Bab 17 Rindu
Bab 17 Rindu
Derasnya air hujan yang sejak siang tadi turun tidak juga berhenti, mega kuning yang berkilauan tidak akan nampak lagi. Keheningan dan kebekuan menyelimuti setiap ruangan di apartemen yang sudah lama tidak berpenghuni.
Zio tengah berdiri memandang kota melalui kaca di apartemennya, hari ini ia sengaja akan tinggal di apartemen yang sudah lama dia abaikan. Berdiri mematung, memikirkan apa yang telah terjadi dalam hidupnya. Pandangannya menerawang, kedua tangannya ia masukkan ke dalam kantong celana dengan gagah.
"Apakah aku benar-benar tidak peduli lagi siapa orang tua kandungku?" gumam Zio dalam lamunannya.
Zio memang terlihat tidak peduli dan tidak ingin tahu tentang masa lalunya, tentang siapa orang tuanya? Apa yang terjadi pada keluarganya? Alasan apa yang membuatnya sampai hidup di tengah hutan sejak masih bayi? Apakah orang tuanya membuangnya dan berharap dia mati?
Begitu banyak pertanyaan yang sebenarnya selalu mengusik hatinya. Ia ingin mencari semua jawaban dari setiap pertanyaan itu, namun hatinya merasa ragu dan juga takut. Dia merasa takut jika ternyata kenyataan tidak memihaknya, takut akan pahitnya kehidupan masa lalunya melebihi pahitnya ketika hidup di dalam hutan seorang diri.
Zio menghela napas panjang, menghembuskannya secara perlahan, mencoba mengusir pikiran buruknya.
"Untuk apa aku berpikir sejauh itu jika saat ini pun aku sudah merasa bahagia dengan kehidupanku yang baru. Lalu, apa lagi yang aku inginkan?" gumam Zio pada dirinya sendiri.
Tidak bisa dipungkiri, hatinya merasa gundah meskipun kini hidupnya terbilang sempurna. Bagaimana tidak? Zio bukanlah anak kandung dari Sanders dan Sania. Tapi pasangan itu sangat menyayangi Zio seperti anak kandungnya sendiri. Jika dilihat dari kehidupan Zio yang sebelumnya, apa itu bukanlah sebuah keajaiban? Seorang Zio, pemuda lusuh, liar, dan bahkan terbilang menakutkan, bisa dihormati begitu banyak orang hanya karena menjadi anak angkat dari Sanders. Lalu, apalagi yang Zio inginkan? Bukankah hidupnya sangat sempurna? Harta yang berlimpah, kehormatan yang agung, dan kasih sayang yang tulus. Semua itu sudah Zio dapatkan dari keluarga Sanders.
Namun, sebahagia apa pun kehidupan seseorang, jika seumur hidupnya tidak tahu siapa yang melahirkannya, apakah perasaan rindu itu tidak akan ada? Tentu tidak! Sama seperti yang Zio rasakan. Sesempurna apa hidupnya jika dia sendiri tidak tahu asal usulnya yang sebenarnya, hatinya tetaplah merasa hampa.
Setelah mendengar keluhan Naya tempo hari tentang kerinduannya pada ibunya yang sejak Naya berumur 10 tahun meninggalkannya, membuat hati Zio sedikit tergelitik. Jika Naya saja merasa rindu akan sosok itu padahal hanya 10 tahun bersamanya, lalu apa Zio tidak merasakan hal yang sama padahal ia tidak pernah mendapat kasih sayang itu sejak masih bayi?
Meskipun ia tidak tahu seperti apa sosok ibu kandungnya, namun hatinya selalu bertanya-tanya, seperti apa ibunya? Apakah ia selembut Naya? Apa ia sebaik Naya? Apa ia juga menyayangi Zio melebihi rasa sayang Naya padanya? Pertanyaan itu selalu muncul sejak ia mengenal Naya sewaktu masih hidup di hutan. Namun, sampai saat ini pun tidak ada satu pertanyaan yang mampu ia dapatkan jawabannya.
Zio tahu kalau Sania juga sangat menyayanginya, tapi entah kenapa hatinya tetap merasa masih ada yang kosong, seakan mengharapakan agar kekosongan itu terisi oleh kenyamanan seorang ibu yang telah melahirkannya.
Zio tersadar dari lamunannya ketika pintu apartemennya diketuk. Dia segera beranjak hendak membukakan pintu. Dilihatnya sosok yang baru ia pikirkan telah berdiri di depan pintu dengan senyum penuh kehangatan.
"Bunda, ke sini dengan siapa?" tanya Zio sambil kepalanya melongok ke luar, mencari seseorang yang mungkin bersama dengan Sania.
"Bunda sendiri," jawab Sania seraya masuk menyongsong tubuh Zio yang masih di ambang pintu.
"Sendiri Bun?" Zio merasa curiga dengan tingkah ibunya. Biasanya Sania tidak pernah pergi sendiri, jika tidak bersama Sanders, ia akan pergi bersama Pak Sabar, sopir pribadi mereka.
"Jangan menatap Bunda seperti itu, memangnya Bunda tidak boleh pergi sendiri, begitu?"
"Hanya merasa aneh saja, tidak biasanya Bunda sendiri, kan?"
"Bunda cuma lagi ingin pergi sendiri."
Zio mengertukan keningnya, merasa ada yang tidak beres dengan ibunya saat ini. Hujan di luar masih belum reda, tapi kenapa ibunya pergi ke apartemen Zio seorang diri? Apa ayahnya akan membiarkan begitu saja?
Baru saja Zio selesai berpikir dan ingin menanyakannya pada Sania, tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Ayah muncul di layar ponselnya. Zio semakin merasa ada yang aneh dengan mereka berdua.
"Bun, lihat siapa yang menelponku."
Zio menyodorkan ponselnya kepada Sania yang tengah duduk di sofa dengan wajah ditekuk.
Sania menatap nama itu, ia memalingkan mukanya. "Jika dia bertanya tentang Bunda, jawab saja tidak tahu," kata Sania acuh.
"Halo Ayah, ada apa?" Zio menempelkan benda itu di telinganya dengan ragu.
"Zio, apa Bundamu di sana sekarang?" tanya Sanders dari balik telepon dengan suara yang terdengar khawatir.
"Memangnya kenapa, Yah? Kenapa Ayah begitu panik?"
"Nanti Ayah ceritakan, yang penting sekarang jawab Ayah dulu. Apa Bunda sedang bersamamu?" tanya Sanders dengan gusar.
"Ti … tidak Yah, Zio sendiri," jawab Zio terbata karena pelototan mata Sania hampir mengiris jantungnya.
"Oh, ya sudah! Ayah cari Bunda dulu, tolong kamu hubungi Bunda juga, tanya di mana dia. Sejak tadi Ayah menelponnya tapi tidak dia angkat," kata Sanders mengakhiri panggilan.
Zio mendesah, ditatapnya Sania yang masih acuh.
"Bun, kenapa? Bertengkar dengan Ayah?" tanya Zio lembut.
"Tanyakan saja pada Ayahmu."
"Apa Ayah membuat Bunda kesal?"
Sania melirik, menatap putranya sejenak.
"Bagaimana mungkin Ayah bisa membuat Bunda sampai seperti ini? Dia pasti akan menyesal Bun," ujar Zio dengan menunjukkan wajah ikut kesal, meskipun dia tidak tahu masalahnya. Namun, Zio yakin, pasti masalah yang terjadi di antara mereka saat ini hanyalah masalah sepele. Karena sudah menjadi kebiasaan bagi pasangan yang sudah tua itu bermain-main seperti anak muda. Zio sudah sangat paham.
Suara ketukan pintu mengagetkan mereka, Zio segera beranjak membukakan pintu. Sanders sudah di depan pintu dengan kesal, melotot ke arah Zio. Zio hanya meringis mendapat tatapan itu dari Ayahnya.
"Ayah, bagaimana Ayah tahu kalau Bunda di sini?" bisik Zio agar tidak terdengar oleh Sania.
"Ayah sudah tahu kamu berbohong, pasti Bunda yang menyuruhmu, kan?"
"Ayah, aku harap semuanya segera selesai, aku tidak ingin bunda tidur di sini malam ini."
"Ayah tahu apa yang harus Ayah lakukan, kamu tinggal membantu Ayah saja membumbui omongan Ayah nanti, agar hati Bundamu cepat meleleh," bisik Sanders mencoba membuat Zio mengerti.
"Siap Ayah, tapi sebelum itu, Zio mau bertanya. Kali ini masalahnya apa? Lebih serius dari masalah nama burung kemarin?" tanya Zio penasaran.
"Menurut Ayah, kali ini memang sangat fatal, bisa jadi kemarahan Bunda akan lebih lama jika Ayah tidak berjuang keras," kata Sanders sambil berpikir.
"Baik kalau begitu, Zio pasti akan membantu Ayah sampai titik darah penghabisan."
"Bagus! Ayo kita lakukan, berjuang Zio," kata Sanders sambil mengepalkan tangannya ke udara, membuat gerakan perjuangan untuk menyemangati dirinya dan juga Zio.
Mereka berdua melangkah dengan penuh keyakinan, memasuki ruangan di mana Sania tengah duduk dengan bibir manyun dan wajah penuh kekesalan. Pertarungan akan segera dimulai.
