Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 – Jejak di Antara Kenangan

Matahari pagi menyelinap malu-malu lewat jendela kamar Alea. Tapi sinarnya yang hangat tak mampu mengusir kegelisahan yang bersarang di dadanya. Pikirannya masih dipenuhi bayang-bayang peristiwa semalam, dan lebih dari itu bayangan pria bermata hitam yang muncul dalam hidupnya seperti hantu dari masa lalu.

Pagi harinya, Alea duduk termenung di meja belajar, memandangi permen merah yang masih ia genggam sejak semalam. Bungkusnya sudah lembap, tapi warna merahnya tetap mencolok seolah tidak berubah sejak belasan tahun lalu.

Ia tahu tidak mungkin hanya kebetulan. Tatapan mata itu, suara berat yang melindunginya, dan cara pria itu menyebut namanya seolah mengenalnya lebih dalam dari siapa pun.

Alea membuka laptopnya. Ia mulai mencari berita tentang penembakan yang terjadi di sekitar stasiun. Tidak ada satu pun media yang memberitakan. Seolah kejadian itu disembunyikan. Seolah tidak pernah terjadi.

Rasa penasaran berubah menjadi kegelisahan. Ia mencoba mengingat masa kecilnya, mencoba mencocokkan wajah pria itu dengan memori samar tentang bocah pemilik permen merah di pemakaman ayahnya.

Sebuah ide muncul. Ia mengambil kotak kecil dari lemari pakaian, membuka isi kenangan lama foto keluarga, surat dari ayahnya, dan… satu lembar gambar yang pernah ia buat saat kecil. Gambar dua anak berdiri di bawah hujan, dan di tengahnya sebuah permen merah.

Ia tak sadar air matanya mengalir. Bukan karena takut, tapi karena perasaan familiar yang menyakitkan. Luka lama terbuka kembali, dan rasa penasaran berubah menjadi kebutuhan.

Siapa dia?

Kenapa dia muncul lagi setelah sekian lama?

Dan kenapa jantung Alea berdetak tak karuan setiap kali mengingat matanya?

Alea menghapus air mata. Ia tahu satu hal ia tidak bisa lagi tinggal diam.

Hari itu, ia akan mencari tahu siapa pria itu. Bahkan jika itu berarti membuka kembali lembaran masa lalu yang telah dikubur bersama darah dan kehilangan.

Esok harinya, ia menyusuri kembali gang sempit itu untuk ketiga kalinya. Tapi langkahnya kini lebih pasti. Ia tak lagi takut, hanya haus akan kebenaran.

Di ujung gang, ia melihat sosok pria tua yang sedang menyapu halaman warung kecil. Bajunya kusam, dan matanya menyipit tajam menatap setiap gerak-gerik Alea. Dengan ragu, ia mendekat.

“Pak, semalam ada kejadian tembakan di sini. Bapak dengar sesuatu?”

Pria itu menatapnya lama, lalu melirik ke kanan dan kiri. “Kamu bukan wartawan kan?”

Alea menggeleng. “Saya hanya... mencari seseorang.”

“Kalau begitu, hati-hati, Nak. Daerah sini bukan tempat aman untuk tanya-tanya. Banyak yang lebih memilih diam daripada hilang.”

Kata-kata itu mengirimkan aliran dingin ke tulang belakang Alea. Tapi ia tahu, justru itu artinya ia berada di jalur yang benar.

Wajah pria tua itu menegang. Ia mendekat, suaranya merendah. “Kalau kamu nyari yang matanya kayak jurang gelap... dia bukan orang sembarangan. Dulu dia dipanggil Revan. Tapi namanya sekarang… disembunyikan dari semua catatan.”

Alea terpaku. Revan. Nama itu seperti memicu getaran dalam dadanya. Ia mengulang-ulang nama itu dalam hati, seperti mantra. Tapi pria tua itu belum selesai.

“Anak muda itu dulunya bagian dari keluarga yang... nggak semua orang berani sebut. Mereka bukan geng biasa. Mereka... bayangan.”

“Bayangan?” tanya Alea pelan.

“Kalau kamu cerdas, kamu nggak akan tanya lebih dari itu. Tapi kamu bukan cerdas. Kamu penasaran.”

Pria tua itu lalu masuk ke dalam warungnya, menutup pintu tanpa sepatah kata pun lagi.

Alea berdiri lama di depan pintu itu. Kata-kata pria tadi membekas di telinganya. Keluarga bayangan? Revan? Apa hubungan mereka dengan ayahnya? dan apa maksud perkataannya itu?

Sore itu, Alea duduk di kamarnya dengan laptop terbuka. Ia menelusuri semua informasi soal nama Revan, organisasi rahasia, dan keluarga bayangan. Tak ada hasil. Tapi ia tak menyerah.

Ia kembali membuka tumpukan dokumen peninggalan ayahnya. Di salah satu map lusuh, ia menemukan sebuah foto lama: ayahnya berdiri bersama tiga pria berpakaian jas hitam. Di pojok kanan bawah, tertulis inisial: L.R.F.

L.R.F. tiga huruf yang tampak biasa tapi terasa mengancam. Ia merasa pernah mendengar sesuatu serupa di film-film kriminal... atau mungkin, pernah disebutkan seseorang di masa lalu?

Dengan jantung berdebar, Alea memperbesar gambar. Salah satu dari pria di foto itu—berdiri paling kanan memiliki mata yang... ya, mata itu. Hitam. Dalam. Sunyi. Mirip Revan. Tapi wajahnya lebih dewasa. Ia berlari ke cermin dan menatap dirinya sendiri. “Apa aku sebenarnya sudah mengenalnya sejak dulu?” bisiknya.

Malam itu, Alea menghubungi Raya. Ia hanya menceritakan sebagian, tapi cukup untuk membuat sahabatnya cemas.

“Lo tahu kan, ini kayak kisah pembunuhan politik atau organisasi gelap? Ayah lo dulu kerja apa sih, Le?”

“Dia jaksa. Tapi… aku mulai curiga itu cuma separuh kebenaran.”

“Kalau Revan beneran bagian dari organisasi rahasia, dan kamu masuk ke lingkaran itu... kamu harus hati-hati. Bisa jadi, kamu bukan sekadar orang yang diselamatkan. Bisa jadi kamu adalah... target.”

Apakah mungkin pria dalam foto itu adalah ayah Revan?

Atau Revan sendiri... lebih tua dari yang ia kira?

“Kamu yakin nggak halusinasi? Bisa jadi kamu kecapekan dan panik gara-gara suara tembakan,” kata Raya sambil menyeruput kopi.

“Kalau begitu, gimana kamu jelasin surat ini?” Alea menunjukkan kertas kecil yang ia temukan di balik batu.

Raya memandang lekat. Ekspresinya berubah. “Ini kayak… pesan pribadi. Dan kamu yakin ini orang yang sama dengan anak kecil di pemakaman itu?”

“Aku nggak yakin… tapi hatiku merasa iya.”

Raya menarik napas panjang. “Kalau gitu, mungkin kamu harus gali lebih dalam. Tentang ayahmu. Tentang kematiannya. Dan tentang siapa aja yang hadir di pemakaman hari itu.”

Kata ‘target’ menggema di kepala Alea semalaman. Tapi anehnya, ia tidak takut. Ada sesuatu yang jauh lebih dominan dari rasa takut—rasa ingin tahu. Dan… rindu. Rindu akan sesuatu yang tidak pernah ia miliki, tapi terasa sangat dekat. Apakah itu Revan? Ataukah bagian dari dirinya yang tertinggal di makam ayahnya dulu? Kata-kata itu menggugah Alea. Ia sadar, ia tak pernah benar-benar mempertanyakan kematian ayahnya. Semua dianggap kecelakaan. Tapi bagaimana jika… itu bukan kecelakaan?

Malam itu, Alea nyaris tak tidur. Hanya menatap langit-langit sambil menggenggam permen merah. Ia sadar hidupnya tak akan lagi sama. Pertanyaan demi pertanyaan muncul, dan satu perasaan tumbuh makin kuat:

Ia sedang diawasi.

Dari balik jendela, di kejauhan, ada bayangan berdiri di atap gedung seberang. Tak bergerak. Hanya menatap jendela kamarnya.

Ketika Alea menoleh untuk memastikan… bayangan itu menghilang.

Dan jika ia harus menempuh jalan berbahaya demi menemukan siapa pria itu, Alea siap.

Apapun risiko dan jawabannya nanti.

Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Alea duduk di ambang jendela, lampu kamar sengaja dimatikan. Di luar sana, suara angin menggesek dedaunan seperti bisikan tak dikenal. Ia merasakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan seolah udara malam menyimpan rahasia yang belum siap dibuka.

Menjelang tengah malam, ia menyalakan kembali laptopnya. Tapi bukan untuk mencari berita. Kali ini, ia menulis sesuatu di halaman kosong:

“Jika kamu membaca ini… aku tidak marah. Aku hanya ingin tahu siapa kamu. Kenapa kamu selalu muncul saat aku kehilangan sesuatu? Dan kenapa aku merasa... kamu tidak pernah benar-benar pergi?”

Malam semakin larut. Saat ia hendak menutup jendela, pandangannya tertumbuk pada sesuatu di lantai balkon. Sebuah lipatan kecil.

Dengan tangan gemetar, Alea membukanya. Kertas itu hanya bertuliskan satu kalimat:

“Aku di dekatmu bukan untuk menyakitimu, tapi untuk melindungimu… sampai akhir.”

Tidak ada tanda tangan. Hanya aroma samar parfum pria yang anehnya… familiar. Dan jejak satu tetes air hujan yang entah bagaimana jatuh tepat di atas kata "akhir".

Ia mencetak pesan itu, lalu keluar ke balkon.

Angin malam menusuk kulit, tapi ia bertahan. Ia melipat kertas itu rapi, meletakkannya di pinggir balkon, di atas sebuah kancing mantel hitam yang tadi ia temukan di gang.

Kemudian ia berbisik pada angin, “Kalau kamu masih mengawasi… bacalah ini.”

Tak lama setelah ia masuk kamar dan mematikan lampu, dari kejauhan di atas gedung seberang sesosok bayangan berdiri. Tak bergerak, tak menyapa. Tapi keberadaannya cukup untuk membuat dada Alea berdebar lebih keras dari biasanya.

Dan esok paginya… kancing mantel itu hilang. Tapi kertasnya masih ada.

Dengan tambahan satu kalimat baru tertulis di bawah tulisannya sendiri:

“Aku membaca semuanya. Tapi aku belum siap menjawab.”

Alea menutup mata. Matanya basah, tapi bukan karena takut. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang memberinya harapan… dan ketakutan yang lebih dalam: bahwa ia dan Revan mungkin punya masa lalu yang belum selesai, dan masa depan yang tak bisa mereka hindari.

Alea tahu, hidupnya tak akan pernah kembali normal.

Ia bukan lagi hanya mahasiswi hukum biasa. Ia bagian dari cerita yang jauh lebih besar, cerita yang ditulis dengan darah, kehilangan… dan cinta yang tak pernah sempat terucap.

Alea menutup matanya.

Ia tahu, ini baru permulaan.

Dan dunia yang sebentar lagi ia masuki… bukan dunia yang mengenal kata aman.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel