Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

Begitu Rayzen mencabut pedang hitam itu, seluruh dunia seperti menahan napas.

Pedang itu tidak mengeluarkan suara denting logam biasa—melainkan gaung, seolah ada dimensi lain yang merespons kemunculannya.

Tangannya bergetar. Tapi bukan karena takut.

Melainkan karena untuk pertama kalinya… ia merasa lengkap.

> “Namaku…”

“…bukan hanya Rayzen.”

“Aku adalah Valcirion. Dan pedang ini... bukan untuk membunuh.”

“Tapi untuk menulis ulang dunia.”

Cahaya ungu dari mata pedang menyebar ke seluruh ruangan. Dinding-dinding yang sebelumnya kosong mulai menampilkan memori—gambar hidup dari ribuan tahun lalu.

Perang besar. Langit robek. Dewa-dewa jatuh. Manusia bersujud. Dan di tengah medan perang berdiri seseorang…

Valcirion.

Wajahnya sama dengan Rayzen. Tapi tatapan itu… kosong.

Ia menghancurkan segalanya. Bukan karena amarah. Tapi karena keyakinan.

“Dunia ini sudah gagal. Maka aku bersihkan untuk dimulai dari awal.”

Rayzen melihatnya… dan menggenggam gagang pedang lebih erat.

“Aku bukan dia. Tapi… dia adalah aku.”

 

Sementara itu, di sisi timur Akademi Artheon

Yvana, gadis bermata perak, akhirnya tiba di gerbang tua.

Pakaian putihnya kotor, tapi matanya tajam. Liontin langit di dadanya menyala pelan—respon dari Chi Iblis yang membubung dari lorong bawah.

Di sampingnya, seorang penjaga akademi menghalangi jalan. “Dilarang masuk. Area ini—”

Yvana menyentuhkan jari ke udara.

Cahaya murni memancar dan membuat penjaga itu terdorong mundur tanpa luka.

“Aku datang bukan sebagai musuh,” katanya, “tapi sebagai penyeimbang dari apa yang hendak bangkit.”

 

Kembali ke dalam ruang bawah tanah

Rayzen kini duduk di atas kursi besi, pedang di pangkuannya. Cahaya ungu itu menyelimuti tubuhnya, perlahan menguraikan batas antara dirinya dan Valcirion. Tapi bukan untuk menguasai… melainkan untuk mengingat.

Lalu…

sebuah sosok muncul dari sisi ruangan—berwujud seperti bayangan yang tersusun dari kenangan, mengenakan jubah retak cahaya dan kegelapan.

Sosok itu menatap Rayzen.

“Aku adalah bagian dari dirimu yang dulu memilih kehancuran,” katanya.

Rayzen tidak gentar. “Dan aku adalah bagian dari dirimu yang bertanya… apakah itu satu-satunya jalan.”

“Kalau begitu,” ujar sosok itu, “buktikan. Lawan aku. Tapi bukan untuk membunuh. Melainkan untuk meyakinkan aku... bahwa kau punya jawaban yang lebih baik.”

 

Pertarungan pun dimulai.

Namun ini bukan pertarungan fisik. Melainkan pertarungan jiwa.

Rayzen berdiri di medan ilusi, berhadapan dengan dirinya sendiri—Valcirion dalam wujud sempurna. Mata mereka bertemu. Setiap gerakan memicu benturan dunia. Cahaya dan bayangan saling bertubrukan.

Satu hantaman dari Valcirion memecah langit ilusi. Rayzen terhempas, tubuhnya terluka. Tapi ia bangkit.

“Kalau dulu kau menghancurkan untuk memberi kesempatan baru… aku akan menciptakan tanpa harus menghancurkan semuanya dulu.”

Valcirion mengangkat tangan, memanggil pusaran api hitam.

Rayzen tak mundur.

Ia mengangkat pedangnya. Dan dalam sekejap—memori orang-orang yang ia temui… Calven, Sylvaine, Luvielle, bahkan tatapan ragu Yvana… semuanya mengalir ke dalam pedang.

Satu tebasan.

Dan bayangan Valcirion… runtuh.

Tapi tidak musnah.

Rayzen memeluk sosok itu saat ia retak.

“Aku tidak membencimu. Aku hanya ingin memberi kita kesempatan memilih jalan lain.”

Valcirion menatapnya—dan untuk pertama kalinya, tersenyum.

 

Di luar ruang bawah tanah

Yvana berdiri di depan pintu yang mulai terbuka.

Rayzen melangkah keluar, membawa pedang hitam yang kini berpendar ungu dan putih. Matanya berubah. Tidak lagi hanya garis ungu. Tapi juga semburat perak di sekeliling irisnya.

Chi Iblis dan Cahaya… bersatu.

Yvana menatapnya.

“Apa kau masih Valcirion?” tanyanya pelan.

Rayzen menggeleng.

“Aku adalah kemungkinan baru dari keduanya.”

 

Di markas Tujuh Jubah Hitam

Kristal darah pecah.

Salah satu dari mereka berteriak, “Valcirion sudah memilih jalur netral?!”

Yang tertua menggeleng gelisah.

“Tidak. Ini lebih buruk.”

“Kenapa?”

“Karena sekarang… dia punya kehendak sendiri.”

Kabut pagi menyelimuti kaki pegunungan Arcvael, tempat perbatasan dunia lama dan dunia baru bertemu. Di sinilah Kota Pertama pernah berdiri—jantung dari segala peradaban sebelum Perang Dunia Pertama menghancurkannya.

Rayzen berdiri di pinggir tebing, menatap reruntuhan yang ditelan kabut. Pedang Valcirion menggantung di punggungnya, namun kini tak bersinar. Seolah turut menahan napas di hadapan tempat kelahiran kekuatan sejati.

Yvana berdiri di sampingnya, rambut peraknya basah oleh embun. Ia menggenggam liontin cahaya yang terus bergetar pelan sejak mereka mendekati wilayah ini.

“Kota Pertama bukan hanya puing,” kata Yvana. “Di dalamnya tersegel awal dan akhir segala kekuatan.”

Rayzen hanya menjawab dengan gumaman, “Dan mungkin... juga masa lalu yang belum selesai.”

 

Beberapa hari sebelumnya – Akademi Artheon

Luvielle memandangi langit dari balkon tertinggi akademi. Surat pengunduran dirinya masih tergenggam di tangan. Ia telah menghapus semua rekaman tentang aura Rayzen, semua catatan tentang kebangkitan Valcirion.

Tapi pikirannya tidak bisa menghapus suara yang masih terngiang:

> “Kalau dia tetap Rayzen... mungkin dia bisa mengubah nasib kita.”

“Dan kalau tidak?” gumamnya sendiri.

Suara langkah mendekat.

Sylvaine muncul dari balik pilar, membawa salinan simbol kuno. “Kau tahu tentang warisan Kota Pertama, bukan?”

Luvielle menatapnya. “Itu hanya mitos.”

“Bukan. Itu adalah kunci… untuk menghentikan atau membangunkan kembali dewa iblis yang pernah memilih kehancuran.” Ia mengangkat gulungan. “Dan aku rasa… kunci itu bukan Rayzen.”

Luvielle menyipitkan mata. “Apa maksudmu?”

Sylvaine menunjuk simbol yang terukir di atas gulungan—tanda yang identik dengan bekas luka yang pernah muncul di telapak tangan Luvielle saat kecil.

“Kau... adalah warisan dari para Penulis Dunia.”

 

Kembali ke pegunungan Arcvael

Rayzen dan Yvana berjalan melewati jembatan runtuh yang tertutup lumut dan akar sihir. Energi di tempat ini aneh. Seolah waktu enggan bergerak.

“Kenapa kita datang ke sini?” tanya Yvana.

Rayzen memejamkan mata sejenak. “Karena sebelum mereka semua memilih perang… aku ingin tahu: siapa aku saat semua ini dimulai.”

Tiba-tiba, dari balik reruntuhan pilar raksasa, muncul sosok mengenakan jubah abu tua. Wajahnya tersembunyi oleh topeng bergambar mata tertutup.

“Valcirion. Atau Rayzen. Atau siapa pun kau sekarang…” suara itu berat, nyaris seperti gemuruh. “Selamat datang di tempat di mana dunia pernah dilahirkan. Dan di mana kau… harus diputuskan.”

Yvana bersiap siaga, tapi Rayzen mengangkat tangan. “Siapa kau?”

“Aku adalah Pencatat Pertama. Satu dari Tiga yang bertugas menjaga sejarah dunia agar tidak ditulis ulang sembarangan.”

“Kalau begitu, aku datang untuk menulis halaman baru.”

“Bukan tanpa harga,” jawab Pencatat. Ia mengangkat tongkat berukir huruf-huruf kuno. “Untuk menulis ulang dunia, kau harus melawan dirinya sendiri.”

“Dirinya sendiri?”

Tiba-tiba, tanah bergetar. Sebuah pilar cahaya hitam menyembur dari tengah reruntuhan. Lalu... sesosok makhluk muncul dari dalamnya—berbentuk seperti Valcirion sepenuhnya, namun matanya menyala merah darah, tanpa sisa kemanusiaan.

Yvana mundur. “Apa itu...?”

Rayzen menggertakkan gigi. “Itu... adalah diriku yang tidak pernah ragu memilih kehancuran.”

 

Pertarungan pun dimulai.

Makhluk itu menyerang Rayzen dengan kecepatan gila. Setiap tebasan bisa memotong batu menjadi debu. Tapi Rayzen… kini tidak lagi bertarung sebagai manusia biasa. Aura Chi Iblis dan Cahaya bersatu, membentuk pusaran di sekeliling tubuhnya.

“Jika aku tak bisa melampauimu... maka aku tak berhak membawa dunia ini ke arah baru.”

Dua sosok yang identik itu bertarung, menciptakan retakan sihir di seluruh Kota Pertama. Seolah tanah pun bingung memilih siapa yang pantas bertahan.

Di atas reruntuhan, Yvana memanggil mantra kuno. Simbol-simbol langit muncul di sekitarnya. Ia menutup matanya, lalu berbicara ke arah Rayzen:

> “Jangan hanya melawan! Dengarkan dia! Dia adalah bagian dari keputusanmu sendiri!”

Rayzen mulai memperlambat gerakannya. Ia menangkis, lalu menatap mata musuhnya.

“Kalau kau adalah aku... apa yang kau inginkan?”

Makhluk itu berhenti sejenak. Lalu, untuk pertama kalinya, ia berbicara:

> “Aku hanya ingin memastikan… bahwa kalau kita memilih untuk tidak menghancurkan… maka kau benar-benar sanggup menanggung bebannya.”

Rayzen tersenyum tipis.

“Kalau begitu... mari kita tanggung bersama.”

Ia menusukkan pedang Valcirion bukan ke tubuh musuhnya… tapi ke tanah. Menghentikan medan perang. Menawarkan perdamaian.

Dan saat itu, makhluk bayangan mulai memudar, menghilang… kembali ke dalam tubuh Rayzen.

 

Langit terbuka.

Kota Pertama bersinar sesaat, seolah menerima keputusan Rayzen. Dari dalam tanah, muncul simbol baru—tanda warisan dunia yang menerima bentuk baru dari sang Dewa Iblis.

 

Sementara itu, jauh di langit keempat…

Dewan Dewa berkumpul. Salah satu dari mereka—dengan sayap retak dan mata tertutup cahaya—berbicara dengan suara tajam.

“Valcirion telah menyatu kembali.”

Yang lain menjawab, “Tapi ia tidak memilih kehancuran. Ia memilih kemungkinan.”

“Dan itu,” kata Dewa Tertua, “adalah hal yang paling berbahaya.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel