
Ringkasan
Hujan, kematian, dan permen merah—itulah awal segalanya. Alea tumbuh dengan luka masa lalu dan kenangan tentang seorang anak laki-laki misterius yang hadir saat dunia runtuh. Bertahun-tahun kemudian, ia kembali bertemu sosok itu—dalam gelap, dengan peluru yang bersarang dan tatapan yang tak berubah. Siapa dia? Dan kenapa ia selalu muncul di saat Alea kehilangan segalanya?
Bab 1 Permen merah di pemakaman
Hujan deras mengguyur langit Jakarta sejak pagi hari, seolah turut berduka atas kepergian seseorang yang begitu berarti dalam hidup Alea. Di antara deretan payung hitam dan pakaian serba gelap, seorang gadis kecil berdiri mematung di depan pusara ayahnya. Usianya baru sembilan tahun, namun sorot matanya memancarkan luka yang lebih tua dari usianya. Alea sangat terpukul atas kepergian ayahnya karena bagi alea ayahnya adalah sosok yang bisa dijadikan panutan di dalam hidupnya. Ia sangat berharap suatu saat ketika ia memiliki pasangan yang akan menemani hidupnya seseorang itu sama seperti ayahnya
Tangan mungil Alea menggenggam bingkai foto dan setangkai bunga lili putih bunga kesukaan ayahnya. Sepatu kecilnya tenggelam dalam becek tanah pemakaman, dan jas hujan birunya sudah basah kuyup. Tapi Alea tidak bergerak. Ia menatap nisan batu yang baru dipasang dengan mata merah dan bengkak.
Kenangan akan ayahnya mengalir deras seperti hujan yang membasahi tanah. Ayah yang selalu menjemputnya sepulang sekolah, ayah yang menyuapinya nasi goreng kesukaan setiap malam, ayah yang berkata, “Kamu harus jadi perempuan yang kuat, Alea. Dunia ini tidak selalu adil, tapi kamu harus berdiri tegak.”
Semua orang mulai meninggalkan lokasi pemakaman, satu per satu. Para pelayat, saudara jauh, bahkan ibunya yang telah lebih dulu menangis sampai suara habis. Namun Alea tetap di sana, membisu. Seolah jika ia tinggal sedikit lebih lama, ayahnya akan kembali membuka mata dan memanggil namanya.
Ibunya menyentuh bahunya perlahan. “Alea, kita pulang, Nak. Ayahmu sudah tenang.”
Tapi Alea tak menjawab. Ia terlalu tenggelam dalam kesedihan. Dunia yang ia kenal telah runtuh. Tak ada lagi tawa ayah di ruang makan, tak ada lagi pelukan hangat, tak ada lagi cerita pengantar tidur
“Ayah... jangan tinggalin Alea...” bisiknya pelan, hampir tak terdengar oleh siapa pun.
Beberapa orang penggali makam mulai membereskan peralatan mereka. Hujan belum juga reda. Alea masih berdiri sendiri di antara gundukan tanah basah.
“Alea.”
Suara itu tidak datang dari ibunya, bukan pula dari paman-pamannya. Alea menoleh. Seorang anak laki-laki seumurannya berdiri di bawah hujan, tanpa payung. Rambutnya basah dan menutupi sebagian wajah, matanya hitam pekat dan dalam, seperti menyimpan terlalu banyak rahasia.
Ia mengenakan kemeja putih dan celana kain hitam tampak seperti ikut dalam pemakaman, tapi wajahnya asing. Ia tidak tersenyum. Ia tidak menangis. Ia hanya mendekat, lalu mengulurkan tangan. Di telapak tangannya, ada sebuah permen merah, dibungkus plastik bening yang mengilat basah oleh hujan.
Alea menatapnya bingung. “Siapa kamu?”
Anak itu tidak menjawab. Ia menggenggam tangan Alea, meletakkan permen itu perlahan, lalu berbalik dan pergi begitu saja. Tidak ada nama. Tidak ada kata perpisahan. Tapi sejak saat itu, Alea tahu satu hal ia tidak benar-benar sendirian.
Ibunya kembali memanggil, tapi Alea masih menatap punggung anak itu yang perlahan menghilang di antara gerimis dan kabut. Ada sesuatu yang aneh dalam hatinya sebuah kehangatan aneh di tengah duka.
Permen merah itu ia genggam erat sepanjang perjalanan pulang. Bahkan saat ibunya memintanya makan, mandi, atau tidur, permen itu tetap ada di tangan kanannya. Ia tidak memakannya. Ia hanya memandangi warnanya, mencoba memahami maksud dari pemberiannya.
Malam itu, Alea bermimpi. Dalam mimpinya, ayahnya berdiri di tepi pantai, tersenyum sambil melambai. Di sebelahnya, berdiri anak laki-laki pemberi permen merah, menatap Alea dengan sorot mata yang samasunyi, tapi dalam.
Esoknya, saat ia bangun, permen itu masih ada di meja samping tempat tidurnya. Tak berubah bentuk. Tak meleleh. Seolah menjadi jimat kecil yang menjaga kenangannya.
Sejak saat itu, Alea tak pernah lagi melihat anak laki-laki itu. Ia bahkan tak tahu namanya, atau dari mana asalnya. Tapi setiap kali merasa sedih atau takut, ia akan memandangi permen merah yang kini disimpannya dalam kotak kecil di laci meja.
Beberapa hari kemudian, Alea kembali ke sekolah. Teman-temannya menyambut dengan canggung. Tak banyak yang tahu harus berkata apa kepada anak yang baru kehilangan ayah. Tapi Alea tidak peduli. Di dalam tasnya, permen merah itu selalu ada.
Saat waktu istirahat, ia memeriksa seluruh kelas. Tak satu pun anak laki-laki yang ia lihat memiliki wajah seperti anak yang muncul di pemakaman. Ia bahkan bertanya diam-diam kepada beberapa guru, berharap ada nama atau petunjuk. Tapi tidak ada yang tahu siapa anak itu.
Hari berganti minggu. Rasa penasaran tumbuh bersamaan dengan kenangannya. Alea mulai mencoret-coret di buku harian kecilnya, menggambar permen merah berulang kali. Kadang ia membayangkan anak itu datang kembali, kali ini dengan namanya, atau menjelaskan mengapa ia memberikannya permen saat semua orang pergi.
Tahun itu menjadi tahun yang penuh kehilangan, tapi juga awal dari pertanyaan besar yang terus menghantui Alea.
Permen merah itu menjadi simbol. Sebuah janji bisu. Dan bertahun-tahun kemudian, saat dunia Alea kembali runtuh, permen itu muncul lagi dari tangan yang sama, dengan tatapan yang sama.
Tapi dunia mereka sudah berbeda. Dan kali ini, hujan membawa lebih dari sekadar kenangan. Ia membawa bahaya. Dan cinta.
