
Ringkasan
Rayzen Valcirion bukanlah manusia biasa. Ia adalah reinkarnasi dari Dewa Iblis Penghancur Dunia, makhluk tertinggi yang pernah hidup dan ditakuti oleh semua ras — dari para dewa, iblis, hingga naga langit. Namun, lima ratus juta tahun lalu, ia menghilang secara misterius... dan memilih untuk menghancurkan dirinya sendiri demi mengakhiri siklus kebencian. Kini, ia terlahir kembali sebagai seorang remaja berusia 15 tahun, lengkap dengan semua ingatan dan kekuatannya yang belum pulih sepenuhnya. Rayzen tidak tertarik mengulang sejarah. Ia hanya ingin hidup damai — jauh dari perang, kekuasaan, dan kematian. Namun takdir kembali menertawakannya. Saat ditangkap oleh kerajaan dan dijebak dalam kontrak darah pernikahan dengan Putri Iblis, semuanya berubah. Sang putri berniat menjadikannya pion atau suami boneka. Tapi kontrak itu... berbalik. Rayzen menyimpan kekuatan yang bahkan sistem sihir dunia tak bisa pahami. Putri Iblis justru menjadi budak kontrak Dewa Iblis,
Bab 1
Rantai sihir itu dingin. Terlalu dingin. Membelit pergelangan tangan Rayzen seperti ular yang hidup, menjalar naik hingga ke leher, menekan pelan seperti mengingatkan bahwa hidupnya tak lagi miliknya sendiri.
Di hadapannya, puluhan prajurit berdiri membentuk setengah lingkaran. Senjata mereka terhunus. Tapi bukan rasa takut yang terpancar dari wajah mereka, melainkan kebingungan. Ketakutan yang tidak mereka pahami.
Rayzen tidak melawan. Ia hanya berdiri. Diam. Matanya kosong, seolah apa pun yang terjadi di sekitarnya tak lebih dari angin lalu.
Tapi jauh di dalam dirinya, ada sesuatu yang bergolak. Sebuah perasaan tua. Lelah. Muak. Ratusan juta tahun rasa muak yang tidak pernah pergi. Ia telah melalui perang, kehancuran, pengkhianatan, dan kehampaan... hanya untuk terlahir kembali di dunia yang sama gilanya seperti dulu.
Seorang pria tua berjubah putih maju. Di tangan kirinya tergantung gulungan merah yang mengambang di udara, dan di tangan kanannya pisau upacara sihir.
"Rayzen. Tahanan dari wilayah selatan, dicurigai sebagai pembunuh, mata-mata, dan pengkhianat." Suaranya tegas, dingin, tanpa sedikit pun belas kasihan. "Namun, kau ditawarkan pengampunan."
Rayzen mengangkat kepalanya perlahan. Matanya menatap tajam. Seolah dia tidak melihat pria itu, tapi menembus ribuan tahun ke belakang. Mencari alasan mengapa dunia ini tidak pernah berubah.
"Kau akan dikontrak. Menjadi milik Ratu Iblis melalui sihir darah. Kau tunduk padanya. Jiwa dan ragamu."
Pisau itu bergerak cepat. Pria tua itu menusuk telapak tangan Rayzen tanpa ragu. Darah menetes. Simbol-simbol merah menyala di udara, membentuk lingkaran rumit yang berdenyut pelan. Seperti jantung dunia yang baru saja dibangunkan.
Saat darah Rayzen menyentuh pusat kontrak, ruangan mendadak menjadi hening. Udara berhenti bergerak. Cahaya terhisap masuk. Detik berikutnya, lingkaran sihir retak.
Pecah.
Simbol-simbol itu terbalik. Rantai sihir yang membelit tubuh Rayzen mencair seperti kabut yang tak sanggup menempel pada kegelapan yang lebih tua dari sihir mana pun.
Pria tua itu mundur satu langkah. Wajahnya pucat. Tangannya gemetar.
"Tidak... Ini... ini mustahil. Sihirnya tidak... Dia bukan yang terikat... tapi..."
Langkah ringan terdengar dari balik tirai.
Seorang gadis muncul, berjalan perlahan. Rambut ungunya tergerai, matanya merah menyala, dan dua tanduk hitam menjulang di kepalanya. Ia memancarkan aura bangsawan, keangkuhan iblis, dan kekuatan yang tidak butuh pengakuan.
Ratu Iblis.
Ia berdiri di depan Rayzen. Memandangnya. Lalu melihat ke simbol yang menyala di udara.
Dan saat itulah wajahnya berubah.
Mata merahnya melebar. Napasnya tercekat. Kakinya hampir goyah.
"Aku... Aku yang terikat?" bisiknya nyaris tak terdengar.
Di bawah simbol sihir itu, nama milik Rayzen tertulis di atas. Di bawahnya, nama sang Ratu.
Urutan yang seharusnya tidak mungkin.
Rayzen tetap menatapnya. Tenang. Tapi di balik tenangnya, ada luka yang tak terucapkan. Dunia ini... sekali lagi memaksanya bangun. Sekali lagi mencoba menyeretnya kembali.
"Aku hanya ingin hidup damai," katanya lirih. "Tapi kalian... selalu datang mencari perang."
Suara itu rendah. Tapi ruangan berguncang.
Lantai istana retak. Cahaya sihir padam. Semua prajurit tersungkur, gemetar tanpa tahu alasan. Dan di hadapan mereka, berdiri sosok remaja lima belas tahun yang tubuhnya mulai memancarkan kegelapan purba.
Tanpa perlu berteriak. Tanpa perlu marah.
Rayzen hanya menatap, dan dunia tahu bahwa mereka telah membangunkan sesuatu... yang seharusnya tetap tertidur.
Luvielle tidak bergerak. Tubuhnya terasa ringan, tapi bukan karena sihir. Melainkan karena rasa ngeri yang perlahan naik dari ujung kaki, merambat ke dada.
Ia berdiri hanya beberapa langkah dari Rayzen, pria yang kini… tidak bisa disebut manusia. Aura yang keluar dari tubuhnya bukan sihir iblis, bukan juga sihir manusia. Lebih kuno. Lebih dalam. Seolah berasal dari awal waktu.
Prajurit-prajurit di belakangnya masih belum bangkit. Sebagian jatuh berlutut. Sebagian lain berusaha menahan muntah karena tekanan energi yang tak bisa dijelaskan.
Namun Rayzen… hanya menatapnya.
Mata perak itu tidak bersinar. Tidak marah. Tidak menuntut. Tapi justru itulah yang membuat Luvielle merasa tercekik. Tatapan itu terlalu tenang. Terlalu stabil. Tidak ada tanda bahwa ia takut padanya. Tidak ada rasa kagum. Tidak juga tunduk.
"Siapa kau sebenarnya?" suara Luvielle pecah. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia bertanya dengan ketulusan yang menyakitkan.
Rayzen menundukkan kepala sedikit. Tidak membungkuk. Hanya menatap lantai yang retak karena tekanan kekuatannya sendiri. "Seorang yang ingin tidur... dan kalian membangunkannya."
Luvielle menggigit bibir. Ia bukan gadis lemah. Ia dilatih sejak kecil untuk menjadi pemimpin pasukan iblis. Tapi hari ini, di ruangan istana ini, dialah yang berdiri sebagai budak kontrak. Bukan sebaliknya.
Kontrak itu nyata. Ikatan darah telah aktif. Tapi saat ia mencoba memanggil sihir pengikat, ia tidak bisa. Semua respon mentalnya terpental, seperti dilempar ke tembok tak kasat mata yang tak bisa ia lewati.
Dan ia tahu... itu bukan karena kesalahannya.
"Aku... yang harusnya mengikatmu. Aku yang membayar darah lebih dulu. Aku yang membawa kontraknya," ucap Luvielle, suaranya lebih lirih dari biasanya.
Rayzen mengangkat wajah. Sorot matanya dalam. Seolah tahu apa yang ia rasakan.
"Aku tidak menginginkanmu sebagai budak," katanya pelan. "Aku tidak menginginkan siapa pun. Aku bahkan tidak menginginkan kontrak ini."
Luvielle menatapnya lama. Ada luka dalam suara itu. Luka yang anehnya membuat hatinya terdiam. Tak bisa marah. Tak bisa bangga.
"Kalau begitu, kenapa kau tidak menolaknya?" tanyanya.
Rayzen mengalihkan pandang ke tangannya yang masih berlumuran darah dari ritual tadi. "Karena itu lebih mudah daripada membunuh semua orang di ruangan ini."
Luvielle terdiam.
Ia percaya. Dan itu yang paling mengganggunya.
Rayzen memberi satu langkah mundur. Aura mengerikan yang tadi meledak mulai surut. Cahaya kembali muncul perlahan. Tapi bayangannya masih tertinggal di lantai, seperti noda yang tidak bisa dihapus.
Prajurit-prajurit mulai bangkit. Pria tua yang menjadi pengawas upacara terlihat seperti baru saja kembali dari neraka. Wajahnya pucat, keringat dingin menetes dari pelipis.
"Ratu... apa yang harus kita lakukan?" tanyanya dengan suara gemetar.
Luvielle tidak langsung menjawab.
Ia melihat Rayzen.
Melihat sosok yang lebih muda darinya, lebih kecil... tapi tidak bisa ia taklukkan. Tidak dengan sihir. Tidak dengan status. Tidak juga dengan kata-kata.
Lalu ia menarik napas panjang.
"Bawa dia ke Akademi," katanya akhirnya. "Jadikan dia peserta. Perkenalkan dia sebagai suamiku. Tapi jangan ada yang tahu tentang kontraknya."
Rayzen memutar kepala pelan, menatapnya dengan ekspresi netral.
"Aku hanya ingin menjalani hidupku," katanya. "Jangan paksa aku menjadi monster lagi."
Luvielle mengangguk. Tapi dalam hatinya... ia tahu.
Rayzen bukan monster.
Ia adalah sesuatu yang lebih menakutkan.
Dan ia adalah satu-satunya orang yang kini terikat langsung padanya. Tidak sebagai ratu. Tapi sebagai budak. Dan rasa ngeri itu... anehnya, mulai bercampur dengan rasa penasaran.
Bukan karena kekuatannya. Tapi karena sosok Rayzen yang menyimpan luka dalam diam. Sesuatu dalam dirinya... ingin tahu lebih jauh.
Ingin tahu siapa sebenarnya lelaki yang berhasil membalik kutukan iblis hanya dengan keberadaan.
Dan kenapa... ia memilih untuk diam.
