porsi nasi goreng seafood. Satu dibuat sangat pedas dan satunya lagi biasa, satu porsi besar cumi bakar saus asam dan dua orange jus.” Kata Kak Saif lalu menyerahkan buku menu.

“Baik Mas!”

“Ingat ya mbak, nasi gorengnya yang satu porsi dibuat sangat pedas.” Perintahnya lagi mengingatkan sekali lagi sebelum mbak itu berlalu.

Kak Saif membuka topi dan mengacak rambutnya sendiri. Sebentar kemudian dia asik dengan ponselnya. Duduk berhadapan seperti ini sekarang dengan jelas aku dapat memandangnya. Kak Saif sangat berubah dari tampangnya waktu kecil dulu. Sama sekali tidak membayang gurat-gurat wajah masa kanak-kanaknya. Aku ingat, dulu dia agak gelap, namun sekarang berubah menjadi putih bersih. Wajahnya sangat mempesona, walau sejauh ini tak bersahabat. Rahangnya persegi dengan hidung tinggi dan terkesan jantan, alis tebal tersusun rapi meneduhi mata sempurnanya. Di atas dagunya yang terkesan kokoh seulas bibir tak terlalu tipis menyempurnakan ketampanan wajahnya. Tubuh Kak Saif sangat jangkung, mungkin mencapai 180 cm. Sungguh pria yang sempurna. Tipe pria idaman wanita seluruh jagat, Kak Saif lebih dari sekedar pantas untuk membintangi sebuah film. Ah, aku menjadi iri dengan dirinya. Tiba-tiba dia mendongak, menatap ke depan tepat saat aku tak bisa lepas dari memandang wajahnya. Sial… aku cepat memutar pandangan ke dinding kaca, menyadari sepenuhnya bahwa aku baru saja kepergok memandang makhluk Mars terindah di depanku. Sampai pelayan datang aku tidak berani lagi melirik ke arahnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel