Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 3

"Apa kau tidak mengerti!" suara Kenzo memekakkan telinga. "Dengar baik-baik, mulai hari ini kau tidak diizinkan keluar dari mansion ini tanpa izinku! Kau akan tetap di sini, mengerti?!" Kata-kata itu diucapkannya dengan nada yang menunjukkan tidak ada ruang untuk bantahan.

Wajah Arneta memerah, rasa frustrasinya memuncak. "Kenapa begini? Aku punya banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan! Kau juga tahu aku kembali ke New York karena pekerjaan. Kau tidak bisa menahanku seperti ini!" Balasnya dengan suara bergetar, mencoba mempertahankan posisinya. Tetapi dalam hatinya, rasa takut dan kemarahan bercampur menjadi satu, membakar kesabarannya perlahan.

Kenzo tersenyum licik saat mendengar jawaban Arneta, tatapannya menusuk langsung ke dalam jiwa wanita yang berdiri tepat di hadapannya. "Eeemmm," rintih Arneta dengan nada menyayat, kesakitan memuncak saat Kenzo mencengkeram dagunya dengan genggaman yang kuat dan tak kenal ampun. Ketegangan mengisi udara, menyisakan aura ketakutan yang pekat.

Mata Kenzo menatap tajam kearah manik mata Arneta "Dengar Arneta! semua mimpimu harus kau buang jauh-jauh, wanita sepertimu tak pantas membicarakan masa depan setelah kamu merengut nyawa kakakmu!" ucap Kenzo dengan nada penuh penghinaan.

Arneta menarik napas dalam-dalam, berusaha keras untuk tidak menangis di hadapan Kenzo yang begitu kejam. "Mengapa kamu begitu tega? kecelakaan itu sudah takdir Tuhan! kenapa kau selalu menyalahkanku dan menyiksaku seperti ini," desahnya dengan suara serak, berusaha keras menahan sakit yang terasa di dagunya yang masih tergenggam oleh Kenzo.

Wajah Arneta pucat, matanya berkaca-kaca mencoba untuk tetap kuat, namun suara hatinya bergetar karena ketakutan. Kenzo hanya tersenyum sinis, menikmati rasa takut yang berhasil ia timbulkan.

"Karena aku bisa, Arneta. Dan tak ada yang bisa menghentikan ku," jawabnya dingin. Arneta merasa seakan berada di tepi jurang, putus asa. Kenzo kemudian melepaskan genggaman tangannya, mendorong Arneta sedikit ke belakang.

Dia tersungkur lemah tanpa daya, menatap Kenzo dengan pandangan yang hancur. "Ingatlah, tak ada tempat untukmu di dunia ini yang bisa membuatmu merasa aman dari ku. kau sudah merenggut kehidupan Rea, bukan hanya itu! Rea seharusnya bisa merasakan menjadi seorang ibu namun karena mu dia kehilangan segalanya! jadi kau juga harus merasakan seperti apa kehilangan segalanya, " bisik Kenzo sebelum berbalik meninggalkan Arneta yang terduduk lemas di lantai, menatap kepergiannya dengan hati yang terkoyak.

Air mata Arneta jatuh tak bisa lagi terbendung, Arneta memeluk lututnya dengan punggung yang bergetar hebat. Kenzo memang masih belum menerima kepergian Reani yang begitu mendadak, Kenzo begitu mencintai istrinya bahkan ia tak membiarkan siapapun melukai istrinya. Kenzo akan memberi pelajaran pada siapapun yang berani melukai Reani, termasuk Arneta.

Entah berapa lama Arneta menangis, namun tangisnya terhenti karena mendengar suara ketukan pintu dari luar. Arneta mendongakkan kepalanya dan saat itu ia melihat kepala pelayan masuk kedalam.

"Maaf Nona, saya kemari karena Tuan Kenzo memintaku mengambil semua barang-barang elektronik milik anda,"

"Apa?" Ucap Arneta dengan lemah.

Arneta terkejut, matanya yang sembab karena menangis tiba-tiba terbuka lebar mendengar permintaan itu. Ia mengusap air matanya dengan tangan yang gemetar sembari berdiri, dan mencoba mencerna situasi yang terjadi.

"Mengambil semua barang elektronikku?" tanyanya, suaranya patah dan lemah.

Kepala pelayan itu mengangguk dengan sungkan, "Maaf, Nona Arneta. Itu perintah langsung dari Tuan Kenzo. Beliau mengatakan anda tidak boleh menggunakan telepon atau laptop untuk sementara waktu."

Arneta menarik nafas dalam-dalam, mencoba menstabilkan emosinya yang bergejolak. Rasa sakit dan pengkhianatan memenuhi hatinya, menambah luka di hati yang telah terluka. "Baiklah, silakan ambil saja," ucapnya dengan suara yang sudah hampir tak terdengar, menunjuk lemah ke arah meja di mana ponsel dan laptopnya berada.

Sambil menonton kepala pelayan mengumpulkan barang-barangnya, Arneta merasa seolah-olah sebagian dari dirinya sedang diambil paksa. Setiap detik terasa seperti jam, dan dengan setiap barang elektronik yang diambil, seolah-olah Kenzo mengambil bagian dari kebebasannya. Sudut bibirnya bergetar, menahan diri untuk tidak menangis lagi di depan orang lain, namun matanya tidak bisa berbohong tentang kepedihan yang dia rasakan.

'Dia benar-benar ingin mengambil seluruh hidupku,' batin Arneta.

setelah mengambil semuanya kepala pelayan menatap Arneta dengan sorot mata yang terlihat perduli. "Tuan sebenarnya orang yang baik, namun semenjak kepergian Nyonya Rea Tuan menjadi berubah, saya yakin jika Nona Arneta bisa mengambil hati Tuan, Tuan pasti akan memperlakukan anda dengan baik," tuturnya dengan lembut.

mendengar itu Arneta hanya bisa memaksakan senyumnya, "aku tak akan berharap banyak pada lelaki sepertinya," ucap Arneta.

Kepala pelayang hanya bisa menatap prihatin pada Arneta, lalu ia memberikan pakaian yang dia bawa. "ini, Tuan ingin anda memakai seragam ini dan membersihkan mansion."

Arneta menatap seragam pelayan di tangan nya, lalu ia menghela nafas berat, ketika kepala pelayan keluar Arneta melempar seragam itu dengan berteriak mengeluarkan kemarahanya.

"Apa kau menikahiku hanya untuk menyiksaku!!" teriak Arneta dengan frustasi.

~~~~

Kenzo duduk di ruang kerjanya dengan sorot mata yang terlihat sedih, tangan kirinya memegang sebuah bingkai foto yang selalu terpajang rapi di meja kerjanya.

"Reani..." lirihnya, Kenzo menarik nafasnya ia benar-benar merindukan sosok istrinya yang selalu berbuat lembut padanya.

tok!

tok!

Pintu terbuka, sekertarisnya masuk dengan wajah tegang "Maaf Pak, semua orang sudah berkumpul di ruang rapat,"

Kenzo tak bergeming, ia masih menatap foto Reani beberapa saat, tanpa berucap Kenzo meletakan foto Reani di atas meja lalu ia melangkah keluar ruang kantornya.

Sore harinya Arneta terlihat sedang membersihkan rumput liar di area taman, ia mencabut rumput liar yang tumbuh di sekitaran bunga-bunga indah yang terlihat bermekaran dengan cantik.

Arneta mengusap keningnya yang berkeringat, Arneta memang wanita yang mandiri, namun ia tak pernah mengerjakan pekerjaan kasar seperti ini, Arneta menengadah keatas, walaupun jam sudah menunjukan pukul 4 sore, namun matahari masih terasa terik dan seperti membakar kulit Arneta.

"Sampai kapan aku harus melakukan semua ini," lirihnya.

Sejak pagi Arneta benar-benar bekerja dengan keras, ia melakukan berbagai pekerjaan atas perintah Kenzo. walaupun Kenzo tidak ada dirumah namun ia selalu mengawasi dari Cctv.

"Arneta kau pasti bisa," ucapnya mencoba menyemangati dirinya sendiri. "Aaaa!" namun ketika ia mencoba bersemangat, tiba-tiba ia melihat ulat bulu yang bersembunyi di bawah daun, Arneta yang takut langsung berteriak dan menjauh dari daun tersebut.

"Hah! mengagetkan saja!" Arneta segera berdiri, ia merasa geli dengan binatang berbulu itu. "bagaimana cara mengusirnya," Arneta menatap sekeliling namun tak melihat siapapun untuk di mintai tolong.

lalu ia mengambil ranting kecil namun ketika hendak menyentuh ulat itu dengan ujung rantingnya ia merasa geli dan jijik "aahh aku tak berani!" Arneta membuang ranting itu dengan badan yang bergidik. Arneta masih berdiri dengan kedua tangan yang berkacak pinggang, Arneta menatap ulat bulu yng sedang menggeliat dengan rasa jijik.

"Apa begini caramu bekerja! dengan bermalas-malasan!" ucap Kenzo yang tiba-tiba berdiri di belakang Arneta.

Arneta terpaku, jantungnya berdebar kencang ketika mendengar suara Kenzo yang nampak jelas di belakangnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel