Bab 4
Rayzen berdiri di barisan belakang aula utama, mata tertutup, napas teratur. Tapi di dadanya, sesuatu mulai bergetar—bukan ketakutan… melainkan desakan dari dalam. Chi Iblis yang mengalir seperti darah tua yang kembali hidup.
Kepala Akademi mengangkat tongkat hitamnya tinggi-tinggi.
Sebuah lingkaran sihir terbentuk di atas langit-langit aula. Simbol-simbol kuno menyala, satu per satu, seperti kunci yang memutar gerbang tak kasatmata.
"Siapa pun yang menyimpan energi dari luar dunia ini... akan terbakar."
Suara itu bukan ancaman. Itu hukum. Dan hukum di dunia mereka tidak bisa dinegosiasi.
Para murid mulai berbisik. Aura ketakutan merayap lebih cepat dari sihir mana pun. Beberapa bahkan mundur, berharap bukan mereka yang ditarik lebih dulu.
Tapi satu nama mulai menggumpal di kepala semua orang:
Rayzen.
Calven menggigit bibirnya. Sylvaine, yang kini berdiri di sisi kanan aula, menatap diam-diam ke arah Rayzen.
Luvielle berdiri di balkon atas, tangan gemetar memegang liontin kristal pengamat.
Dan Rayzen… membuka matanya.
Mata itu tak lagi sepenuhnya hitam. Ada garis ungu samar yang melingkar di irisnya, seperti bekas luka langit malam.
Tepat saat tongkat Kepala Akademi mulai memancarkan cahaya pemindai, suara itu muncul dari dalam Rayzen:
> “Biar aku tunjukkan pada mereka... siapa yang mereka culik dari neraka.”
Sebuah semburan aura tak kasatmata mendesak keluar dari tubuh Rayzen. Tidak kasar, tapi tidak bisa diabaikan. Seperti tekanan dari dunia yang bukan milik manusia.
Semua sihir di aula berhenti.
Selama dua detik, hanya satu suara yang terdengar.
Degup jantung Rayzen.
Dan dari setiap simbol sihir yang mengambang di udara, satu per satu mulai… retak.
Kepala Akademi melangkah mundur, wajahnya untuk pertama kalinya kehilangan ekspresi tenangnya. "Ini... bukan aura sihir biasa."
Rayzen melangkah maju.
"Berhenti menyelidiki sesuatu yang tidak bisa kalian tahan."
Suaranya datar. Tapi gema dari suaranya terdengar... tua. Terlalu tua untuk bocah seusianya.
Salah satu instruktur berteriak, "Dia yang membuka portal! Tangkap dia!"
Rayzen mengangkat tangan.
Udara di sekitarnya membeku. Waktu seolah melambat.
Dan dalam satu kedipan, semua simbol sihir... padam.
Aura iblisnya tidak mengamuk. Tidak menghancurkan. Tapi seolah menghapus apa pun yang tidak ia izinkan ada di dunia ini.
Luvielle ingin turun. Ingin menghentikan. Ingin menyelamatkan.
Tapi ia tahu, kalau ia turun sekarang... dia takkan bisa berpura-pura lagi.
Rayzen menatap Kepala Akademi. “Jika kalian ingin mengurungku... maka pastikan kalian membawa dunia cadangan untuk menggantikan yang ini.”
Seketika, api ungu menyala di balik punggungnya.
Bukan api biasa.
Itu adalah api Valcirion—api yang dulu menghanguskan tujuh kerajaan dalam satu malam.
Aula terguncang. Lantai retak. Pilar-pilar sihir mengerang seperti makhluk hidup.
Tapi Rayzen mengangkat tangan kirinya, dan api itu langsung padam.
“Tenang. Aku tidak ingin menghancurkan tempat ini... belum,” ucapnya, seperti gurauan dingin yang membuat semua wajah memucat.
Lalu ia berbalik. Melangkah keluar aula, tanpa dihalangi siapa pun.
Dan tidak ada yang mengejar.
Di luar, langit mendung. Burung-burung penjaga terbang rendah, seolah menyembunyikan diri dari sesuatu yang tidak seharusnya bangun.
Sylvaine menyusulnya di jalanan berbatu.
“Kau seharusnya kabur,” katanya lirih. “Setelah ini… mereka tidak akan membiarkanmu hidup bebas.”
Rayzen berhenti. Menatapnya.
“Kalau mereka ingin membunuhku, mereka seharusnya mulai dua ribu tahun yang lalu.”
“Kenapa tidak kau hancurkan saja mereka tadi?”
Rayzen diam sesaat.
“Karena ada satu orang di antara mereka... yang masih ingin aku tetap hidup.”
Sylvaine menyipitkan mata. “Luvielle?”
Ia mengangguk pelan.
“Kau mempercayainya?”
“Tidak.”
“Tapi kau menyebutnya.”
“Karena dia akan jadi orang pertama yang memutuskan... apakah aku musuh, atau alasan dia tetap tinggal.”
Malam itu, Luvielle menyelinap ke menara observasi. Ia membuka gulungan terlarang, membandingkan aura Rayzen dengan aura Valcirion yang direkam sebelum pemeteraian.
Hasilnya... sempurna.
Rayzen bukan hanya pewaris. Ia adalah tubuh reinkarnasi langsung dari Valcirion yang disegel di akhir Zaman Gelap.
“Tidak mungkin…”
Luvielle terduduk. Tapi di balik ketakutannya, ada satu rasa lain yang menyelinap:
Kekaguman.
“Kalau dia tetap... Rayzen, mungkin... dia bisa mengubah nasib kita.”
Lalu ia memecahkan liontin pengamatnya.
Tak ada yang boleh tahu. Belum.
Di sudut paling gelap dunia, di bawah reruntuhan Kota Terkubur, sebuah ruang ritual kembali menyala.
Tujuh siluet berjubah hitam duduk melingkar, dan di tengah-tengah mereka, sebuah kristal merah darah mengambang.
Salah satu dari mereka membuka mulut.
“Valcirion… hidup kembali.”
Yang lain menjawab:
“Maka waktunya telah tiba.”
> “Mari kita buka kembali Perang Dunia Keempat.”
Tiga malam setelah insiden di aula utama, Akademi Artheon seperti kota hantu. Dinding-dinding sihir diperkuat, menara penjaga digandakan, dan setiap siswa diwajibkan tinggal di asrama masing-masing selama penyelidikan "resonansi dimensi". Tapi semua tahu, ini bukan penyelidikan biasa.
Ini adalah perburuan diam-diam—dan pusatnya adalah Rayzen.
Namun, Rayzen sendiri kini bersembunyi di tempat yang justru tidak dijaga: lorong bawah tanah yang sudah ditutup selama dua abad.
Lorong itu dulunya adalah jalur rahasia menuju ruang penelitian Valcirion—sebelum dunia menyebutnya iblis.
Rayzen berjalan perlahan, dinding-dinding batu di sekitarnya terasa berdenyut, seperti napas dari tanah tua. Api ungu kecil menyala di telapak tangannya, menerangi prasasti-prasasti kuno di dinding.
> “Di sinilah aku dikubur hidup-hidup,” bisik suara dari dalam dirinya.
Rayzen berhenti.
“Tapi aku hidup lagi,” gumamnya.
Di sisi lain Akademi
Sylvaine mengatur siasat. Ia menyusup ke menara kedap suara milik Luvielle, satu-satunya tempat di mana informasi tak bisa disadap oleh sistem pengawasan akademi.
Luvielle sedang duduk di depan meja bundar, tumpukan gulungan tersebar di sekitarnya.
“Aku tahu kau akan datang,” katanya tanpa menoleh.
“Dan aku tahu kau menyembunyikan sesuatu,” balas Sylvaine tajam.
Luvielle berdiri. Tatapannya tajam tapi tidak bermusuhan.
“Rayzen adalah Valcirion. Tapi bukan hanya itu.”
Ia mengeluarkan sebuah kaca bundar. “Aku membaca pola kelahiran Valcirion sejak zaman sebelum akademi berdiri. Dia tidak pernah sepenuhnya ‘lahir’. Ia selalu dibagi. Dalam setiap siklus reinkarnasi, bagian jiwanya disebar—dan hanya satu yang memegang pusatnya.”
Sylvaine menyipit. “Dan Rayzen…?”
“Dia yang memegang pusat.”
Kembali ke Bawah Tanah
Rayzen tiba di ujung lorong. Sebuah gerbang batu besar berdiri kokoh di depannya, dihiasi ukiran naga berkepala dua, dan di tengahnya tertanam sebuah mata—tertutup, tapi terasa seperti mengawasi.
Ia menempelkan tangan ke ukiran mata itu.
Seketika, gema terdengar.
> “Valcirion. Dagingmu kembali, tapi apakah ingatanmu masih tidur?”
Rayzen memejamkan mata.
Kilasan muncul. Dirinya di medan perang. Dunia terbakar. Ratusan penyihir sujud. Ratu Cahaya mengangkat pedangnya—dan ia menahan dengan dua jari. Tertawa. Kemudian gelap. Kemudian segel. Kemudian—
Rayzen terhuyung. Napasnya tercekat. Tapi ia tidak mundur.
“Aku tidak ingat semuanya,” katanya. “Tapi aku tahu satu hal: Aku bukan alat siapa pun.”
Gerbang batu retak pelan. Mata naga itu terbuka… dan tertawa.
Di markas rahasia Tujuh Jubah Hitam
Para pemimpin kegelapan kini memantau denyut dunia.
“Kristal darah mulai bereaksi,” ucap salah satu dari mereka.
“Valcirion mulai menyatu dengan dirinya sendiri.”
Yang tertua di antara mereka berujar pelan, “Jika dia bangkit sepenuhnya, tak ada klan, tak ada dewa, tak ada dimensi yang bisa menahannya.”
Mereka semua diam.
Lalu satu kalimat menyatukan niat:
> “Panggil para Penyihir Gelombang Ketiga. Kita tidak akan menunggu ramalan. Kita akan membunuhnya sebelum ia menjadi Dewa.”
Di tempat lain, di luar akademi
Seorang gadis bermata perak sedang berdiri di atas menara tua, rambutnya berkibar melawan badai.
Namanya Yvana, satu-satunya pewaris klan Cahaya yang tersisa. Dan ia menyentuh jantungnya, tempat liontin langit bergetar.
> “Valcirion hidup kembali… dan dengan atau tanpa restu dunia, aku harus menemuinya.”
Kembali ke Rayzen
Gerbang batu terbuka perlahan.
Di dalamnya: ruang gelap tak berbentuk, seperti isi mimpi yang tak pernah selesai.
Rayzen melangkah masuk. Langkahnya menggema. Dinding-dinding hidup. Suara-suara mulai berbicara.
> “Kenapa kau kembali ke tempat ini?”
> “Apakah kau ingin menjadi dewa lagi, atau hanya bocah yang kehilangan arah?”
Rayzen berhenti di tengah ruang kosong.
“Karena aku ingin tahu…” gumamnya.
“…jika aku memang dilahirkan untuk menghancurkan… apa artinya menciptakan dunia yang baru?”
Dan dari kedalaman ruang itu, sebuah kursi besi muncul perlahan. Di atasnya, ada sebilah pedang hitam yang menyala ungu.
Tangannya bergerak sendiri. Menggenggam gagang pedang.
Dan saat ia menariknya…
Langit di atas Akademi pecah sedikit.
