Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

Langit belum sepenuhnya terang saat kereta sihir bergerak melewati hutan. Roda-roda berlapis batu sihir tidak menimbulkan suara. Di dalamnya, Rayzen duduk diam di pojok kursi kayu, matanya menatap jendela yang tertutup kabut.

Ia tidak membawa apa-apa. Tak ada bekal. Tak ada koper. Hanya tubuh, ingatan, dan beban yang tidak pernah pergi sejak ia membuka mata di dunia ini.

Luvielle duduk di seberangnya. Tidak mengenakan jubah kerajaan, hanya pakaian biasa berwarna hitam dengan sarung tangan kulit. Ia belum berkata sepatah kata pun sejak mereka meninggalkan istana.

Dan Rayzen… tidak peduli.

Kereta itu akhirnya berhenti di depan tebing yang tertutup ilusi. Seolah hanya batu mati, padahal di baliknya berdiri gerbang hitam setinggi enam meter, terbuat dari tulang monster dan besi sihir. Simbol kerajaan terukir samar di bagian atas.

Akademi Rahasia Pembunuh. Tempat anak-anak terpilih dari kerajaan dan faksi gelap dilatih menjadi senjata hidup.

Begitu pintu terbuka, hawa dingin menyambut mereka. Udara di dalam tanah selalu berbeda. Tidak ada cahaya matahari. Tidak ada angin. Hanya lorong panjang, lampu sihir biru menggantung di dinding.

Rayzen melangkah lebih dulu. Wajahnya tidak berubah. Tapi langkahnya... ringan. Seolah tempat seperti inilah yang selama ini mengerti dia.

Luvielle berjalan di belakangnya, diam-diam memperhatikan. Entah sejak kapan, ia mulai membaca gerak tubuh Rayzen. Bukan karena ingin mengendalikannya lagi. Tapi karena... ia tidak bisa berhenti ingin tahu. Tentang siapa dia. Dan kenapa setiap langkahnya terasa terlalu mantap untuk anak usia lima belas tahun.

"Berhenti," suara berat terdengar dari ujung lorong.

Seorang pria bertubuh besar berdiri dengan pedang raksasa di punggungnya. Jubahnya abu-abu gelap. Wajahnya penuh luka lama.

"Nama?" tanyanya sambil mengarahkan tatapan tajam ke Rayzen.

"Rayzen," jawabnya singkat.

"Tak ada nama belakang?"

"Aku tidak membutuhkannya."

Pria itu menyipitkan mata. Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, Luvielle maju satu langkah.

"Dia di bawah perlindunganku langsung. Masukkan dia sebagai peserta Kelas Hitam."

Ruangan itu mendadak sunyi.

Kelas Hitam. Hanya untuk mereka yang dianggap berbahaya, tidak bisa dikendalikan, atau memiliki potensi luar biasa. Tempat para pembunuh berbakat yang dibiarkan saling bunuh.

Pria penjaga itu mengangguk pelan. Tak berani membantah.

 

Koridor akademi panjang dan sunyi. Setiap dinding dilapisi simbol pelindung. Kamera sihir tersembunyi menyala redup. Sesekali, suara jeritan atau tawa histeris terdengar dari kejauhan.

Rayzen menuruni tangga spiral yang dalam. Di ujungnya, terbuka sebuah aula besar. Puluhan murid sedang latihan. Ada yang melempar pisau, ada yang menyusun jebakan, ada juga yang membaca mantra tanpa suara.

Salah satu dari mereka menoleh. Seorang anak laki-laki berambut merah menyeringai.

"Pendatang baru?" tanyanya.

Rayzen tidak menjawab.

Anak itu mendekat. Wajahnya penuh bekas luka kecil, matanya menyala liar. "Kalau mau bertahan di sini, kau harus tahu aturan."

Rayzen memiringkan kepala.

"Dan kalau aku tidak mau?"

Senyum anak itu melebar. "Maka kau akan—"

Rayzen muncul di belakangnya dalam satu detik. Tubuh anak itu terlempar ke tanah tanpa sempat menyelesaikan kalimat. Lehernya ditekan, satu inci lagi dari patah.

Semua yang ada di aula mendadak terdiam. Suasana jadi beku.

Rayzen berdiri. Tidak menunjukkan ekspresi. Tidak sombong. Tidak marah. Hanya memperingatkan.

"Aku tidak tertarik dengan aturan kalian," ucapnya pelan. "Jangan sentuh aku."

Beberapa murid mulai berbisik. Tapi tak satu pun berani maju.

 

Luvielle menyaksikan semua itu dari balkon pengawas. Tangannya menggenggam pagar logam erat, tapi bukan karena marah.

Melainkan karena jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Rayzen bukan hanya kuat. Ia terlalu tenang. Terlalu efisien. Dan cara ia bergerak... seperti bukan makhluk yang baru belajar bertarung, tapi makhluk yang pernah menghancurkan dunia lebih dari sekali.

Dan ia masih ingat mimpi semalam.

Tentang Rayzen di singgasana iblis, dengan langit tunduk, dan dewa-dewa menunduk.

Ia menunduk menatap telapak tangannya yang masih bergetar.

"Apa sebenarnya kau...?" bisiknya.

Di saat yang sama, di dalam tubuh Rayzen, bekas sihir kontrak membara pelan. Ia bisa merasakan emosi Luvielle dari kejauhan. Rasa takut. Rasa penasaran. Dan sesuatu lagi yang samar-samar…

Ketertarikan.

Rayzen menarik napas pelan.

Ia tahu. Ikatan itu akan jadi masalah.

Tapi mungkin, tidak sebesar masalah yang sedang tumbuh di dalam akademi ini.

Karena ia bisa mencium aroma... pembunuh lain yang sedang mengamati.

Dan seseorang... yang tahu bahwa ia bukan manusia.

Akademi Rahasia Pembunuh tidak mengenal kata "orientasi". Hari pertama, semua murid baru langsung dilempar ke arena uji fisik. Bukan untuk latihan. Tapi untuk bertahan.

Rayzen berdiri di tengah lingkaran batu besar. Di sekelilingnya, ratusan pasang mata menatap. Beberapa dengan rasa ingin tahu. Sebagian lain dengan senyum sinis. Tapi yang paling banyak... waspada.

Di sisi seberang arena, lawannya maju. Seorang murid senior dari Kelas Hitam. Bertubuh tinggi, mata tajam, dan memegang dua pisau lengkung. Wajahnya dipenuhi bekas luka, dan senyum kecil di bibirnya terasa lebih seperti ancaman daripada ramah-tamah.

Namanya Calven. Dikenal sebagai salah satu murid paling haus darah di akademi.

"Inilah tradisi Kelas Hitam," ucap pelatih yang berdiri di tepi arena. Suaranya keras dan datar. "Murid baru harus membuktikan nilainya. Jika kau kalah, keluar. Jika menang, kau boleh bertahan."

Rayzen tidak menanggapi. Ia berdiri tenang, tangannya tetap di samping tubuh.

Calven tersenyum, lalu melesat secepat kilat.

Dalam satu detik, ia sudah di depan Rayzen. Pisau kanannya mengarah ke leher. Pisau kiri ke perut.

Tapi Rayzen tidak bergerak. Ia hanya memiringkan kepala.

Dua pisau itu meleset, lalu terhempas ke tanah seperti dilempar oleh kekuatan tak terlihat. Calven terpental ke belakang. Tubuhnya meluncur tiga meter dan membentur dinding arena.

Semua orang terdiam.

Calven berdiri pelan, wajahnya kotor oleh debu. Tapi ia tidak menyerah. Ia berteriak dan kembali menyerang, kali ini lebih cepat, lebih brutal, lebih liar. Tapi Rayzen tetap tidak bergerak.

Dan dalam satu kedipan mata...

Calven berhenti.

Tubuhnya membeku. Pisau-pisau itu terlepas dari tangan.

Keringat dingin mengucur di pelipisnya.

Ia menatap Rayzen, dan hanya melihat... bayangan. Bukan bayangan tubuh. Tapi bayangan hitam besar yang menjulang tinggi di belakangnya. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Sosok besar dengan tanduk melengkung dan mata menyala ungu.

Calven mundur setapak. Lalu satu lagi.

"Apa... apa itu..." gumamnya.

Rayzen akhirnya membuka mulut. Suaranya datar. Tak lebih dari bisikan.

"Kau sudah cukup."

Calven terjatuh. Bukan karena diserang. Tapi karena kakinya sendiri menyerah. Ketakutan itu tidak rasional. Tapi nyata. Seolah tubuhnya tahu... satu langkah lagi, jiwanya tidak akan kembali.

Pelatih di sisi arena melambaikan tangan.

"Pertarungan selesai. Pemenangnya: Rayzen."

 

Dari balkon pengawas, Luvielle menyaksikan semuanya. Ia mencoba tetap tenang, tapi jantungnya berdetak terlalu cepat. Ini bukan pertarungan biasa. Ini bukan sekadar kemenangan.

Itu... dominasi.

Rayzen tidak hanya menang. Ia membuat lawannya tidak bisa lagi menatap mata siapa pun di arena.

Dan lebih dari itu... ia melihatnya. Untuk sesaat. Sosok di belakang Rayzen.

Tinggi. Besar. Mata ungu menyala. Dan tanduk melengkung... sama seperti deskripsi legenda kuno.

Luvielle menelan ludah. Tangan kirinya bergetar. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan apa yang mungkin dirasakan semua manusia ketika berhadapan dengan ras iblis.

Takut.

Tapi entah kenapa, perasaan takut itu tidak datang karena Rayzen akan menyakitinya. Justru sebaliknya. Ia takut... karena dirinya sendiri sedang mulai tertarik pada makhluk itu.

 

Sementara itu, di ruangan rahasia di lantai paling bawah akademi, seorang pria bertudung membaca gulungan sihir kuno. Cahaya merah menari di udara. Simbol-simbol tua muncul, lalu lenyap.

"Satu-satunya yang bisa membuat kontrak iblis terbalik hanyalah... penguasa dimensi iblis pertama," gumamnya.

Ia mengangkat kepala, dan dari balik jubahnya terlihat mata yang tidak manusiawi.

"Rayzen Valcirion... tidak seharusnya hidup kembali."

 

Rayzen kembali ke asramanya malam itu. Ia tidak lelah. Tidak juga puas. Yang ia rasakan hanya satu hal: dunia ini terlalu cepat menunjukkan wajah aslinya.

Ia membuka jendela kecil. Angin dingin dari gua bawah tanah masuk pelan.

Dan tanpa ia sadari, Luvielle berdiri di koridor seberang, memperhatikan dari jauh. Matanya tidak lagi memancarkan arogansi. Tapi... bingung. Bimbang. Dan penasaran.

Bukan pada kekuatan Rayzen.

Tapi pada hati Rayzen yang tetap tenang di tengah semua kekacauan.

"Apa kau benar-benar ingin hidup damai?" bisiknya lirih. "Atau kau hanya pura-pura... agar tidak meledak?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel