Bab 12 Kunjungan Pertama
Bab 12 Kunjungan Pertama
Zio merasa kikuk setelah mereka berada di ruang tamu, terlebih saat ayah dan bundanya begitu terlihat sangat menyukai Kanaya.
Ya, siapa yang tidak menyukai sosok seperti Naya, gadis lembut yang sopan, cantik, dan rendah hati itu. Dia juga mempunyai banyak talenta dalam dirinya. Naya selalu bisa membuat suasana lebih hidup, tidak ada kecanggungan dan kebisuan. Mereka tampak seperti sudah lama saling mengenal, padahal ini baru pertama kalinya mereka bertemu. Apalagi Sania, dia merasa lebih cocok dengan Naya karena kesukaan mereka sama, yaitu sama-sama menyukai kuliner.
Zio awalnya merasa sedikit ragu apakah kedua orang tuanya akan menyukai Naya atau tidak, tapi keraguan itu lenyap ketika melihat cara mereka berinteraksi dengan mudah. Baginya ini adalah pintu awal agar kelak dia bisa lebih mudah untuk menikahi Naya.
"Nay, nanti kamu harus ajari Bunda memasak sesuatu yang belum pernah Bunda coba, oke!" ucap wanita itu sambil tertawa nyaring. Memang, sosok Sania akan merasa sangat bahagia ketika bertemu dengan seseorang yang sependapat dengannya.
"Tante bisa saja, justru Naya yang harus banyak belajar dari Tante. Tante sudah seprofesional ini masih memintaku mengajari? Bukankah itu sangat memalukanku, benar 'kan Om?" kata Naya sambil melirik ke arah Sanders yang sedari tadi memperhatikan istrinya dengan keheranan.
Sanders menghela napas. "Bun, jangan mempersulit Naya, kasihan dia, baru juga sampai di rumah kita sudah kamu ajak ribut soal makanan."
"Bunda bukannya mengajak ribut, hanya saja Bunda senang sekali bisa bertemu Naya, bukankah dia sudah sangat ideal sebagai menantu kita?" kata Sania tersenyum sambil matanya menerawang, ada sorot bahagia dalam setiap inci wajahnya.
Zio mendengar perkataan ibunya yang terang-terangan merasa malu, seketika wajahnya menjadi merah, ia segera memalingkan wajahnya melihat ke arah lain, berpura-pura tidak mendengar percakapan ibunya dengan Naya.
Naya melirik ke arah Zio yang sedang berpura-pura membaca koran di meja ruang tamu, dia terlihat gugup.
Melihat keduanya yang tampak kikuk, Sanders segera menghentikan obrolan Sania yang sudah ke mana-mana. Ia mengajak Sania untuk segera menyiapkan makan malam, sementara meninggalkan Zio dan Naya, memberikan ruang agar mereka bisa mengobrol berdua.
"Nay, maafkan Bundaku, dia terlalu terang-terangan kalau bicara," ucap Zio meminta maaf.
"Tidak masalah, justru aku menyukai Ibumu, dia sangat menyenangkan," kata Naya jujur.
"Baguslah kalau begitu."
Suasana kembali hening, tidak ada yang berbicara. Mereka hanyut dalam pikiran masing-masing. Sampai terdengar suara Sania mengajak mereka untuk segera menuju ruang makan.
"Nikmati makananmu Nay, ini semua Bunda yang masak. Kamu harus mencicipi semuanya, oke!" kata Sania dengan berbinar. Perlahan sambil menyendokkan setiap makanan ke dalam piring Naya, membuat Sanders dan Zio saling bertatapan tanda menyerah untuk semua sikap Sania pada Naya.
Mereka menikmati makan malam dengan penuh keharmonisan, Naya yang biasanya hanya makan berdua dengan ayahnya kini merasa mempunyai keluarga yang utuh, tiba-tiba kerinduan akan sosok ibu muncul dalam hatinya. Menyisakan luka yang tidak pernah bisa ia pahami. Apalagi melihat cara Sania memperlakukan dirinya yang begitu berbeda membuatnya merasa seperti mempunyai ibu yang sesungguhnya.
Ketulusan Sania yang terpancar di dalam matanya membuat hati Naya tersentuh. Begitu beruntungnya Zio berada di dalam keluarga ini, meskipun mereka hanya orang tua angkat namun ketulusan mereka nyata, perlakuan mereka juga sama seperti perlakuan orang tua pada anak kandungnya sendiri. Dan itu membuat hati Naya begitu bahagia, karena pada akhirnya Zio bisa memiliki keluarga yang lengkap bahkan lebih lengkap dari dirinya.
Tidak terasa sebutir kristal bening bertengger di pelupuk matanya, Naya segera menahannya agar tidak terjatuh. Zio menyadari ada yang berbeda dari sikap Naya, ia menatap Naya dan mencoba mencari kekhawatiran dalam dirinya.
"Nay, kenapa?" tanya Zio pelan agar tidak terdengar oleh orang tuanya.
"Tidak apa-apa." Naya tersenyum mencoba menutupi apa yang dia rasakan agar tidak diketahui oleh Zio.
Setelah selesai dengan acara makan malam, Naya segera pamit karena hari sudah sangat larut. Meskipun enggan untuk meninggalkan rumah yang begitu hangat, tapi Naya tidak ingin membuat ayahnya khawatir jika Naya harus berada di rumah Zio lebih lama.
"Terima kasih Tante untuk malam ini, Naya bahagia sekali," kata Naya tulus.
"Jangan panggil Tante Nay, panggil Bunda lebih nyaman," kata Sania sambil melirik ke arah putranya yang terlihat salah tingkah sejak tadi.
"Oh, iya Bunda." Naya merasa malu sekaligus terharu.
"Hati-hati di jalan Sayang, jangan mengebut, jaga Naya baik-baik," pesan Sania pada Zio.
"Pasti Bun, tenang saja," kata Zio patuh.
Mereka berdua memasuki mobil setelah Naya mengecup punggung tangan Sania dan Sanders. Keduanya tampak canggung, entah kenapa ada rasa sedikit tidak nyaman ketika mereka berada di dalam mobil.
"Nay, kamu baik-baik saja?" tanya Zio melihat Naya yang sedikit gugup.
"Aku baik-baik saja Zio," jawab Naya sambil tersenyum.
"Aku harap kamu tidak berbohong padaku," kata Zio dingin, tanpa menoleh dia segera menyalakan mesin hingga mobil melaju dengan santai, membelah keramaian jalan raya yang meskipun sudah larut tetap masih terasa hidup.
Naya menyadari sikap Zio yang tiba-tiba berubah dingin, meskipun sudah lama tidak berjumpa namun Naya masih bisa memahami karakter Zio jika dia merasa diabaikan.
"Maaf, bukannya mau menyembunyikannya darimu, aku hanya tidak yakin apakah aku bisa mengatakannya padamu," ucap Naya sambil menunduk.
"Kenapa ragu? Apa aku adalah tipe orang yang tidak bisa dipercaya?"
"Bukan begitu maksudku, aku hanya takut akan membuatmu merasa tidak nyaman."
"Katakan saja apa pun itu, bukankah kita sudah bisa dikatakan sedang menjalin hubungan? Jadi, untuk apa kamu menutupi bebanmu sendiri, setidaknya katakan padaku, meskipun aku tidak bisa membantu, aku akan selalu menjadi pendengar setiamu sampai kapan pun," kata Zio lembut, membuat hati Naya terasa lebih tenang.
"Sebenarnya, aku merindukan Ibuku. Saat bersama tante Sania tadi aku merasa mempunyai keluarga yang utuh dan sempurna. Mereka memperlakukanku seperti anak mereka sendiri, dan itu membuat aku merasa memiliki Ibu, aku bisa merasakan kehangatan seorang Ibu. Aku merasa iri padamu, kamu memiliki tante Sania yang begitu mencintaimu," Naya terisak, meluapkan segala perasaan rindunya akan sosok ibu yang sejak kecil telah meninggalkannya.
Zio mengulurkan tangannya, menggenggam erat tangan Naya, mencoba memberinya kekuatan. Zio lebih paham apa yang Naya rasakan karena dia sendiri juga tumbuh tanpa seorang ayah dan ibu. Meskipun kasih sayang keluarga Sanders tidak ternilai tapi jauh dari lubuk hatinya dia tetap merindukan orang tua kandungnya yang dia sendiri tidak tahu seperti apa mereka.
"Nay, Ibumu sudah bahagia di atas sana. Bersyukurlah kamu masih memiliki Ayah yang sangat menyayangimu. Apa yang kamu irikan dariku? Lihatlah aku. Aku bahkan tidak tahu siapa orang tua kandungku, seperti apa mereka, dan apakah mereka mencariku? Banyak sekali pertanyaan yang ingin aku cari jawabannya, tapi aku sadar, tidak semudah itu. Dulu aku memang merasa aku adalah orang yang paling menderita di dunia ini, tapi setelah aku bertemu dengan Ayah dan Bunda, hatiku jauh lebih baik. Sekarang perasaan itu sudah aku abaikan. Aku hanya ingin menikmati hidupku saat ini," kata Zio lembut. "Kamu juga harus bisa, jangan sampai bayang-bayang dan rasa itu membuatmu terpuruk," sambung Zio dan segera menepikan mobilnya karena ponselnya tiba-tiba berdering.
"Sebentar," kata Zio pada Naya sambil melihat ke layar ponselnya. Keningnya berkerut melihat siapa yang meneleponnya.
"Iya, Ra? Kenapa?" tanya Zio di balik ponselnya.
"Kamu tunggu di sana, jangan ke mana-mana, kirim aku lokasi kamu saat ini, aku akan segera kesana," kata Zio panik setelah mendapat jawaban dari penelepon.
"Ada apa Zio?" Naya ikut panik melihat ekpresi Zio yang terlihat sangat khawatir. Dia melupakan sejenak rasa rindu pada ibunya yang sejak tadi menggerogoti hatinya.
"Nanti kujelaskan, kita pergi ke alamat ini dulu tidak apa-apa, 'kan?" tanya Zio seraya menghidupkan mobilnya kembali.
"Tidak masalah, aku akan memberi kabar pada Ayah agar dia tidak khawatir."
Zio mengangguk kemudian segera melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
'Tunggu aku Ra, aku akan berusaha menyelamatkanmu kali ini,' bisik Zio dalam hati.
