Bab 3
Keesokan harinya, seluruh akademi gempar.
Nama Rayzen menyebar seperti wabah. Di lorong-lorong tersembunyi, di ruang makan bawah tanah, bahkan di ruang meditasi senyap, semua membicarakan satu hal yang sama.
Anak baru dari Kelas Hitam menghancurkan senior hanya dengan tatapan.
Beberapa menyebutnya ilusi. Beberapa yakin itu sihir tekanan jiwa tingkat tinggi. Tapi yang lain... mulai mengaitkannya dengan legenda.
Legenda tentang seorang Dewa Iblis yang dulu memusnahkan tujuh kerajaan dalam satu malam. Yang tak bisa dikalahkan oleh pedang, sihir, atau waktu. Yang konon... dimeteraikan dalam tubuh manusia.
Dan sekarang, tubuh itu mungkin bernama Rayzen.
Di ruang pelatihan Kelas Hitam, Rayzen kembali duduk diam, membaca buku mantra yang sebenarnya tidak ia perlukan. Ia tidak membaca untuk belajar, tapi untuk mengisi waktu.
Beberapa murid memperhatikannya dari kejauhan. Tak ada yang berani mendekat. Bahkan Calven, yang duduk dengan perban di lehernya, tidak berani mengangkat kepala.
Tapi satu orang mendekat.
Seorang gadis.
Berambut ungu gelap, mata perak. Ia mengenakan seragam Kelas Hitam dengan jaket panjang, dan sabuk yang memuat enam pisau pendek. Langkahnya ringan. Tidak ragu.
"Aku tidak tertarik bertarung," ucap Rayzen tanpa menoleh.
"Aku tidak datang untuk bertarung," jawab gadis itu. Suaranya tajam, tapi tenang. "Namaku Sylvaine. Anak kedua keluarga Sylvenhart. Aku hanya ingin memastikan... kau memang bukan manusia biasa."
Rayzen menutup buku.
"Dan kalau aku bukan?"
"Aku akan lebih berhati-hati." Ia tersenyum tipis. "Dan... mungkin sedikit tertarik."
Rayzen menatapnya untuk pertama kali. Tatapannya kosong, namun ada sesuatu di dalamnya. Seolah ia menilai, menimbang, lalu memutuskan... untuk tidak peduli.
"Pergi," ucapnya.
Sylvaine mengangkat bahu. Tapi ia tidak pergi. Justru duduk di bangku seberang.
"Kau tahu, beberapa dari kami... bukan manusia juga."
Rayzen tidak menjawab.
"Tapi kami tidak sepertimu. Kau terlalu... gelap." Ia menyandarkan dagunya ke tangan. "Terlalu tenang untuk makhluk yang seharusnya sudah mati ribuan tahun lalu."
Di ruang pengawas, Luvielle mendengarkan percakapan mereka lewat pantulan sihir dari liontin mata. Ia duduk diam, wajahnya serius.
Di meja depannya, berserakan dokumen kuno, gambar siluet makhluk bertanduk dua, catatan perang dimensi gelap, dan laporan akademi dari dua abad lalu.
Nama yang terus muncul di setiap naskah:
Valcirion.
Dewa Iblis Pertama.
Penguasa kehancuran.
Pembawa senyap bagi langit dan tanah.
Dan nama itu sekarang disandang bocah berusia lima belas tahun.
Luvielle memejamkan mata. Dalam diam, ia tahu satu hal.
Ia harus memilih.
Menjaga Rayzen. Atau membunuhnya sebelum semuanya terlambat.
Sore itu, alarm akademi meraung.
Bukan karena Rayzen.
Tapi karena portal dimensi yang tidak dikenal terbuka di ruang bawah ketiga. Monster asing merangkak keluar, mata mereka menyala ungu. Mereka bukan dari dunia ini. Bahkan bukan dari dunia iblis biasa.
Pelatih berlarian, siswa siaga, dan perisai sihir diaktifkan.
Tapi Rayzen berdiri di balkon luar. Memandang celah dimensi itu tanpa emosi.
Dari balik kabut merah, sepasang mata yang familiar menatap balik ke arahnya.
Mata itu... milik dirinya sendiri.
Sosok di dalam portal tersenyum. Tanduk melengkung. Aura membara.
Itu bukan musuh.
Itu bukan pantulan.
Itu adalah dirinya.
Yang lama.
Yang dulu menghancurkan segalanya.
Cahaya merah dari celah dimensi menyebar ke seluruh langit bawah tanah. Aura panas dan tekanan magis menggetarkan dinding-dinding akademi, membuat simbol pelindung berkilat seperti kesetrum.
Para instruktur tingkat tinggi memanggil mantra pertahanan, dan murid-murid diperintahkan kembali ke sektor aman. Tapi Rayzen tidak bergerak.
Ia berdiri di ujung balkon batu, hanya beberapa meter dari portal yang terbuka seperti luka di udara.
Di seberangnya, ia berdiri.
Sama tinggi. Sama bentuk wajah. Tapi lebih dewasa, lebih liar. Aura iblis di tubuhnya tidak tersembunyi. Tanduk melengkung sempurna, sepasang sayap hitam terlipat di punggungnya, dan mata ungu bersinar seperti bara neraka.
Rayzen mengangkat wajahnya.
"...Kau."
Sosok itu menyeringai.
"Aku dari saat kau masih tahu cara menghancurkan tanpa ragu."
Suaranya berat, dalam, dan terasa seperti gema dari kedalaman jurang.
"Aku datang bukan untuk bertarung. Tapi untuk memperingatkanmu."
Rayzen diam.
"Semakin lama kau hidup di tubuh itu, semakin cepat segel akan melemah. Dan saat saat itu datang, kau tak akan bisa menolak panggilan darah."
"...Aku tidak berniat kembali menjadi dirimu."
Sosok itu tertawa pendek, suaranya seperti logam patah.
"Tapi dunia akan memaksa. Mereka sudah mulai takut padamu, bukan? Bahkan gadis yang menatapmu dari balik bayangan itu pun... mulai meragukanmu."
Mata Rayzen bergerak sejenak. Ia tahu Luvielle sedang memperhatikan. Ia bahkan tahu Sylvaine belum meninggalkan ruang latihan, hanya diam di balik pilar sihir.
"Aku tidak peduli pada mereka," jawab Rayzen akhirnya.
"Itulah kenapa kau akan kembali menjadi aku," balas sosok itu.
Portal di belakangnya mulai retak dan tertutup. Tapi sebelum lenyap, sosok itu berkata satu kalimat lagi.
> "Jika mereka tidak membunuhmu lebih dulu... maka kau akan membunuh mereka semua."
Setelah celah dimensi menghilang, akademi memasuki mode siaga tinggi. Para peneliti mulai mencari tahu jenis energi apa yang menembus lapisan pertahanan akademi. Tapi tak ada satu pun yang bisa menjelaskan.
Rayzen berjalan kembali ke kamarnya tanpa tergesa.
Di sepanjang lorong, tidak ada yang berani menatap matanya.
Bahkan Calven, yang dulu selalu sok berani, kini menunduk saat Rayzen melewati.
Di kamarnya, ia duduk di ujung ranjang. Matanya menatap jari-jarinya yang tetap dingin. Tapi di balik kulit itu, api iblis mulai berdenyut pelan.
Ia menutup matanya.
Dan mendengar suara masa lalu:
> “Kau bukan makhluk untuk diselamatkan, Valcirion. Kau adalah badai yang ditahan dalam botol kaca.”
Di tempat lain, di ruang observasi sihir, Luvielle menatap layar kristal dengan wajah pucat. Ia melihat segalanya.
Wajah Rayzen. Sosok iblis dari masa lalu. Percakapan mereka.
Tangannya mengepal.
"Aku harus melaporkan ini pada Dewan Sihir."
Tapi ia tidak bergerak.
Karena jauh di lubuk hatinya, ia tidak ingin Dewan tahu.
Bukan karena takut.
Tapi karena... ia tidak ingin Rayzen diambil darinya.
Keesokan paginya, bel latihan berbunyi lebih cepat dari biasanya.
Semuanya dikumpulkan di aula utama. Di hadapan mereka, Kepala Akademi berdiri tegak. Jubah panjangnya berkibar, dan tongkat hitamnya mencuatkan aura tekanan tinggi.
"Terjadi insiden sihir tingkat tinggi tadi malam," ucapnya lantang. "Kami tidak tahu dari mana asalnya. Tapi kami tahu satu hal: salah satu dari kalian telah membuka portal dimensi terlarang."
Bisik-bisik langsung memenuhi ruangan.
Kepala Akademi mengangkat tangannya. Sunyi langsung kembali.
"Kami akan mulai penyaringan aura. Satu per satu akan diperiksa."
Rayzen memejamkan mata.
Ia tahu.
Waktunya telah habis.
Saat semua mata mulai menuduh, Rayzen harus memilih antara menyembunyikan jati dirinya?
