Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 13

Hari ini Djavier terlihat tengah membereskan seluruh pakaiannya ke dalamtas ransel tentaranya di bantu Amierra. Tak ada yang mengeluarkan atau memulai pembicaraan. Keduanya sama-sama terfokus pada kegiatan mereka masing-masing.

"Apa ada masalah?"

Pertanyaan Djavier mampu membuat Amierra menengadahkan kepalanya menatap ke arahnya.

"Tidak ada, aku baik-baik saja." Djavier berusaha mempercayainya.

"Kamu tidak masalah kan aku tinggal dulu?" tanya Djavier dan Amierra mengangguk lirih. "Kalau kamu bosan, nanti kamu minta temenin Dania saja untuk keluar atau berjalan-jalan."

"Iya Paman, tenang saja. Ada Mila juga yang siap menemaniku kapanpun." Djavier hanya mangut-mangut.

"Jaga diri kamu baik-baik yah, Amierra. Aku akan menghubungimu." Djavier mengecup kening Amierra sebelum benar-benar berlalu pergi meninggalkan Amierra sendirian di dalam kamarnya.

Ingatan Amierra langsung berputar ke kejadian semalam. Kata-kata Fauzan yang mampu membuat dadanya terasa sesak sekali.

'Aku ada di Indonesia, dan aku ingin segera menemuimu.'

Banyak sekali pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Fauzan. Tetapi ia merasa terhalangi karena statusnya sekarang. Kemarin dia berusaha menerima Djavier, tetapi saat kembali mendengar suara Fauzan, perasaan itu ternyata masih ada. Rasa rindu yang memuncak, rasa cinta dan sayang untuk Fauzan. Semua perasaan itu berkecamuk di dada dan hati Amierra membuatnya semakin dilema dan terjebak.

Amierra tersadar saat mendengar deru mobil, ia berjalan menuju ke arah jendela kamar. Terlihat di bawah sana kedua orangtua Djavier dan Dania mengantarkan Djavier hingga menaiki mobil. Sedangkan Amierra hanya duduk termangu di sini.

Amierra tak mengambil pusing masalah Djavier, yang jelas dia sudah berpamitan di sini. Amierra kembali berjalan ke arah ranjang. Kepalanya mendadak terasa pening karena tidak tidur semalaman, ia terus memikirkan Fauzan. Haruskah ia kembali bertemu dengannya?

"Amierra," panggilan itu membuatnya menoleh. Di ambang pintu, Ibu mertuanya datang dengan membawa segelas teh hangat. "Djavier bilang kamu tidak turun karena kurang enak badan. Ini Mama bawakan teh hangat untukmu."

Amierra tersenyum kecil, Djavier ternyata harus berbohong demi melindunginya.

"Aku baik-baik saja, Ma. Hanya sedikit pening saja," ucap Amierra mengatakan yang sebenarnya.

"Mungkin kamu kelelahan, kemarin seharian berlibur dan pulang ke rumah malam." sahut Ibu mertuanya yang kini duduk di sisi ranjang. Lebih tepatnya pening karena memikirkan Fauzan. Pikir Amierra.

Amierra mulai meneguk air yang di berikan Ibu mertuanya itu. "Sebaiknya kamu istirahat. Kalau masih belum enakan badannya, nanti sore kita ke rumah sakit."

"Tidak perlu, Ma. Mungkin aku hanya butuh istirahat."

"Baiklah, istirahatlah. Mama akan menyiapkan bubur untukmu."

"Tidak perlu repot-repot, Ma." Amierra merasa sangat tidak nyaman sekali.

"Tidak masalah, ya sudah istirahat yah." Ibu Djavierpun memilih meninggalkan Amierra sendiri dengan membawa gelas kosong bekas teh yang di minum Amierra.

Amierra menyandarkan kepalanya ke punggung ranjang, dengan mata yang tertutup. Helaan nafas berkali-kali terdengar.

Fauzan...

Untuk apalagi pria itu datang dan mengusik kehidupannya. Apa yang akan ia lakukan saat nanti bertemu Fauzan?

Beberapa pertanyaan mengusik kepalanya, hingga sekali lagi terasa sangat pening sekali. Ia akhirnya memutuskan untuk tidur.

***

Djavier baru saja sampai di lokasi tengah malam, mereka pergi ke sulawesi menggunakan sebuah hellicopter tentara. Sesampainya di sana, ia di sambut oleh Iqbal. Seorang Sersan yang tengah menunggunya di depan landasan hellicopter.

"Selamat malam, Kapten." Tegurnya saat Djavier berjalan ke arahnya dengan gagah.

"Malam, Sersan"

"Bagaimana perjalanan Anda? Tidak ada hambatan?" tanya Iqbal yang mengekori Djavier menuju tenda khusus Kapten yang sudah di siapkan.

"Perjalananku lancar, tanpa hambatan." Jawab Djavier menghentikan gerakannya dan menoleh pada Iqbal. "Bagaimana seluruh Anggota yang akan melakukan pelatihan besok pagi?"

"Semuanya sedang beristirahat, besok pukul 5 subuh kita bisa memulai kegiatan." Djavier menganggukkan kepalanya mendengar penuturan Iqbal.

"Kalau begitu beristirahatlah, Kapt." Iqbal memberi hormat pada Djavier lalu beranjak pergi meninggalkan Djavier.

Djavier berjalan memasuki tendanya yang cukup berbeda dari yang lain, karena ia tidur sendiri berbeda dengan yang lainnya.

Tenda kecil itu hanya terdapat sebuah kasur gantung untuk Djavier terlelap. Sebuah meja kecil dan juga kursinya. Di atas meja terlihat ada satu buah baskom berisi air hangat yang di siapkan anggotanya untuk mencucui wajahnya.

Djavier segera mengambil wudhu dengan air itu, dan melakukan sholat di sana dengan penerangan minim dari sebuah obor.

Setelah menjalankan ibadahnya, Djavier kembali memakai perlengkapan PDL-nya dan berjalan keluar tenda untuk menemui Iqbal dan melihat seluruh prajurit yang siap melakukan pelatihan selama sebulan ke depan disini. Di hutan yang cukup jauh dari perkampungan.

Hutan ini masih sangat natural, karena belum terjamah oleh manusia. Udaranya terasa begitu sejuk hingga rasa dinginnya mampu menusuk ke dalam sendi-sendi dan tulang manusia. Untuk orang awam, keadaan seperti ini akan membuat mereka menggigil dan butuh sebuah perapian untuk menghangatkan tubuh mereka.

Tetapi tidak dengan Djavier dan rekan-rekannya yang lain. Kondisi fisiknya jauh lebih kuat dari manusia awam. Mereka bahkan bisa bertahan di kondisi seperti ini tanpa jaket dan perapian.

Djavier terlihat tengah membaca berkas yang di berikan Sersan Iqbal padanya. Ia menatap isi berkas itu dengan sesekali melirik ke arah para prajurit yang akan melakukan pelatihannya di sini..

***

Keesokan harinya Amierra memutuskan untuk pergi kuliah saja. Padahal jatah liburnya masih ada 4 hari lagi. Tetapi untuk apa juga dia diam di rumah mertuanya yang sangat sepi dan membuatnya bosan.

"Wihh pengantin baru nih, cie cie." Goda Mila saat Amierra baru memasuki kelasnya.

Hanya cibiran yang di tunjukkan Amierra seraya duduk d bangku sebelah Mila.

"Bukannya liburan loe masih lama? Kok loe udah masuk aja?" tanya Mila.

"Tidak apa-aoa, gue hanya merasa jenuh saja di rumah." Kilah Amierra.

"Ciee kangen gue dong." Ucap Mila menggoda Amierra.

"Pede banget," cibir Amierra.

"Oh iya, suami loe lagi tugas yah. Soalnya kemarin mas Iqbal juga bilangnya gitu, dia ada tugas ke Sulawesi."

"Iqbal?" Mila menganggukan kepalanya dengan sangat antusias. "Maksud loe, Iqbal yang kita temui saat ke markas TNI?"

"Iyup, 100 buat loe." ucap Mila dengan sangat antusias.

"Tapi kenapa? Loe dan dia?" Amierra menggantungkan ucapannya seakan ingin memastikan.

Bukannya menjawab, Mila malah terkekeh dengan wajahnya yang merona. "Doain gue supaya cepat jadian sama mas Iqbal yah."

Amierra terkekeh mendengar penuturan Milla barusan. "Laku juga loe, apa jangan-jangan Iqbal kelilipan yah saat ketemu loe saat itu."

"Ih Amier asem loe," amuk Milla membuat Amierra tertawa. "Gue ini cantik, makanya mas Iqbal langsung kepincut sama gue."

"Pret!" Amierra menjulurkan lidahnya. "Pede gila."

"Lah mendingkan, daripada Pesimis. Terlalu menyedihkan," ucapnya dengan bangga.

"Serah apa kata loe dah." Amierra mulai fokus pada buku di depannya.

Bip bip

Mendengar suara iphonenya berbunyi, Amierra segera mengambilnya dari dalam tas. Dan ada satu line masuk.

Fauzan

Amierra?

Bisakah kita bertemu setelah pulang kampus? Aku akan menjemputmu.

Miss you sayang...

Amierra menegang kaku saat membaca isi chat itu. Merasa ada yang aneh dengan sikap sahabatnya itu, Mila mengintip apa yang membuat sahabatnya mematung kaku.

"Fauzan?" pekiknya membuat Amierra menoleh padanya dengan tatapan yang tak bisa di artikan. "Amie-?"

"Kenapa dia kembali saat ini?" gumamnya.

***

Amierra masih duduk di dalam kelasnya di temani Milla, ini sudah waktunya pulang. Tetapi Amierra merasa takut, bingung dan gugup. Ia memang tidak membalas chat dari Fauzan, tetapi ia yakin Fauzan sudah ada di depan kampus.

"Loe yakin dia akan ada di depan?" tanya Milla.

"Ya Mil, gue tau siapa Fauzan." gumamnya.

"Sebenarnya bagaimana perasaan loe?" tanya Mila sedikit penasaran.

"Gue-" Amierra terdiam sesaat mendengar penuturan Mila barusan. "Gue gak tau."

"Ada rasa senang bercampur haru, tetapi di sisi lain tersimpan rasa sakit. Karena sekarang gue udah milik seseorang." Amierra memejamkan matanya berusaha mengambil nafas dalam-dalam untuk mengisi rongga dadanya yang terasa kosong.

"Ini sangat sulit, gue takut gak bisa mengontrol emosional gue saat bertemu dengannya."

"Gue paham, tetapi loe juga gak bisa seperti ini. Terus bersembunyi," ucap Milla.

"Menurut loe, gue harus bagaimana?" tanya Amierra.

"Hadapi dia, katakan padanya kalau loe sudah menikah. Dan minta dia untuk menjauh," ucap Milla.

"Gue gak yakin bisa," gumam Amierra.

"Tapi kenapa?"

"Sejujurnya gue belum memiliki perasaan apapun pada Paman. Dan kalau saat ini gue harus memilih, pastinya gue akan memilih Fauzan."

"Loe udah nikah, Amierra."

"Itu masalahnya, status itu yang menahan gue. Gue gak bisa berlari ke arah Fauzan, juga gak bisa berjalan ke arah Paman."

Mila terdiam berusaha memahami ucapan ambigu sahabatnya itu. "Gue gak sanggup untuk mengatakan pada Fauzan, kalau gue sudah menikah."

"Tapi kan dia juga salah, selama 2 tahun ini dia menghilang bagai di telan bumi. Dia nyia-nyiain loe," ucap Milla.

"Tapi hati gue gak bisa menyalahkannya," ucap Amierra mengusap wajahnya.

Milla akhirnya memilih diam, hingga suara dering handphone terdengar. Amierra menatap layar handphonenya yang menyala dan menampilkan nama Fauzan di sana.

"Sepertinya dia menunggu," gumamnya. Setelah dering itu berhenti, masuklah sebuah chat ke line nya.

Fauzan

Jangan bersembunyi, aku tau kamu ada di kampus. Sekarang pilih, aku yang ke dalam atau kamu yang keluar.

Seketika itu juga tubuh Amierra semakin menegang. Ia menjadi semakin gugup dan bingung. Mampukah dia bertemu dengan pria yang di cintainya.

"Amier, woy!" Amierra tersentak mendengar sahutan Milla.

"Sebaiknya kita pulang," ucap Amierra langsung menyambar tas selendangnya dan menyampirkannya ke bahunya.

Milapun ikut bergegas mengikuti Amierra. "Loe bawa kendaraan?" tanya Mierra saat mereka berjalan di lorong kampus.

"Kagak, gue kan gak punya kendaraan. Kecuali sewaan abang Grab."

"Bagus, kita lewat belakang." Amierra menarik tangan Mila menuju pintu belakang kampus yang harus di lewati melalui kantin kampus di dekat gudang dan harus melewati gedung fakultas yang tak terpakai.

"Ih Amier, takut jalan sana." Mila menghentikan langkah mereka membuat Amierra menoleh padanya.

"Sekali ini saja," ucap Amierra.

"Takut, di sana katanya suka ada ular besar. Karena rumputnya tidak terurus."

"Bakalan aman, ayo." Amierra kembali menarik tangan Mila membuat Mila akhirnya pasrah di tarik Amierra seperti kambing.

Mereka sudah hampir dekat dengan kantin yang masih sedikit ramai karena masih ada mahasiswa dan mahasiswi.

"Amierra!"

Deg

Langkah Milla dan Amierra terhenti seketika saat mendengar suara berat di belakangnya itu.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel