Bab 4 – Hujan yang Mengungkap Jejak
Langit Jakarta kembali kelabu. Awan menggantung berat di atas kepala kota, dan hujan turun seperti air mata yang tak pernah selesai ditumpahkan. Alea berdiri di balik jaket parasut birunya, matanya terpaku pada gang sempit yang menelan dirinya dua malam lalu saat hidupnya hampir berakhir, dan masa lalunya kembali membuka pintu.
Bukan karena nekat ia kembali ke tempat ini, tapi karena rasa penasaran yang telah menjelma jadi obsesi. Tempat ini bukan sekadar lokasi penembakan. Tempat ini adalah potongan kunci dari masa lalu yang selama ini ia pikir telah terkubur bersama jasad ayahnya.
Langkahnya berhenti di ujung gang. Angin membawa aroma aspal basah dan karat besi. Genangan air memantulkan bayangannya yang tampak jauh lebih rapuh dari biasanya.
Ia menatap dinding bata usang, mencoba mengingat persis di mana Revan atau siapa pun pria misterius itu menariknya malam itu.
Nalurinya membawanya ke sebuah sudut, di mana pipa-pipa besi bersandar tak rapi, dan di sanalah ia melihatnya.
Tiga huruf. L.R.F. Tertulis dengan spidol hitam di belakang tumpukan pipa karat. Masih baru. Mungkin baru beberapa hari. Jantung Alea berdetak lebih cepat.
Ia memotret coretan itu. Sebuah tanda yang menghubungkan kembali benang masa lalu. Huruf-huruf yang sama dengan yang tertera di foto lama ayahnya.
"Kenapa kalian selalu meninggalkan jejak, tapi tidak pernah menunjukkan diri sepenuhnya?" bisiknya pelan.
Hujan menetes dari ujung rambutnya, menyusup ke kerah, tapi ia tak bergeming. Tanpa ia sadari, seseorang memperhatikannya dari ujung gang. Sosok pria tinggi bersweater hitam dan topi yang menutupi sebagian wajah.
Ia berdiri dalam diam, memperhatikan Alea seakan mengukur jarak antara waktu dan luka.
Namun saat Alea menoleh, pria itu sudah tak ada.
Malamnya, Alea duduk di lantai kamarnya, dikelilingi kotak-kotak kenangan. Lampu temaram menerangi lembaran kertas tua, foto keluarga, dan potongan masa kecil yang kini terasa asing.
Ia membuka kembali map tua milik ayahnya. Di dalamnya terselip beberapa halaman dari penelitian yang belum pernah ia baca.
Judulnya: “Jejak Organisasi L.R.F di Asia Tenggara Hasan Mahendra”.
Tangannya gemetar. Ini bukan hanya penelitian biasa. Ada coretan tangan ayahnya di pinggiran halaman.
“Jika ini ditemukan, aku mungkin sudah tidak ada.” “Revan tahu lebih banyak dari yang ia akui.” “Alea harus dijauhkan dari mereka…”
Matanya menatap nama itu. Revan. Tidak bisa disangkal lagi.
Alea menyandarkan punggung ke tembok. Dadanya sesak. Kenapa semua ini baru muncul sekarang? Kenapa Revan, yang hanya hadir sejenak di masa kecilnya, tiba-tiba menjadi pusat dari segala pertanyaan yang tak berjawab?
Tangannya terulur mengambil permen merah di meja.
Permen itu tetap mengkilap, seperti waktu berhenti bekerja padanya. Sebuah simbol yang datang bersama kematian, dan kini, bersama bahaya.
Keesokan harinya, Alea bertemu dengan Raya di taman kampus. Daun-daun masih basah sisa hujan malam tadi.
“Aku gak tahu harus percaya siapa,” kata Alea sambil menatap langit mendung.
Raya mendengarkan dengan seksama saat Alea menceritakan tentang coretan di gang, tentang penelitian ayahnya, dan nama Revan yang terus muncul di antara kabut masa lalu.
“Kalau semua itu benar… berarti ayahmu tahu sesuatu yang berbahaya,” ujar Raya pelan. “Dan Revan mungkin bukan cuma orang asing yang tiba-tiba muncul.”
“Dia bukan orang asing.” Alea menatap sahabatnya. “Aku merasa… aku pernah mengenalnya. Jauh sebelum semua ini.”
“Kamu yakin kamu gak salah mengartikan semua?”
Alea menggeleng.
“Tatapan mata itu, suaranya, bahkan cara dia melindungiku… itu bukan sekadar insting. Itu… personal.”
Raya menunduk, lalu mengangguk pelan. “Kalau kamu percaya pada intuisimu, maka kamu harus lanjut. Tapi hati-hati, Le. Dunia yang kamu masuki sekarang, bukan dunia biasa.”
Malam itu, Alea kembali memandangi hasil pencariannya. Tidak ada berita tentang penembakan, tidak ada laporan polisi, tidak ada saksi mata. Seolah seluruh insiden itu dihapus dari sejarah kota.
Sampai akhirnya, sebuah email masuk.
Pengirim: anonim@protonmail.com. Subjek: Jangan sentuh L.R.F.
“Berhenti menggali, Alea. Ini bukan dunia untukmu.”
“Ayahmu mati karena terlalu ingin tahu.”
“Revan tidak bisa melindungimu selamanya.”
Alea menutup laptopnya dengan tangan gemetar. Ia mencoba mengatur napas. Tapi hatinya sudah terlanjur tenggelam. Ketakutan bukan lagi alasan untuk berhenti. Kini, ia punya alasan untuk terus maju.
Keesokan harinya, ia kembali ke gang itu. Ketiga kalinya. Tapi kali ini, ia tahu apa yang ia cari.
Ia menyusuri sisi kiri gang, dan di balik papan kayu lapuk, ia menemukan sepotong kertas plastik dilipat rapi. Ia membukanya dengan hati-hati.
Tulisan tangan dengan tinta biru terbaca jelas: “Kalau kamu sudah sejauh ini, maka kamu memang harus tahu. Tapi kamu harus siap kehilangan.” R Tangannya menggenggam kertas itu erat. Matanya tak bisa lagi menyembunyikan air mata.
Bukan karena takut, tapi karena kini ia sadar, ini lebih dari sekadar kenangan masa kecil. Ini adalah peperangan antara masa lalu dan masa depan yang menanti untuk meledak
.
Dan di tengah-tengahnya… adalah hatinya sendiri.
Alea melangkah perlahan meninggalkan gang itu. Gemericik hujan mengiringinya sampai ke halte kecil di ujung jalan. Di tangannya, surat dari Revan terlipat rapi, tapi isi kalimatnya terpatri jelas di benaknya.
Kehilangan?
Kata itu menampar hatinya. Ia sudah kehilangan ayahnya. Ia sudah kehilangan masa kecil yang tenang. Haruskah ia bersiap kehilangan lebih banyak lagi?
Sesampainya di kamar, Alea duduk bersandar di dinding, matanya menatap kosong ke langit-langit. Angin dari jendela membawa aroma hujan dan nostalgia.
Ia masih kecil waktu itu. Sekitar usia enam tahun. Duduk di pangkuan ayahnya di balkon rumah, menatap hujan dengan secangkir susu hangat.
“Kalau Alea besar, mau jadi apa?” tanya ayahnya sambil mengelus rambutnya.
“Penjaga hujan!” jawab Alea polos.
Ayahnya tertawa kecil. “Kenapa hujan?”
“Karena hujan bikin semua orang ingat sesuatu...
Jadi Alea bisa bantu orang-orang gak lupa.”
Ayahnya terdiam cukup lama saat itu. Lalu memeluknya erat. “Kamu memang berbeda, Nak. Dan itu yang paling ayah banggakan.”
Kembali ke masa kini, air mata Alea mengalir tanpa suara. Bukan karena sedih, tapi karena rasa kehilangan itu kembali mengetuk seperti tamu lama yang tak pernah benar-benar pergi.
Ia menatap foto ayahnya yang terpajang di rak kecil. Lalu pada permen merah di meja.
Dulu permen itu adalah pengingat masa lalu. Sekarang, ia merasa... itu adalah kompas. Penunjuk arah ke sesuatu yang jauh lebih besar.
“Ayah... kalau aku salah langkah, maafkan aku,” bisiknya pelan.
Tapi hati kecilnya tahu, ini bukan kesalahan. Ini adalah jalan yang memang harus ia lalui.
Ia tahu, ini baru permulaan.
