Bab 12
Saat ini Djavier dan Amierra tengah menikmati makan malam mereka di restaurant outdoor di bibir pantai. Djavier sesekali melirik Amierra yang begitu khusu dalam makannya.
Djavier sedikit kepikiran dengan kata-kata Amierra tadi sore. Ucapan mereka harus terhenti karena gema adzan magrib, dan mereka segera bergegas ke resort untuk menjalankan ibadah sholat magrib.
"Amierra," panggil Djavier membuat Amierra menengadahkan kepalanya. "Apa sekarang kalian masih suka berkomunikasi?"
"Dengan siapa?" tanya Amierra.
"Kamu dan kekasihmu itu," ucap Djavier meneguk minumannya dan kembali fokus menatap Amierra.
"Sudah 2 tahun aku kehilangan kontak dengannya, aku tidak tau apa yang terjadi tetapi dia tidak pernah menghubungiku lagi. Padahal aku selalu mengirimkan pesan padanya." Amierra ikut meneguk minumannya saat selesai menikmati makanan mereka.
"Apa kemarin yang membuat kamu ragu untuk menikah dengan saya itu karena dia?" tanya Djavier.
"Iya, sebenarnya aku masih menunggunya."
"Lalu?" Djavier masih penasaran dengan kisah Amierra.
"Lalu apalagi, aku menikah dengan Paman dan bukan dengan dia." Amierra menjawabnya dengan santai,
"Lalu bagaimana kalau suatu hari dia kembali dan memintamu untuk bersamanya kembali?" pertanyaan Djavier membuat Amierra membeku di tempatnya.
"Kenapa Paman bertanya itu?" Amierra mendadak gelisah.
"Aku ingin tau, Amierra. Apa yang akan kamu lakukan kalau dia kembali?"
"Aku tidak tau," ucap Amierra. "Sudahlah, berhenti membahas ini, Paman."
"Amierra aku serius," ucap Djavier seraya membenarkan posisi duduknya. "Kita baru menikah dan tanpa ada perasaan cinta, lalu bagaimana kalau tiba-tiba dia datang di tengah-tengah kita?" tanya Djavier.
"Dia tidak mungkin kembali Paman, dia sudah bahagia di sana."
"Tidak menutup kemungkinan, Amierra. Dan aku butuh jawaban darimu, aku tidak ingin berpikir suudzon padamu," ucap Djavier.
Amierra menghela nafasnya. "Sebelum mengambil keputusan untuk menikahi Paman, aku ikuti usul Paman untuk melaksanakan Sholat Istikharah. Dan aku sudah menemukan jawabannya, mungkin itu juga yang sudah Allah gariskan."
"Kalau suatu saat dia kembali datang, walau aku tidak tau akan bagaimana. Aku akan berusaha menjaga hubungan rumah tangga ini, karena walaupun hatiku masih untuknya. Pamanlah imamku, suamiku yang sudah seharusnya aku hormati."
Djavier sedikit lega mendengar ucapan Amierra, walau ada rasa sesak sedikit mendengar kalau hatinya masih untuk pria itu.
Ia hanya tersenyum kecil menatap Amierra,
Selesai menikmati makanan mereka, kini Amierra dan Djavier berjalan menyusuri pantai dengan menenteng sandal mereka. Djavier hanya mendengar cerita Amierra tentang banyak hal, terutama tentang Fauzan.
Djavier tau kalau Amierra sangat mencintai pria bernama Fauzan itu. "Lalu bagaimana pekerjaan Paman?" tanya Amierra.
"Tidak ada yang menarik, aku hanya bekerja di markas untuk melihat semua anggota peleton. Melatih mereka, terkadang juga turun ke lapangan untuk membantu masyarakat saat ada bencana alam atau membantu kepolisian RI untuk mengamankan masyarakat dari beberapa pemberontakan. Contohnya saja sekarang sedang marak geng motor."
"Apa itu bahaya?" tanya Amierra.
"Semua pekerjaan itu memiliki dampak masing-masing, tidak semuanya aman. Apalagi pekerjaan seorang Abdi Negara. Setiap pekerjaan yang di lakukannya bertaruh nyawa."
"Seram sekali, apa Paman pernah merasakan di tembak atau di tusuk gitu?" tanya Amierra meringis.
"Kalau kamu melihat tubuh saya, pasti kamu akan lihat bekasnya. Saat aku masih menjadi seorang prajurit militer, aku hampir mati di lokasi karena luka tembakan dan beberapa teroris. Tetapi tuhan masih mempercayaiku dan memberikan keselamatan."
"Kalau begitu jangan perang lagi, kan Indonesia sudah aman." Amierra seketika menjadi khawatir membuat Djavier terkekeh.
Djavier mengusap kepala Amierra. "Memangnya kematian hanya akan terjadi kalau kita perang? Saat tuhan sudah menentukan waktu kematian kita, saat ini aku bisa saja meninggalkan tanpa sebab."
"Iya sih, tapi kan seram juga." Amierra sedikit bergidik.
"Sudahlah, kita bahas masalah yang lain saja. Jadi, setelah lulus kuliah. Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Djavier.
"Aku tidak tau Paman, aku ambil jurusan desainer. Aku ingin bekerja di sebuah perusahaan pakaian terkenal di Indonesia untuk menciptakan beberapa pakaian model terbaru. Tetapi aku masih merasa takut akan gagal."
"Jangan pernah takut untuk gagal, tetapi takutlah untuk mengemban amanah. Ada perumpamaan mengatakan kalau kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Ada juga yang bilang karena kegagalan kita semakin memiliki peluang besar untuk berhasil. Semuanya itu butuh proses," jelas Djavier.
"Iya sih," gumam Amierra.
"Lagian jangan takut, rezeki seseorang sudah di atur dan tidak mungkin tertukar." Amierra manggut-manggut mendengarkan penjelasan Djavier.
"Setelah habis semester ini, aku akan Kkn lalu Pkl dan skripsi, lalu sidang dan lulus. Tetapi aku masih tak yakin apa yang akan aku lakukan setelah itu," Amierra mengedikkan bahunya acuh.
"Kalau begitu, untuk sementara jadi Ibu Rumah Tangga saja dulu. Kan tidak masalah," ucap Djavier.
"Kalau hanya untuk jadi Ibu Rumah Tangga, untuk apa aku kuliah tinggi-tinggi. Mana Ayah nyuruh lanjut ke S2 lagi."
"Kamu salah kalau berpikiran begitu. Seorang Ibu Rumah Tangga juga di wajibkan pintar dan berpendidikan tinggi. Karena suatu saat nanti dia akan menjadi guru dan cerminan bagi anak-anaknya." Amierra semakin speechless mendengar penuturan Djavier barusan. Pria ini sungguh dewasa dalam berpikir.
"Ada apa?" tanya Djavier karena Amierra menghentikan langkahnya menatap ke arahnya dengan tatapan yang tak terbaca.
"Tidak," ucap Amierra melanjutkan langkahnya kembali beriringan dengan Djavier.
"Apa kamu setuju aku melanjutkan kuliahku untuk gelar S2?" tanya Amierra.
"Kenapa tidak, saya akan selalu mendukung apapun yang kamu inginkan. Bukankah sebuah rumah tangga itu harus saling mendukung satu sama lain. Ridhonya seorang istri mampu membuka pintu rezeki untuk suaminya, begitu juga sebaliknya."
Amierra akhirnya diam membisu, dia semakin kagum pada pemikiran Djavier.
***
Keesokan harinya Djavier menemani Amierra yang berenang di lautan. Amierra melakukan Diving di temani Djavier. Mereka sama-sama menyelam untuk melihat suasana di dasar laut yang begitu indah.
Amierra begitu antusias, ia terus menunjuk beberapa binatang laut yang menurutnya begitu indah. Djavier hanya bisa tersenyum melihatnya dan menjaganya.
Amierra berenang dengan begitu lincah, layaknya putri duyung dan Djavier hanya memperhatikannya.
Setelahnya mereka sama-sama menikmati kelapa muda di bibir pantai. "Tadi itu sangat menyenangkan, Paman." kekeh Amierra.
Deg
Amierra mematung saat tangan Djavier terulur menyentuh kepalanya. "Ada ranting," ucap Djavier.
Mata mereka beradu dan saling bertatapan satu sama lain. Amierra segera memalingkan wajahnya seraya meminum minumannya, berusaha mengendalikan dirinya.
"Sore ini kita pulang yah," ucap Djavier.
"Yah padahal masih banyak permainan yang belum aku naiki."
"Kamu main permainan apalagi?" tanya Djavier.
"Kan permainan air udah, aku ingin keliling pulau ini pake sepeda. Tapi aku gak bisa naik sepeda," kekehnya dengan polos.
"Baiklah, selesai membersihkan diri kita main sepeda." Amierra mengangguk antusias.
***
Dan inilah saatnya, Amierra tengah duduk di depan sepeda dimana Djavier membawa sepedanya duduk di belakang Amierra. Hembusan angin menerpa wajah mereka berdua. Kepala Amierra bahkan mampu menyentuh dada bidang Djavier yang terasa begitu nyaman.
Apalagi tubuh Djavier selalu wangi, membuat Amierra semakin nyaman bersandar di sana.
Djavier mengayuh sepedanya ke bibir pantai dan ke daerah pemukiman di pulau itu. Banyak rumah dan orang-orang di pulau ini. Mereka juga terlihat ramah-ramah,
"Paman,"
"Hmm,"
"Aku senang bisa liburan kesini," ucap Amierra mendongakkan kepalanya menatap wajah Djavier yang masih fokus menatap ke depan.
"Iya, saya juga. Kapan-kapan kita bisa kembali lagi kalau kamu mau."
"Ajak Dania dan Mila yah," ucap Amierra.
"Boleh, nanti kamu atur saja."
Amierra tersenyum menatap wajah tampan Djavier. Karena merasa di perhatikan, Djavier menundukkan kepalanya dan tatapannya langsung beradu dengan mata indah milik Amierra.
Amierra tersenyum menatap Djavier, begitu juga sebaliknya.
***
Djavier dan Amierra sudah berada di rumah orangtua Djavier. Amierra sedang duduk di dalam kamar Djavier yang terlihat luas dan tak memiliki banyak perabotan di sana. Hanya ranjang king size, lemari, dan meja rias itupun baru di pindahkan karena sekarang Amierra tinggal di kamar ini.
Selain itu ada juga sofa panjang di dekat televisi LED yang ada di dalam kamar itu.
Amierra berjalan menuju jendela kamar, ia mengintip keluar dimana suasana jalanan komplek dan taman mampu terlihat olehnya.
Saat ini Djavier tengah berbincang dengan kedua orangtuanya dan Amierra sendirian di dalam kamar.
Bip bip
Amierra berjalan mengambil handphonnya dan terlihat nomor baru di sana. "Siapa yah," gumamnya mengangkat telponnya.
"Hallo,"
"...."
"Benar, aku Amierra. Ini siapa?"
"....."
"Fa-fauzan?"
