BAB 04: Gerald Memohon, Clarisa Menolak!
Sore harinya, Gerald tiba di warung barbeque pinggir jalan itu lima belas menit lebih awal. Warung itu sederhana, hanya berupa tenda terpal dengan beberapa meja kayu panjang yang permukaannya sudah berminyak dan arang yang mengepulkan asap beraroma pedas manis.
Tempat ini adalah saksi bisu dua tahun pernikahannya. Dulu, ini adalah satu-satunya tempat 'mewah' yang mampu ia belikan untuk Clarisa dari hasil kerja serabutan. Clarisa, meski terbiasa dengan restoran bintang lima, selalu makan dengan lahap di sini, dan itu membuat Gerald merasa sebagai suami yang cukup berguna.
Gerald memilih meja di sudut, tempat mereka biasa duduk. Ia membiarkan aroma asap dan bumbu membawanya kembali ke masa lalu, membuat dirinya merasakan kedamaian.
Ia baru sadar, selama dua tahun itu, meskipun ia hidup miskin dan selalu diejek serta dihina, hidupnya justru terasa damai dan tenteram.
Lima menit kemudian, sebuah mobil sedan hitam elegan berhenti di pinggir jalan. Clarisa keluar dari mobil. Ia mengenakan blus putih polos dan celana panjang hitam, gaya kasual yang tetap membuatnya terlihat anggun. Nyonya rumah yang baru diceraikan, tetapi tetap terlihat cantik dan menarik. Gerald tahu, tatapan orang-orang di sekitarnya pasti akan tertuju pada Clarisa.
Dan benar saja, tatapan banyak orang, khususnya pria, menatap lekat-lekat pada kecantikan luar biasa Clarisa.
Clarisa melihat sekeliling, tanpa menghiraukan tatapan-tatapan itu, dan matanya langsung menemukan Gerald yang duduk di sudut. Ada sedikit kejutan di matanya-karena itu adalah tempat yang dulu pernah mereka duduki-tetapi dengan cepat ia menutupinya dengan ketenangan. Ia berjalan mendekat secara perlahan.
"Gerald," sapa Clarisa datar.
"Clarisa," jawab Gerald, berdiri untuk menarik kursi untuknya. "Terima kasih sudah datang."
"Aku tidak sibuk, jadi aku datang. Kau bilang ada yang penting?" Clarisa duduk, sedikit canggung. Ia melihat ke sekeliling, mungkin mencoba menenangkan perasaan gugupnya.
"Ya, ada yang penting. Tapi sebelum itu... kita makan dulu. Kau mau barbeque seperti biasa?" tawar Gerald, menunjuk menu di depan mereka.
Clarisa tersenyum tipis, senyum yang jarang Gerald lihat belakangan ini. Senyum yang membuat hati Gerald kembali bergetar.
"Aku tidak tahu mengapa kau mengajakku ke sini, Gerald. Tapi, barbeque pedas manis di sini memang yang terbaik," jawab Clarisa. "Aku pesan seperti yang dulu, ya."
Gerald pun memanggil pelayan dan memesan. Saat menunggu, keheningan canggung menyelimuti mereka berdua.
"Bagaimana kondisi ibumu?" Clarisa memecah keheningan.
"Ibu sudah dioperasi dan baik-baik saja. Dia sekarang sudah dipindahkan ke Bangsal Elite VVIP," jawab Gerald, menatap lurus mata Clarisa.
Clarisa terkejut sedikit-lagipula, bangsal VVIP tidak murah-tetapi ekspresinya segera kembali normal. "Syukurlah. Itu bagus. Semoga beliau cepat pulih."
"Aku tahu, itu berkat kau," kata Gerald pelan, nadanya serius.
Clarisa menatapnya bingung. "Apa maksudmu? Aku tidak memberimu uang."
"Aku tahu, kau tidak memberiku $20.000 KS pagi itu. Tapi aku menemukan ini," Gerald mengeluarkan nota pembelian yang sudah lecek dari saku jaketnya-nota pembelian biskuit dan obat-obatan murah. "Dan aku tahu tentang utang medis Ibu yang $50.000 KS itu. Kau yang membayarnya, Clarisa. Selama dua tahun ini, kau mengorbankan tabunganmu demi ibuku, tanpa aku tahu. Kau bahkan datang diam-diam ke rumah sakit hanya untuk memastikan Nadia tidak kelaparan dan Ibu terobati."
Clarisa membeku. Ekspresi tenangnya sedikit goyah, digantikan oleh sedikit rasa panik. "Dari mana... dari mana kau mendapatkan itu?"
"Itu tidak penting. Yang penting adalah, kau tidak pernah mengabaikan Ibu, Nadia, dan aku. Justru sebaliknya. Kau adalah istri yang hebat, Clarisa. Aku yang egois, aku yang bodoh karena tidak bisa memahamimu, dan membiarkan kau menanggung semua tekanan itu sendirian. Selain itu, aku selalu menjadi beban untukmu!" Gerald meraih tangan Clarisa yang ada di atas meja.
Clarisa segera menarik tangannya. Wajahnya memerah tanpa disadarinya, antara malu karena rahasianya terbongkar dan kaget dengan perubahan Gerald yang begitu mendadak dan emosional.
"Kau tidak perlu seperti ini, Gerald. Aku melakukannya karena... karena aku merasa kasihan. Itu saja. Lagipula, itu sudah masa lalu. Kita sudah bercerai," kata Clarisa, suaranya berusaha keras untuk terdengar dingin.
Saat suasana menegangkan ini, pesanan mereka datang-daging barbeque yang berasap tebal dan nasi hangat yang menggugah selera.
"Tuan Muda, Nona, ini pesanan kalian. Selamat menikmati!" Pelayan itu menyimpan makanan di meja mereka dan berkata.
"Ah, baik, terima kasih!" Ucap Gerald dengan sedikit malu. Clarisa juga menundukkan kepalanya, tidak berani melihat ke arah pelayan itu.
Pelayan itu mengangguk menanggapi perkataan Gerald, kemudian dia tersenyum penuh arti sebelum berbalik dan pergi.
Melihat pelayan itu telah pergi, Gerald memandang Clarisa dalam-dalam.
"Tidak, Clarisa. Kita belum selesai," ujar Gerald, mengabaikan makanan di hadapannya. "Aku datang ke sini bukan untuk berterima kasih atau meminta maaf. Aku datang ke sini untuk memberitahu kau satu hal: Aku ingin kau kembali padaku."
Clarisa terdiam, menatapnya tanpa berkedip. Asap dari panggangan mulai membuat matanya berair.
"Aku tahu kau sudah melihat surat dari Kakek. Kau tahu siapa aku. Kau tahu aku sekarang adalah Gerald Wilton, Direktur Eksekutif Wilton Corporation. Aku bisa memberimu semua kemewahan yang seharusnya kau miliki sejak awal. Aku bisa melindungimu dari Ibu kau dan semua orang yang merendahkan kau," lanjut Gerald, suaranya penuh tekad. "Aku ingin memulai lagi. Aku mencintai kau, Clarisa. Selama dua tahun ini, meskipun kau bersikap dingin padaku, tetapi kau adalah satu-satunya orang yang tidak melihatku sebagai sampah, tapi sebagai Gerald, dan kau tetap peduli pada keluargaku dalam diam."
Clarisa menghela napas panjang. Ia mengambil sumpit, mencoba terlihat sibuk dengan makanannya.
"Kau berubah terlalu cepat, Gerald. Pagi tadi kau adalah pria yang dicampakkan, dan sore ini kau adalah Direktur Eksekutif yang memiliki kekayaan $10 Miliar Aurum, dan sekarang...?" kata Clarisa, suaranya kini melunak. "Itu tidak adil bagiku. Aku baru saja menandatangani surat cerai denganmu. Aku baru saja mendapat kebebasan dari semua tekanan Ibu. Dan sekarang kau datang, mengatakan ingin kita kembali?"
Ia mendongak, matanya yang indah tampak lelah.
"Gerald, kita baru saja cerai. Sebaiknya kita jaga jarak dulu," ucap Clarisa pelan, mengulangi kalimat yang akan menjadi penolakan awalnya. "Aku butuh waktu. Aku butuh tahu, apakah kau kembali karena kau benar-benar mencintaiku, atau karena kau merasa bersalah setelah mengetahui semua itu. Aku tidak ingin pernikahanku yang kedua ternodai seperti pernikahan pertamaku, selain itu aku butuh waktu, untuk benar-benar mencintaimu."
Kata-kata Clarisa menusuk hati Gerald. Dia tahu Clarisa benar. Dia terlalu tergesa-gesa.
"Aku mengerti, Clarisa. Aku akan membuktikannya. Aku akan tunjukkan padamu bahwa aku benar-benar mencintaimu," janji Gerald, suaranya rendah, namun tekad yang jelas terlihat di matanya.
Clarisa hanya menggeleng kecil. "Tidak perlu. Kau sudah bebas, Gerald. Selain itu, aku juga ingin hidup tenang dan tanpa beban."
Sejujurnya, ada yang tidak dikatakan Clarisa pada Gerald. Yaitu, dia sedikit kecewa pada Gerald. Mengapa? Tentu saja, karena Gerald selama ini tidak pernah memberitahunya bahwa dia adalah keturunan dari keluarga Wilton yang legendaris.
Clarisa tiba-tiba berdiri. Ia mengambil tas tangannya dan mengeluarkan sesuatu.
"Aku sudah selesai. Kau habiskan makanan kau," ujar Clarisa. Ia kemudian meletakkan sebuah amplop di atas meja, di sebelah piring Gerald.
"Oh ya, besok adalah perayaan ulang tahun yang ke-80 tahun Nenekku. Kau harus datang, ya!"
Gerald mengerutkan kening, mengambil amplop itu. Itu adalah kartu undangan yang elegan. Di sana tertulis: 'Ulang tahun ke-80 tahun, Nyonya Besar Keluarga Alvero'. Nenek Clarisa adalah sosok yang bijaksana dan sangat dihormati di keluarga Alvero. Dialah istri dari Tuan Besar Warge Alvero, yang dulu mengatur pernikahan kontrak mereka, yang sudah meninggal satu tahun yang lalu.
"Kenapa aku harus datang? Kita sudah bercerai," tanya Gerald.
"Tidak apa-apa, bagaimana pun kau pernah menjadi cucu menantu beliau. Jadi tidak ada salahnya kau datang. Selain itu, anggap saja sebagai penghormatan terakhir pada nenekku," jawab Clarisa, wajahnya kembali tanpa ekspresi. "Datanglah sebagai Gerald yang dulu. Tidak perlu membawakan hadiah yang mewah, yang terpenting kamu harus datang!"
Clarisa berbalik dan melangkah cepat keluar menuju mobilnya.
Gerald menatap punggungnya yang menjauh. Ia menggenggam undangan itu erat-erat. Datang sebagai Gerald yang dulu? Mungkinkah Clarisa mengujiku?
Gerald tersenyum tipis. "Aku akan datang, Clarisa. Dan aku akan membuktikan, bahwa Gerald yang baru ini masih pria yang sama yang pernah bersamamu, selama dua tahun," gumamnya, tekad membara di matanya.
Bersambung...
