Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 15 Kemarahan Kevin

Bab 15 Kemarahan Kevin

"Apa kamu bodoh hah?! Mau mencoba melawanku?!" teriak Kevin pada Saira.

Setelah kejadian semalam, laki-laki itu menelpon Kevin dan menceritakan apa yang terjadi padanya. Dia merasa tidak terima dengan penghinaan Zio sehingga membuat masalah lagi dengan Kevin, berharap Kevin akan membalaskan dendamnya pada Zio yang telah menghina dirinya.

Menebus Saira dengan uang yang lebih tinggi ternyata tidak membuat laki-laki itu diam, bukannya senang tapi malah mencoba mencari masalah. Sepertinya dia tidak akan melepaskan Saira begitu mudah.

"Maaf Kak, tapi aku tidak bisa melakukan itu," bisik Saira dalam tangisnya.

"Lalu apa yang kamu bisa hah?! Apa kamu tidak sadar, selama hidupmu hanya akan membuat kami susah, kamu dan Adikmu itu memang sumber malapetaka bagi keluarga kami!" Kevin terus meneriaki Saira dengan keras, bahkan kata-kata kasar sudah dia lontarkan, emosinya semakin tidak terkendali.

"Tapi Kak, Kak Zio sudah menebusku dengan jumlah yang lebih besar, apa yang harus diributkan lagi?" tanya Saira.

"Apa kamu pikir semudah itu bisa lepas dari orang yang berambisi seperti si tua itu?"

"Apa maksud Kakak?"

"Akan kuberitahu. Dia sangat menyukaimu semenjak pertama kali melihatmu di club tempat kamu bekerja, dia datang mencariku dan memintamu untuk dijadikan istri simpanannya. Kupikir baik juga jika kamu pergi dari keluarga kami, jadi aku mengiakan saja ketika dia menawarmu, tapi tidak kusangka, kamu malah membuat masalah menjadi semakin besar, apalagi sampai berani melibatkan kakak Zio mu itu," jelas Kevin santai namun penuh emosi yang tertahan.

"Kenapa Kakak setega itu padaku? Sebegitu bencinya kah, Kakak?" Saira mulai terisak.

"Iya, aku memang sangat membencimu, dan bahkan berharap kamu segera pergi dari kehidupan kami," kata Kevin tajam, tepat di telinga Saira.

"Apa salahku, Kak?"

"Salahmu karena kamu datang di keluargaku, dan kamu salah satu alasan kenapa Ayah bisa meninggal," lirih Kevin, kejadian 10 tahun yang lalu kembali terulang di dalam otaknya.

"Maksud Kakak apa? Bukankah sejak bayi aku memang sudah ada di keluarga ini?" Saira tidak mengerti dengan ucapan Kevin.

"Apa kamu pikir kamu adalah anak kandung Ayah dan Ibu? Asal kamu tahu, kamu dan Adikmu hanyalah anak pungut yang di kasihani Ayah waktu itu."

"Kak Kevin bohong." Saira tertawa sumbang dengan air mata yang masih mengalir.

"Tanyakan saja pada Ibu jika tidak percaya padaku," kata Kevin tajam, dia segera pergi meninggalkan Saira yang masih membisu, karena mendadak ponselnya berdering.

'Apa benar aku bukan anak kandung Ayah dan Ibu? Lalu siapa aku?' batin Saira tersayat.

Dia tidak ingin memercayai perkataan Kevin dengan mudah, bisa jadi itu hanya emosi sesaat Kevin hingga membuatnya berbicara yang bukan-bukan. Saira terus meyakinkan dirinya sendiri bahwa perkataan Kevin pasti bukanlah yang sebenarnya. Dia harus mencari tahu apa yang terjadi pada keluarganya di masa lalu sampai membuat Kevin begitu membencinya.

"Halo Kak Zio, ada apa?" tanya Saira ketika panggilan Zio menyadarkan lamunannya. Diusapnya air mata yang masih membasahi kedua pipinya.

"Bagaimana keadaanmu? Apa sudah lebih baik?" tanya Zio pelan.

"Aku baik-baik saja Kak, terima kasih kemarin sudah menolongku. Maaf jadi merepotkan Kakak," ucap Saira lirih.

"Tidak masalah, bukankah aku sudah pernah bilang, kapan pun kamu butuh aku, jangan pernah sungkan."

Perkataan Zio cukup membuat hati Saira lebih tenang, hatinya seperti tersiram air es.

"Ra, jangan lupa makan, istirahatlah, dan jaga kesehatanmu," ucap Zio peduli.

Saira terdiam, ada desiran aneh yang tiba-tiba menelusup ke dalam jiwanya. Kepedulian Zio padanya di saat ia merasa sendiri dan begitu terluka membuat hati Saira bergejolak.

Zio memang sudah Saira anggap seperti kakaknya sendiri, namun sedekat apa pun seorang pria dengan wanita meskipun hanya sebatas kakak pasti akan ada kemungkinan perasaan itu berubah seiring berjalannya waktu. Mungkinkah Zio benar-benar hanya seorang kakak bagi Saira? Entahlah.

"Iya Kak, jangan khawatir. Kak Zio, bisakah kita bertemu?"

"Emm ... bisa saja, kebetulan aku lagi di restoran Ayah yang berada di dekat rumahmu."

"Aku ke sana ya."

Setelah sambungan terputus, Saira beranjak dari kamarnya. Mencuci muka, berganti pakaian dan memoles wajahnya dengan sedikit make up agar tidak terlihat pucat akibat menangis semalaman.

Saira keluar dari kamarnya, mencari ibunya. Namun, sosok yang sudah tua itu tidak terlihat di mana pun. Adiknya juga sudah pergi ke sekolah. Saira merasa heran kenapa ibunya pergi tidak memberitahunya, padahal biasanya kalau mau pergi ke mana pun selalu pamit padanya. Apalagi jika mengingat kejadian yang menimpa Saira semalam, dengan karakter ibunya ia pasti akan menunggu Saira dengan khawatir. Namun Saira tidak ingin berpikir negatif, mungkin saja ada sesuatu yang sangat mendesak sehingga tidak sempat memberitahu dirinya. Begitulah pikir Saira.

Saira melangkah memasuki cafe di mana Zio berada, matanya terus berkeliling mencari sosok yang tiba-tiba dia rindukan. Kegagahan Zio saat menolongnya semalam membuat Saira merasa kagum akan sosok Zio yang cuek tapi mempunyai jiwa tulus dan penyayang.

Zio melambaikan tangannya sambil meneriakkan nama Saira setelah melihatnya sedang mencarinya. Saira menoleh, kemudian tersenyum. Dia mendekati meja Zio, dilihatnya ada 2 gelas cappucino di atasnya. Saira tersenyum, hatinya merasa senang karena ternyata Zio sudah menyiapkan satu gelas untuknya.

Belum hilang kepercayaan diri Saira, sosok gadis yang ia kenal juga tengah menghampiri mereka dengan senyum yang sangat cantik. Dia tak lain adalah Kanaya.

"Saira, sudah datang. Silahkan duduk Ra," sapa Naya sambil mempersilakan Saira untuk duduk di sampingnya.

"Kak Naya, sejak kapan Kakak di sini?"

"Apa maksudmu Ra, Naya datang bersamaku. Dia mau kuajak mengunjungi restoran milik Ayah. Bunda juga yang menyuruh." Zio mewakili Naya menjawab pertanyaan Saira. Kemudian menyeruput kopi yang masih panas.

"Oh, begitu. Aku kira Kak Zio sendiri. Kenapa tidak memberitahuku kalau Kakak sedang bersama Kak Naya?" lirih Saira, ada rasa nyeri di dadanya yang tiba-tiba ia rasakan.

"Aku memang sengaja, bukankah kamu sangat menyukainya? Aku cuma ingin membuatmu menjadi lebih terhibur kalau bertemu dengan idolamu. Anggap saja ini adalah kejutan," kata Zio sambil menyipitkan matanya ke arah Naya, membuat Naya merasa malu.

Saira tersenyum kecut, ia hampir lupa menanyakan bagaimana Zio dan Naya saling mengenal, karena Zio belum pernah memberitahu dirinya tentang Naya. Apalagi sewaktu seminar dulu Zio bahkan tidak muncul di depan Naya.

"Kak, bagaimana kalian bisa saling kenal?" tanya Saira memberanikan diri, memuaskan rasa penasarannya karena dilihat dari keduanya, mereka sudah tampak dekat.

"Oh, kita teman lama yang baru bertemu lagi."

"Hanya sebatas itu?" Entah kenapa Saira bisa menanyakan hal itu, jika memang mereka hanya teman lama yang baru bertemu, lalu kenapa sewaktu seminar dulu Zio tidak memberitahu dirinya dan bahkan menghindari Naya?

Saira merasa ada yang aneh dengan Zio dan Naya, semakin otaknya mencoba berpikir semakin pula rasa nyeri merasuki hatinya.

"Kamu akan tahu jika nanti sudah saatnya," bisik Zio di telinga Saira.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel