Bab 11 Godaan
Bab 11 Godaan
Naya kembali melihat bayangan dirinya di depan cermin. Sudah 1 jam Naya merias dirinya, namun ia tetap merasa gelisah, takut penampilannya buruk. Beberapa menit lagi Zio akan menjemputnya, hatinya merasa gusar sekaligus takut. Ini akan menjadi pertemuan pertamanya dengan keluarga baru Zio.
"Ada apa dengan putri Ayah yang cantik ini? Kenapa terlihat begitu gelisah?" tanya Saputra yang telah diam-diam bersandar di pintu kamar Naya yang sedikit terbuka.
"Ayah! mengagetkanku saja," kata Naya sambil memegang dadanya yang memang sedikit terkejut karena kehadiran ayahnya yang tiba-tiba.
"Lihat, Ayah hanya berbicara pelan saja sudah membuatmu gugup seperti itu, ada apa?"
"Sudahlah Ayah, jangan menggodaku lagi, aku benar-benar takut dan gelisah," kata Naya terlihat malas, ia sudah memberitahu ayahnya mengenai undangan keluarga Zio padanya malam ini, tapi Saputra masih saja terus meledeknya sambil tersenyum.
"Putriku sudah sangat cantik sejak lahir," puji Saputra tulus.
"Ayaaah. Bukankah sudah kukatakan, jangan menggodaku." Wajah Naya berubah menjadi cemberut, Saputra hanya tersenyum melihat tingkah Naya.
"Nay, bukan tentang kecantikan yang akan membuat kamu dihargai, bukan juga tentang kekayaan yang akan membuat kamu dihormati. Tapi, hatimu yang bersih itulah yang akan membuat kamu bersinar meski kamu berada di tumpukan sampah sekali pun. Kesopanan dan sikap rendah hati adalah sesuatu yang harus selalu kamu terapkan dalam hidup, bukan hanya saat bertemu dengan orang besar, bahkan kalau bertemu dengan pengemis pun tidak boleh bersikap sombong dan angkuh," kata Saputra menasehati Naya panjang lebar. "Percaya diri lah."
Naya merasa terharu mendengar nasehat ayahnya, ia tersenyum kemudian memeluk Saputra.
"Terima kasih Ayah, karena selama ini sudah menjadi Ayah sekaligus Ibu bagi Naya, itu pasti sangat sulit," ucap Naya setelah melepaskan pelukan Saputra. Air matanya sudah menggenang di pelupuk matanya, bersiap untuk mengalir kapan pun.
"Jangan menangis, itu akan merusak riasan wajahmu, nanti akan jadi lebih jelek dibanding sapi tetangga," ejek Saputra mencoba tidak menciptakan kesedihan di hati Naya.
Mendengar itu Naya mencubit lengan Saputra dengan keras, membuat ayahnya meringis karena cubitan itu.
"Ayah, bagaimana penampilanku? Apa sudah pantas?" tanya Naya sambil berputar-putar di depan ayahnya.
Melihat penampilan Naya membuat Saputra terdiam sejenak, sekelebat bayangan istrinya muncul, dia sangat cantik bahkan melebihi ibunya di masa lalu.
"Kamu sudah sangat cantik," puji Saputra dengan senyum di wajah tuanya yang mendamaikan.
Saat mereka tengah bercengkrama sambil menunggu Zio, tiba-tiba Bi Nanik, pembantu di keluarga Naya mengetuk pintu kamar yang terbuka.
"Maaf Tuan! Nona! Ada tamu di bawah sudah menunggu Non Kanaya," kata Bi Nanik sambil tersenyum ketika menyadari penampilan Naya yang tidak biasa.
Naya terlonjak kaget, seketika ia berdiri dan kembali menatap cermin, mencoba meyakinkan dirinya.
"Non sudah cantik sekali, tidak perlu berkali-kali bercermin," kata Bi Nanik jujur.
"Benarkah, Bi? jangan meledekku," sungut Naya.
"Benar, iya 'kan Tuan? Mirip sekali dengan Almarhumah Nyonya," kata Bi Nanik menerawang, seolah-olah baru melihat sosok nyonyanya di dalam diri Kanaya.
Setelah selesai bersiap, Naya segera turun ke ruang tamu di mana Zio tengah menunggunya.
Suara langkah kaki Naya semakin terdengar, Zio mendongak, mencari sumber suara dari sepatu hak tinggi yang Naya kenakan. Zio segera bangkit dari duduknya, menatap kosong ke arah Naya, dia seakan tersihir oleh penampilan Naya yang memukau, cantik bagaikan bidadari.
Naya mengenakan gaun selutut berwarna merah, dengan belahan dada yang sedikit terbuka, sehingga menampakkan kulitnya yang putih dan polos. Tidak lupa kalung pemberian Zio yang tidak pernah dia lepaskan, namun meskipun hanya mengenakan kalung sederhana sungguh tidak membuat kecantikannya berkurang satu persen pun. Rambut hitam bergelombangnya dia biarkan terurai, dihiasi dengan jepit rambut kecil kupu-kupu di bagian samping, membuat penampilan Naya semakin terlihat anggun dan memesona.
Bibir merah Naya hampir saja membuat jiwa seksual Zio memberontak dan ingin melumatnya saat itu juga. Tatapan Zio tidak berpaling darinya untuk beberapa saat, membuat Naya salah tingkah oleh tatapan itu. Sampai lamunan Zio tersadar ketika suara tua milik Saputra membuyarkan pikirannya yang mulai liar.
"Nak Zio?" Saputra memanggil Zio setelah membiarkan pemuda itu menatap putrinya lebih lama. Dia tersenyum, Zio pasti merasa tersihir oleh penampilan Naya yang memang tidak biasa.
"Oh, iya Om, maaf saya melamun," kata Zio salah tingkah, kemudian menyalami tangan Saputra dengan sopan.
"Maklum Zio, Om tadi juga sempat tersihir oleh putri Om sendiri, bukankah Naya terlihat sangat cantik?" bisik Saputra namun masih terdengar oleh Naya, membuat gadis itu merasa malu dan segera menyenggol lengan ayahnya. Zio hanya tersenyum, mengakui akan kebenaran ucapan Saputra dalam hatinya.
"Oh iya Om, kalau Om mengizinkan, saya ingin membawa Naya berkunjung ke rumah saya malam ini. Ayah dan Bunda saya ingin mengundang Naya untuk makan malam bersama," kata Zio sopan.
"Untuk masalah itu, Om hanya bisa mengikuti kemauan Kanaya, tapi Om minta tolong padamu, tolong jaga Naya dengan baik, maaf jika selama perjamuan dia membuat kesalahan, itu karena ini pertama kali baginya menemui orang tua dari seorang pria," kata Saputra penuh perhatian, dilihat dari perkataan dan tatapannya terhadap Naya, Zio tahu kalau Saputra sangat menyayangi putri tunggalnya itu.
"Tidak masalah Om, saya akan menjaganya dengan baik dan akan mengembalikan kepada Om tanpa kurang satu apa pun." Zio memastikan kekhawatiran Saputra.
"Terima kasih Zio, Om percayakan putri Om padamu," kata Saputra melepas kepergian Naya.
Kekhawatiran Saputra bukan karena dia akan bertemu dengan siapa, tapi dia hanya khawatir orang tua Zio tidak menyukai Naya, dia hanya tidak ingin putrinya terluka lebih dalam, karena sudah sejauh ini Naya selalu menunggu Zio dan hanya mencintai Zio seorang.
Zio membukakan pintu mobil untuk Naya, mereka tersenyum meninggalkan Saputra, pergi menuju rumah Zio di mana penghuni rumah itu juga sedang menunggu kedatangan mereka berdua.
Zio terus mencoba berpaling dari Naya, dia takut hatinya akan bergetar, karena saat ini jantungnya telah berdetak lebih kencang. Berdua di dalam mobil dengan seorang wanita cantik tentu menggugah jiwa lelaki mana pun, tak terkecuali Zio. Zio mencoba terus berkonsentrasi menyetir, namun sepertinya Naya tidak menyadari akan gejolak hati Zio yang tidak menentu. Dia terus saja mengoceh seperti dulu, menceritakan kehidupannya selama ini, namun tidak ada ada satu kalimat pun yang terekam di otak Zio.
Posisi duduk Naya kini telah berubah menghadap ke arah Zio, membuat darah Zio semakin terasa memanas. Zio menghembuskan nafasnya secara perlahan, mengekang nafsunya yang hampir saja tidak terkendali. Mencoba mengusir pikiran mesumnya terhadap Naya.
"Nay, bisakah kamu duduk dengan tenang sebentar? Menghadap ke depan, jangan menghadap ke arahku," kata Zio gugup.
"Kenapa? Apa kamu merasa terganggu karena sedang menyetir?" Naya mendekatkan wajahnya tanpa dosa sambil memiringkan kepalanya ke samping.
Seketika mobil berhenti secara mendadak, membuat Naya kehilangan keseimbangan karena terkejut. Ia roboh tepat mengenai tubuh Zio.
"Nay, bisakah tidak perlu bertanya pada setiap apa yang aku katakan?" bisik Zio di telinga Naya, membuat hati Naya berdesir. Zio menahan nafasnya, mencoba menjauhkan dirinya dari dekapan Naya yang tiba-tiba.
Naya kaget ketika menyadari posisinya, dia segera bangkit menahan malu, dan segera membenarkan posisi duduknya menghadap ke depan.
Suasana kembali menjadi canggung, Naya sendiri merutuki kebodohannya. Sedangkan Zio merasa lega karena akhirnya dia bisa terlepas dari jeratan Naya yang memesona. Hampir saja dia kehilangan kendali jika saja Naya tidak segera menjauh darinya.
Kali ini ego dan nafsu Zio bisa bekerja sama dengan otaknya, namun apa lain kali dia bisa mengendalikannya ketika kejadian seperti ini terulang kembali? Zio menggelengkan kepalanya, mengusir segala kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Walau bagaimanapun, dia harus berusaha untuk tidak terjerumus ke dalam jurang cinta yang lebih dalam. Karena dendamnya belum terbalaskan.
