Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 14

Angin berhembus terasa menyejukkan, Djavier berdiri di salah satu tempat tengah mengawasi beberapa kepala peleton tengah mengatur dan melatih anggotanya itu. Sesekali Djavier menatap ke langit biru yang cerah. Sang surya terlihat berwarna kuning kemerahan, membuat seluruh bumi ini terasa panas.

Saat ini ia berdiri di dekat sungai di dalam hutan. Sungai itu memiliki satu air terjun dengan air yang jernih. Bebatuan yang tak beraturan mendominasi keadaan air terjun ini. Beberapa anggotanya tengah melakukan pelatihan militer di dalam air.

Ia berdiri dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku pakaian militernya. Walau ia terlihat santai, tetapi aura kepemimpinannya begitu jelas. Siapa saja yang melihatnya akan langsung merasa terdominasi dan mau tak mau akan menghormatinya.

Djavier bukanlah seorang pemimpin yang angkuh, arogant dan otoriter. Ia di kenal sebagai pribadi yang tegas dan bijaksana. Tak ada yang berani melawan ataupun menentangnya karena aura kepemimpinannya begitu melekat pada dirinya membuat siapa saja, para prajuritnya yang hendak menantang akan mengurungkan niatnya.

Kapten Djavier memang jarang sekali marah, bahkan hampir tidak pernah. Tetapi sikap tegasnya mampu membuat prajuritnya segan untuk melawan dan menentangnya.

Sesekali Djavier melirik handphonenya yang masih tak mendapatkan sinyal dari semalam, itu membuatnya sedikit kesulitan mengabari Amierra, istrinya.

"Sersan Iqbal," panggilnya, membuat pria yang berdiri tak jauh darinya segera beranjak menghampirinya dan memberi hormat.

"Siap, Kapt!"

"Apa ada yang akan ke kota? Saya ingin menitipkan surat untuk di kirim via Pos Indonesia."

"Siap, Kapt! Ada Romi yang akan datang untuk mengantar beberapa bahan makanan untuk kita semua siang nanti."

Djavier terlihat manggut-manggut paham. "Baiklah, terima kasih."

"Siap, Kapt!"

Setelah memberi hormat, Sersan Iqbalpun berlalu pergi.

***

"Amierra,"

Deg

Suara ini?

Suara yang sudah lama sekali Amierra tak mendengarnya. Suara berat dan serak yang begitu Amierra rindukan.

Amierra maupun Mila tak ada yang membalikkan tubuh mereka yang menegang. Hingga terdengar suara derap langkah mendekat. Amierra menatap nyalang ke depan dengan perasaan tak menentu. Jantungnya berdetak begitu cepat hingga tanpa sadar ia meremas kedua tangannya yang saling bertautan.

"Amierra," panggilan itu terasa berbisik di telinganya.

Hingga perlahan Amierra menengadahkan kepalanya saat merasakan aroma yang sudah lama tak pernah tercium oleh indera penciumannya.

Mata coklat itu....

Tanpa di sadari setetes air mata luruh membasahi pipinya saat itu beradu dengan mata coklat terang, seterang pasir pantai.

Gejolak perasaan amarah, rindu dan cinta bersatu di dalam hati Amierra. Ia bahkan kesulitan untuk membuka suaranya. Seakan sesuatu yang keras dan berduri menyangkut di tenggorokannya. Rasa itu hanya bisa ia luapkan melalui air mata yang jatuh membasahi pipinya.

Ia terlihat menipiskan bibirnya dan tersenyum kecil. Senyuman khasnya, yang begitu Amierra rindukan.

Tatapan Amierra beralih menyusuri tubuh pria tinggi di depannya. Dia banyak sekali berubah setelah 2 tahun lamanya tak bertemu.

Pria itu terlihat memakai kaos putih polos di padu dengan kemeja biru lengan pendek yang di biarkan terbuka. Tubuhnya terlihat lebih ramping dan kekar, sepertinya dia mengurus dirinya sendiri selama ini. Kulitnya terlihat putih, seputih kapas. Rambutnya terlihat pirang dan sedikit panjang melewati telinganya. Wajahnya yang oriental itu membuatnya terlihat bak seorang malaikat.

Tangannya terulur untuk menyentuh pipi Amierra, tetapi tanpa di sangka-sangka Amierra mundur menjauhinya membuat kernyitan dalam tercetak di dahinya.

Pria yang hendak Amierra lupakan, kini berdiri di depannya tanpa kurang satu apapun. Ia terlihat segar bugar dan sehat. Bahkan wajahnya jauh lebih dewasa dan terurus dari 2 tahun lalu.

"Aku datang," ucapnya dengan suara beratnya yang mampu menghimpit dada Amierra.

Dewi batin Amierra menjerit menanyakan kenapa baru sekarang? Kenapa harus sekarang? Kemana saja dia selama ini.

"Aku merindukanmu,"

Ucapannya semakin membuat air mata Amierra luruh semakin deras membasahi pipinya. Ada rasa sakit dan bahagia bercampur di dadanya. Gejolak perasaan itu membuat Amierra kesulitan untuk mengeluarkan suaranya.

"Kamu terlambat,"

Akhirnya setelah mengumpulkan segala kekuatan dan tenaganya, Amierra mampu mengeluarkan suaranya yang tertahan di tenggorokan sejak tadi. Walau suaranya begitu kecil hingga menyerupai bisikan, tetapi sepertinya pria di depannya mampu mendengarnya membuat kernyitan di dahinya semakin dalam.

"Kamu terlambat," ucapnya lagi dan tanpa berkata apapun berbalik meninggalkan pria itu yang masih mematung dengan kaku di tempatnya. Arah pandangnya menatap punggung Amierra yang berjalan cepat menjauhi mereka.

Milla yang juga ikutan kaget, dan merasakan apa yang Amierra rasakan langsung bergegas menyusul Amierra meninggalkan pria itu.

Yah, dialah Fauzan Aaryan Basir....

***

Di sebuah tenda berwarna hijau yang merupakan warna dari lambang militer Indonesia. Djavier terlihat tengah menulis sesuatu di atas kertas putih di atas meja.

Ia membubuhkan tulisan dengan tulisan di kertas itu dengan sesekali menghela nafasnya. Ia kembali merobek kertas itu dan kembali menulisnya di kertas yang baru. Sudah beberapa kertas yang ia buang karena merasa tidak cocok dengan apa yang ia tulis.

Ia tak memahami apa yang membuatnya seperti ini. Sebelumnya di dalam hidup Djavier, ia tak pernah sedikitpun meragu, meragu dalam hal apapun mengenai dirinya. Dia selalu percaya diri dan yakin. Tetapi kali ini, hanya menulis surat untuk istrinya, ia beberapa kali merobek kertas hasil tulisannya sendiri karena merasa isi pesannya kurang tepat.

Ia mengusap wajahnya dengan terlihat sedikit gusar. Ia mendadak bingung untuk menuliskan pesan yang akan ia sampaikan untuk istrinya itu.

Tetapi jauh di lubuk hatinya ia bertanya-tanya, apakah istrinya mengkhawatirkannya? Ia belum memberi kabar dari sejak kemarin, dan apakah akan banyak pesan yang masuk ke dalam handphonenya saat sinyal sudah di temukan?

Ada secerca harapan sekaligus keraguan di dalam hatinya. Tidak bisa di pungkiri lagi, ada rasa sakit kalau ternyata Amierra sama sekali tak mengkhawatirkannya. Tetapi ia bukan tipe orang yang akan mengambil kesimpulan hanya dari prasangkanya saja. Setidaknya ia harus mencoba dan baru menyimpulkan nanti hasilnya.

Iapun kembali membubuhkan tulisannya di dalam kertas putih bersih itu. Tetapi kali ini tak di robek atau di remasnya menjadi bulatan. Setelahnya ia melipat kertas itu dengan sangat rapi dan memasukkannya ke dalam amplop.

Setelahnya ia bergegas keluar tenda itu, dan tak jauh darinya. Di tempat landasan, sebuah Hellicopter militer masih ada di sana dengan beberapa orang berpakaian militer bersiap untuk kembali berangkat. Djavier berjalan mendekati mereka.

Saat sadar sang Kapten berjalan mendekati mereka. Mereka semua langsung berdiri tegak di tempatnya untuk memberi hormat ke sang Kapten.

Kini Djavier sudah berdiri di antara mereka yang memberi hormat. Setelahnya ia berjalan mendekati seorang anggota militer yang terlihat kurus tak jauh darinya.

"Romi," panggilnya.

"Siap, Kapt!"

"Saya titip surat ini untuk di kirim ke rumah orangtua saya."

"Siap, Kapt!"

Djavier menyerahkan amplop itu ke arah Romi yang langsung menerimanya.

Djavier tau kemana hellicopter ini akan berlabuh. Mereka akan pergi ke markas militer Infateri 2 yang ada di kota Malang. Dan Djavier tau, di sana pastilah ada sebuah kantor Pos Indonesia.

Setelah memberi laporan dan hormat, mereka semua akhirnya berangkat dengan Hellicopter Militer meninggalkan tempat itu.

Djavier masih berdiri di sana menatap Hellicopter itu dan berharap Amierra segera membaca dan membalas suratnya. Walau ini terlihat kolot, tetapi hanya ini yang bisa Djavier lakukan untuk mengabari istrinya itu.

***

Malam itu, langit terlihat gelap tanpa cahaya. Awan hitam memenuhi langit luas dan menutup bulan juga bintang yang biasanya memberi cahaya indah ke bumi. Tetapi malam ini bulan seakan enggan menunjukkan dirinya dan bersembunyi di balik awan hitam pekat yang membuat bumi begitu gelap.

Di dalam sebuah kamar yang sepi, Amierra terlihat menangis tanpa suara dengan memeluk bantalnya. Dadanya terasa begitu sesak, rasa sakit yang amat teramat ia rasakan di dalam hatinya.

Entah apa yang bisa ia lakukan, selain menangis seperti ini untuk meluapkan segala emosi dan rasa sakit di dalam hatinya. Kedatangan Fauzan yang tak di sangka-sangka sungguh membuatnya begitu terluka. Belum lagi dengan statusnya sekarang ini yang sudah menjadi istri dari pria lain.

Andai takdir tak sekejam ini, andai dirinya mampu mengubah takdir. Andai Fauzan saat itu memberinya kabar, pastinya dia akan menunggu dan membatalkan perjodohan ini. Beribu kata 'andai' memenuhi benaknya.

Tetapi sekarang semuanya sudah terlambat. Amierra memang bukan gadis yang baik, dan kadang juga membangkang. Tetapi ia juga memiliki keteguhan dalam hati dan setiap ucapannya. Ia memiliki prinsip hidup sendiri yang selalu ia pegang teguh.

Ucapan adalah sebuah janji, dan pastinya janji yang terlontarkan tak bisa di ingkari. Kalau begitu, maka sama saja diri itu sebagai pendusta, yang mendustai diri sendiri dan juga tuhan.

Sekuat tenaga ia menggigit bibir bawahnya hingga terasa perih, ia menahan isakannya keluar. Ia tidak ingin semua keluarga terbangun karena suara isakannya, apalagi di samping kamarnya adalah kamar adik iparnya yang pasti akan langsung mendengar suara isakan tangisnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel