Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 – Revan dan Luka yang Tersembunyi

Hujan kembali turun di tengah malam Jakarta. Tapi kali ini, bukan Alea yang berdiri menatap langit kelabu.

Revan, dengan luka basah di sisi perutnya, terduduk di balik dinding bangunan kosong di kawasan pelabuhan lama. Nafasnya terengah, darah menetes dari jas hitamnya dan membentuk pola aneh di tanah kotor.

"Brengsek... mereka tahu aku mengawasi Alea," desisnya pelan, menggertakkan gigi.

Tangannya gemetar, tapi bukan karena luka. Tapi karena nama yang didengarnya tadi dari musuhnya nama yang sudah lama ia kira terkubur: Mahendra.

Ayah Alea.

Pertemuan itu berlangsung di gudang bawah tanah yang dikelilingi mafia Ukraina. Revan masuk sebagai bayangan. Misinya: mencuri dokumen penting yang berisi daftar transaksi senjata internasional. Tapi rencana itu berubah ketika ia menemukan sesuatu yang lain.

Sebuah foto tua, berbingkai emas, tergantung di salah satu lemari besi foto seorang pria berkumis tebal berseragam jas hitam, memeluk anak kecil berambut panjang. Di bawahnya tertulis: Hasan Mahendra, The Crimson Pact.

Itu adalah ayah Alea.

Revan menegang. Tapi ia tak sempat berpikir lebih jauh ketika peluru mulai menghujani ruangan. Ia bertarung habis-habisan, dan dalam kekacauan itu, satu peluru menembus sisi tubuhnya.

Kini, bersandar di dinding, Revan membuka ponselnya. Ia memutar ulang rekaman yang ia curi dari ruang itu rekaman suara pria dengan aksen berat Rusia: “Putri Mahendra masih hidup. Kita hanya butuh dia… dan L.R.F akan jatuh.”

Tangannya mengepal. Revan tak pernah tahu kalau Alea selama ini hidup dengan nama marga yang asli. Ia mengira Hasan Mahendra benar-benar keluar dari dunia mafia. Tapi nyatanya... darah Alea tak kalah merah dari darah Revan sendiri.

Sementara itu, di kamar kosnya, Alea termenung di depan laptop. Ia memandangi ulang hasil scan dokumen milik ayahnya terutama lambang kecil di pojok bawah kertas yang baru ia sadari. Sebuah ukiran singa bersayap membawa pedang.

Logo itu persis seperti yang tertera di kertas lama yang ia temukan di bawah laci lemari tua rumah ibunya. Dan sekarang, ia temukan lagi di foto masa kecilnya bersama ayah.

“Ayah... siapa kamu sebenarnya?” gumamnya.

Flashback Alea usia 5 tahun.

"Ayah kerja apa, sih?" Hasan Mahendra tertawa."

"Ayah... menjaga kota ini dari orang-orang jahat."

"Jadi polisi?" Alea menatapnya polos.

"Wah, lebih dari itu." Hasan mengelus rambutnya.

"Kalau Alea besar nanti, kamu akan tahu. Tapi

janji ya... jangan pernah tanya siapa ayah sebenarnya."

Alea menutup laptopnya. Ia merasa dadanya sesak. Ada terlalu banyak kebetulan akhir-akhir ini—tropi permen merah, kemunculan pria bertopeng, dan sekarang... jejak tentang ayahnya yang bukan orang biasa.

Ia berdiri, berjalan ke laci, dan membuka kembali kotak foto lamanya. Di balik satu foto yang sedikit pudar, terselip selembar kertas kecil.

“Alea, jika kamu menemukan ini… maka kamu berada dalam bahaya. Carilah Revan. Dia tahu semuanya. Tapi kamu harus hati-hati. Karena darah kita… tidak pernah mati.”

Tangan Alea gemetar.

Revan bangkit dari persembunyiannya. Luka di sisi tubuhnya masih mengucurkan darah, tapi matanya tak kehilangan sorot.

Ia tahu satu hal: Alea dalam bahaya. Dan lebih dari itu, ia tahu Alea harus segera tahu siapa dirinya sendiri.

Revan membuka loker rahasia di markas kecilnya. Di dalamnya tersimpan file bertanda merah: Protokol Alea.

Ia menarik napas dalam-dalam. "Aku tak bisa menyelamatkan Hasan. Tapi aku akan menyelamatkan anaknya… bahkan jika itu berarti, aku harus mati."

Revan membuka file dengan tangan bergetar. Di dalamnya ada: Laporan intelijen ayah Alea yang membelot dari organisasi, peta struktur mafia L.R.F cabang Asia Tenggara, dan satu lembar laporan kecil berjudul: Putri Kunci Alea

Mahendra, target eliminasi atau perlindungan?

Revan membacanya pelan. Matanya memerah. "Aku harusnya menjauh... tapi aku gagal."

Ia berdiri, berjalan ke jendela, menatap hujan yang masih turun.

Sementara itu, Alea berdiri di kamar mandi, menatap wajahnya di cermin. Air mengalir, membasahi wajahnya. Tapi bukan air hujan. Air mata.

“Aku ini siapa?” bisiknya.

Bayangan ayahnya, pria bertopeng, dan permen merah itu menari-nari di kepalanya. Kenangan samar mulai kembali potongan masa kecil yang tak ia sadari penting.

Ingatan tentang lelaki yang sering mengunjungi rumah mereka tengah malam, saat ibunya tertidur.

Pria dengan suara berat dan mata hitam.

Mata Revan.

Flashback Alea usia 6 tahun.

Ia pernah terbangun diam-diam dan melihat ayahnya berbicara dengan seorang remaja laki-laki di ruang belakang rumah. Remaja itu mengenakan jas gelap dan membawa pistol kecil.

“Dia masih terlalu kecil untuk tahu,” kata pria itu.

Ayahnya mengangguk. “Kalau aku mati duluan, kamu tahu apa yang harus dilakukan.”

Alea kini menyadari pria itu... adalah Revan muda.

Revan membuka saku jasnya, mengeluarkan sepotong kain kecil yang robek potongan baju Alea waktu kecil yang pernah ia selamatkan saat terjadi penyerangan ke rumah Mahendra 12 tahun lalu. Kain itu masih tersimpan, walau usang dan penuh noda darah lama.

“Aku gagal jaga kamu waktu itu…” bisiknya. “Tapi tidak sekarang.”

Di sisi lain kota, seseorang sedang mengamati rumah kos Alea. Laki-laki bertubuh besar, berpakaian hitam dan berkacamata gelap, berbicara pelan melalui earpiece.

“Target mengarah ke aktivasi. Siapkan fase dua. Gunakan metode emosi.”

Suaranya tajam. “Kita akan menjatuhkan dia… lewat cinta.”

Malam semakin dalam. Dan di antara luka, dendam, dan perasaan yang belum terucap, Revan dan Alea berdiri di dua sisi dunia yang saling mengintai.

Dunia mereka akan segera bertabrakan, bukan hanya karena masa lalu… Tapi karena cinta yang terbentuk dari darah pertama.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel