Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 11

Setelah menikmati makan siang, mereka berdua berjalan-jalan menuju jembatan panjang itu. Banyak anak-anak remaja dan beberapa orang yang berjalan-jalan di sana, langit sudah mulai berubah warna menjadi warna jingga, karena mendekati petang.

Tak ada yang membuka suara, selain helaan nafas dan suara berisik dari yang lain.

"Ini namanya jembatan cinta yah," ucap Amierra saat mereka berdua berdiri di sisi jembatan.

"Sepertinya begitu, saya belum begitu tau."

"Paman, apa sebelumnya Paman punya kekasih?" pertanyaan Amierra membuat Djavier menoleh padanya.

"Kenapa bertanya seperti itu?"

"Aku rasa kita perlu pendekatan. Mungkin di mulai dari bercerita tentang diri kita sendiri, setidaknya bisa mengenal satu sama lain." Amierra mengedikkan bahunya.

"Begitu yah," ucap Djavier terdiam sesaat. "Saya tidak mengenal banyak wanita, saya tipe orang yang pendiam. Karena saya lebih suka bertindak daripada banyak berbicara," ucap Djavier membuat Amierra menoleh padanya.

"Saya hanya fokus dengan study saya dan masuk ke Akmil, tidak banyak waktu yang saya habiskan untuk bermain. Bahkan untuk mengenal seorang wanita," ucap Djavier.

"Wanita yang saya kenal hanya kamu dan juga Fatimah."

"Fatimah?" tanya Amierra mengernyitkan dahinya.

"Iya Fatimah, dia dulu adalah teman kuliah saya di Universitas Islam. Hanya jurusan kami yang berbeda, tetapi kami sama-sama masuk organisasi yang sama saat itu."

"Apa kalian berpacaran?" tanya Amierra.

"Tidak, saya tidak pernah berpacaran." Kekehnya. "Saya hanya mengenal satu hubungan, yaitu pernikahan. Dan menurut saya, pacaran itu tidak di perlukan."

"Apa Paman merasa benci atau gak suka sama orang yang pernah berpacaran?" tanya Amierra entah kenapa bertanya itu.

"Tidak, untuk apa saya benci. Saya tidak punya hak untuk melakukan itu," ucap Djavier. "Memang benar, dalam agama kita. Kita tak di haruskan untuk berpacaran, karena akan menjerumuskan diri pada dosa."

"Tetapi semuanya kembali pada diri kita sendiri. Biarkan saja Allah SWT yang menilai, bukan kita. Karena kita tidak bertugas untuk menilai prilaku atau kehidupan oranglain."

Amierra menatap kagum jawaban Djavier barusan, dia merasa Djavier ini berbeda dengan yang lain. "Tapi kan sesama manusia itu harus saling menegur dan mengingatkan. Jangan cuek dan tidak perduli saja,"

"Iya kamu benar, saya juga akan menasihati dan menegur saat adik saya atau kamu melakukan kesalahan. Tetapi tetap saja semuanya kembali ke diri masing-masing," ucap Djavier. "Bukankah lebih nyaman melakukan perubahan karena keinginan sendiri, daripada paksaan dari oranglain? Saling mengingatkan perlu, tetapi itu hanya untuk pertimbangan saja. Yang mengambil keputusan tetap saja pribadi masing-masing," jelas Djavier membuat Amierra menatapnya semakin kagum.

Pria ini sungguh dewasa. Pikirnya.

"Kembali lagi ke Fatimah yang tadi, apa Paman menyukainya?" tanya Amierra.

"Menyukainya, pernah. Saya menyukai tutur kata dan sikapnya yang lemah lembut dan begitu sopan. Hanya itu, sisanya mungkin harena hasutan setan." Djavier mengedikkan bahunya.

"Apa dia cantik?"

"Cantik, tidak ada seorang wanita yang tidak cantik."

"Aku tau, tapi maksudku apa dia di atas rata-rata wanita kebanyakan?"

"Saya tidak tau, karena cantik itu relatif. Ada kalanya dia terlihat cantik, ada juga tidak. Lagian cinta karena wajah yang cantik, akan habis termakan oleh waktu."

Amierra menatap manik mata tajam milik Djavier yang juga tengah menatapnya. Hembusan angin terasa menggelitik tubuh mereka berdua.

Amierra tersenyum kecil menatap Djavier. "Kenapa?" tanya Djavier.

Amierra menggelengkan kepalanya seraya menatap langit di depannya yang semakin menguning. "Mataharinya akan segera terbenam," ucap Amierra membuat Djavier menatap ke depannya.

Tak ada yang membuka suara selain menikmati keindahan di depan mereka.

"Aku memiliki masalalu bersama seorang pria, bahkan hubungan kami belum berakhir."

Djavier menoleh pada Amierra saat mendengar penuturan Amierra barusan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel