Pustaka
Bahasa Indonesia

Derita Menikah dengan Kakak Ipar

48.0K · Tamat
One_star
50
Bab
2.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Dengan rasa benci Kenzo terpaksa menikahi Arneta, alasan Kenzo menikahi Arneta hanya untuk membuat adik iparnya itu menderita. Arneta merupakan adik ipar Kenzo, namun karena sebuah kecelakaan kakak Arneta yang berstatus istri Kenzo harus meregang nyawa. dan hal itu membuat Kenzo membenci Arneta dan selalu menyalahkan kematian Istrinya pada Arneta. karena itu Kenzo menikahi Arneta hanya untuk membuatnya menderita seumur hidup.

PresdirDewasaLove after MarriageTuan MudaPsikopatLicik

bab 1

"Inikah nasibku ... menikahi kakak iparku sendiri?" isak Arneta dengan meremas gaun pengantin milik kakaknya, Reani. Yang kali ini justru tengah dia kenakan. dan sialnya terlihat begitu menyedihkan saat ia kenakan.

Arneta menatap dirinya dari pantulan cermin, hatinya terasa diremas saat melihat gaun yang ia kenakan itu. "Maafkan aku Kak Rea..." Lirihnya.

Arneta menundukkan kepalanya, rambut hitam panjangnya yang terurai menutupi wajahnya yang memerah karena malu dan sedih. Isak tangisnya semakin menjadi, air mata mengalir deras membasahi pipinya. Gaun putih yang kini ia kenakan rasanya berat, seakan menegaskan penderitaannya.

Kenzo, dengan langkah yang mantap, mendekat dan berdiri tepat di depan Arneta. Dia menatap Arneta dengan dingin, "Reani tampak anggun dan mempesona di dalam gaun ini saat itu, tapi kamu, kamu hanya merusak keindahannya." Suara Kenzo terdengar begitu tegas dan penuh kekecewaan.

Arneta semakin terisak, dia mencoba untuk berbicara namun hanya suara tercekat yang keluar dari bibirnya yang bergetar. Kenzo menghela napas dengan keras dan berbalik meninggalkan Arneta sosok adik ipar yang kini harus di nikahinya. Arneta terduduk lemah di lantai, dengan gaun pengantin yang seharusnya menjadi simbol kebahagiaan, kini justru menjadi saksi bisu atas kesedihannya.

Di kejauhan, Kenzo berhenti sejenak dan menoleh sekilas ke arah Arneta, matanya terlihat berkilat, seolah ada perang antara rasa kasihan dan kebencian. Namun, dia memilih untuk terus berjalan, meninggalkan Arneta sendiri dengan bayangan kakaknya yang masih begitu kuat dalam memori.

Arneta melangkah dengan pelan, kakinya hampir tak mampu menopang tubuhnya sendiri, Papa yang setia mendampingi di sisi kiri memberi dukungan. Gaun pengantinnya yang putih melambai-lambai lembut mengikuti setiap langkahnya, tapi mata Arneta yang sembab terus meneteskan air mata. Sungguh, dia tidak bisa menghentikan tangisannya.

Di ujung altar, Kenzo menunggu dengan tatapan tajam yang menusuk langsung ke arah Arneta. Wajahnya datar, tanpa perasaan, seolah-olah dia adalah patung yang hanya bisa bernapas. Dalam hatinya, Kenzo menggumamkan janji pahit, 'Akan kubuat kau menderita, Arneta!'

Saat Arneta tiba di altar, tangannya gemetar saat Papa melepaskan genggamannya dan menyerahkan tangannya ke tangan Kenzo. Kenzo memegang tangan Arneta dengan erat, tapi tidak ada kehangatan di sana, hanya dingin yang menusuk tulang. Suara organ gereja menggema memenuhi ruangan, tapi bagi Arneta, itu terdengar seperti melodi duka yang menyertai langkah menuju penjara emosi yang akan ia hadapi.

Arneta meringis saat Kenzo meremas tanganya dengan erat, seakan ia bisa mematahkan tangan Arneta.

Sorot mata Kenzo menatap tajam kearah Arneta, seakan ia bisa menguliti Arneta. 'sakit...' ucap Arneta didalam hatinya saat Kenzo masih meremas tanganya.

Ketika harmoni acara sakral itu mencapai puncaknya, tepuk tangan gemuruh memecah kesunyian, diselingi sorakan riuh para tamu yang meminta kedua pengantin untuk berciuman.

Namun, dalam suasana penuh kebahagiaan itu, Kenzo memberikan senyuman sinis kepada Arneta. Mata mereka bertemu, membawa aura yang berbeda. Secara tiba-tiba, Kenzo menarik Arneta mendekat, genggamannya di pinggang Arneta semakin mengencang, menimbulkan rasa sakit yang terselip di antara kelegaan tawa dan sorai tamu.

Jantung Arneta berdegup bukan karena gugup menyambut hari bahagia mereka, melainkan karena rasa sakit yang semakin nyata akibat genggaman kasar Kenzo. Setiap detik, rasa cemas semakin menguat, menyelimuti hari yang seharusnya berbahagia ini dengan bayangan kelam.

Kenzo mendekatkan wajahnya pada Arneta, seketika Arneta langsung memejamkan matanya. Kenzo sedikit memiringkan kepalanya, namun saat bibir mereka hampir bersentuhan Kenzo menghentikan pergerakan.

"Jangan berharap setelah ini kau bisa hidup tenang" suara serak Kenzo terdengar jelas di telinga Arneta. Perlahan mata Arneta terbuka, ia menatap wajah Kenzo yang begitu dekat denganya.

Pandangan mata mereka berdua bertemu, membuat Arneta membeku di tatap Kenzo setajam itu. "Kau sudah membunuh Reani!! Maka kau harus membayar semuanya!!" Tegas Kenzo, ia tersenyum lalu menjauhkan tubuhnya dari Arneta.

Arneta masih menatap Kenzo, sementara Kenzo terlihat tersenyum pada para tamu yang datang, Kenzo juga melambaikan tanganya, seakan-akan ia bahagia dengan pernikahan ini.

Air mata Arneta kembali jatuh, namun ia segera mengusapnya, ia lalu mengeser tubuhnya menghadap para tamu.

****

Ketika acara itu berakhir, Arneta duduk termenung di kamar hotel nya. "Apa kau bahagia?" Tanya Sang Mama yang berjalan mendekatinya.

Arneta menoleh pada Ibunya, ia tau ibunya masih kecewa padanya, Ibunya juga menyalahkan Arneta atas kepergian Reani.

"Mama,"

"Harusnya Kenzo masih menjadi suami Reani! Tapi kenapa ... Kenapa dia harus menikah denganmu!!" Tangisan Sang Mama pecah, ia tak pernah membayangkan jika anak bungsunya akan menikah dengan laki-laki yang sudah menjadi menantunya.

"Maafkan aku Ma ..." Arneta menangis, ia mencoba meraih tangan Ibunya namun ibunya menepis tanganya dengan kasar.

"Mama kecewa padamu," ucapnya dengan pergi meninggalkan Arneta.

Arneta menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya ia menangis. Bahkan di saat seperti ini tak ada yang mencoba mengerti perasaannya. "Aku juga kehilangan Rea ... Aku ..." suara Arneta tercekik di tengorokan. Ia hanya bisa menangis untuk meluapkan perasaan hatinya yang hancur. Sungguh Arneta tak ingin kecelakaan itu terjadi.

Tok!

Tok!

Dengan denyut nadi yang semakin cepat, Arneta menahan nafas saat suara ketukan pintu itu terdengar. Di tengah gundah yang membelenggunya, ia segera menghapus air mata yang baru saja mengalir.

Langkah kakinya yang gentar membawanya mendekat ke pintu. Pintu itu terbuka, dan sesosok lelaki berbalut setelan hitam melangkah masuk. "Tuan Kenzo memintaku untuk menjemput Anda," ujarnya dengan suara yang menggetarkan saraf.

"Tunggu sebentar, aku akan berganti pakaian," kata Arneta dengan tergesa-gesa. Dengan hati yang berdebar, Arneta meninggalkan gaun putihnya yang tak lagi bersih karena air mata, dan memilih busana yang lebih sederhana.

Setiap detik berlalu seperti jam bagi Arneta yang ketakutan, takut kemarahannya Kenzo akan bertambah buruk jika ia terlambat.

Langkah Arneta mendekati pintu terasa semakin berat, seolah membawa seluruh dunia di pundaknya. Lelaki berbalut hitam itu tanpa diminta membantu mengambil koper yang ia tarik. Mereka berdua berjalan, dan Arneta pun mengikuti, menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya dalam perjalanan yang misterius ini.

Lelaki itu membukakkan pintu mobil ketika mereka tiba di depan lobby, Arneta langsung masuk kedalam namun ia tak melihat sosok Kenzo didalam mobil itu.

Bahkan saat mobil itu mulai bergerak, Arneta masih belum menemukan keberadaan Kenzo. "Dimana lelaki itu?" Batin Arneta.

Mobil itu melaju kencang, menerobos sepinya jalanan kota New York yang terhampar luas di malam hari. Arneta meringis, merasakan betisnya yang begitu sakit dan kaku. Hatinya berharap sejenak bahwa ia akan bisa beristirahat untuk mengusir rasa lelah yang telah memeluknya rapat.

Namun, segala harapan itu seakan terkoyak saat mobil berhenti di depan mansion mewah milik Kenzo. Dengan langkah gontai, Arneta melangkah mendekati pintu.

Namun, Kenzo tidak memperkenankannya masuk. Sebaliknya, dengan suara yang dingin dan tanpa empati, Kenzo berkata, "Kuberi kau hadiah, anggap saja ini sebagai hadiah pernikahan kita."

"Hadiah?" Arneta mengulang dengan nada yang sarat kebingungan dan perasaan terluka.

"Untuk malam pertama kita, kubebaskan kau menikmati malammu sendiri, jadi tetaplah berada di luar dan nikmatilah malammu!" tutur Kenzo dari ambang pintu, suaranya seolah menusuk hati Arneta tanpa belas kasihan.

"Apa maksud—" sebelum Arneta sempat menuntaskan pertanyaannya, Kenzo sudah dengan kasar menutup pintu di hadapannya. Begitu pintu ditutup, Arneta terpaku di depan mansion yang berdiri megah namun kini terasa lebih dingin dari hembusan angin malam.