Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 – Satu Tembakan, Dua Ingatan

Jakarta, tujuh belas tahun kemudian.

Langit malam tampak kelabu. Lampu jalan redup menerangi gang sempit dekat stasiun, di mana Alea sekarang mahasiswi semester akhir fakultas hukum berjalan cepat sambil menenteng tas punggung. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma aspal basah dan genangan di sela-sela jalan.

Hari itu terlalu panjang. Presentasi skripsi, revisi, dan debat kelas membuat kepalanya nyaris pecah. Ia hanya ingin pulang, tidur, dan melupakan semuanya. Tapi takdir sepertinya punya rencana lain.

Terdengar suara langkah kaki. Lalu suara berlari. Diikuti suara bentakan dalam bahasa asing bahasa Rusia? Entah. Alea mempercepat langkahnya. . Ia menoleh sesekali, memastikan tak ada yang membuntutinya. Perasaannya tak enak.

“Kamu pikir bisa kabur?!”

Letusan senjata memecah malam. Suaranya tajam dan membelah udara seperti petir. Alea refleks menjatuhkan tubuh ke tanah, bersembunyi di balik tumpukan kardus dan tong sampah. Jantungnya berdetak begitu keras hingga terasa di telinga. Nafasnya tercekat. Ini bukan latihan. Ini nyata. Ia ingin menjerit, tapi ketakutan menahan semuanya di tenggorokannya

Tiga pria berpakaian gelap berlari melewati gang, mengejar seseorang. Suara peluru mengenai dinding. Debu dan percikan batu beterbangan. Alea menggigil. Kakinya lemas. Ia tidak tahu harus melawan atau diam. Ia hanya bisa berdoa. Ia melihat bayangan seseorang melompat dari satu sisi dinding ke sisi lain, lincah seperti bayangan hitam.

Tiba-tiba, sebuah tangan menariknya dengan kasar dari tempat persembunyiannya. Alea menjerit tertahan, siap melawan, tapi tangan itu menutup mulutnya.

“Diam. Aku bukan musuhmu.”

Suaranya berat, rendah, dan penuh ketegasan. Mata Alea menatap pemilik suara itu. Seketika tubuhnya membeku.

Pria itu mengenakan mantel hitam panjang, wajahnya setengah tertutup topi dan masker. Namun matanya… mata hitam yang sama. Dalam. Terluka. Dan anehnya… familiar. Bahkan dalam cahaya minim, tatapannya menusuk hingga ke dasar hati.

“Kau…?” Alea berbisik pelan.

Pria itu tidak menjawab. Ia menarik Alea ke balik tembok, memeluk tubuhnya erat untuk melindungi dari rentetan peluru lain yang mendekat. Hembusan napasnya terasa di telinga Alea. Napas berat. Napas seseorang yang telah melalui banyak hal.

“Tutup mata kamu. Jangan bergerak.” Suaranya kini berubah lembut, seolah mencoba menenangkan badai dalam dada Alea.

Waktu seakan berhenti. Alea merasa hangat, meski dingin menempel di kulitnya. Tubuh pria itu, pelukannya… terasa seperti rumah. Seperti pernah ia kenal. Seperti… dulu.

Alea ingin bertanya banyak hal, tapi suaranya tertahan. Ia hanya bisa merasakan detak jantung pria itu yang menenangkan, dan untuk sesaat, rasa takut berubah menjadi rasa aman yang ganjil.

Suara sirene samar mulai terdengar dari kejauhan. Suara tembakan menghilang, digantikan oleh langkah-langkah tergesa menjauh, pria itu melepaskan pelukannya perlahan. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku mantel sebuah permen merah. Ia meletakkannya di tangan Alea.

“Kamu masih hidup, Alea. Dan itu yang terpenting.”

Sebelum Alea sempat bertanya, pria itu sudah menghilang di balik kegelapan gang. Meninggalkan hanya jejak langkah, aroma mesiu… dan satu permen merah yang menciptakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Alea terduduk lemas, tubuhnya gemetar. Di tangan kanannya, permen itu berkilau oleh cahaya lampu jalan. Dalam pikirannya, kenangan lama kembali membanjiri. Pusara ayahnya. Anak laki-laki misterius. Senyap, permen merah, dan tatapan dalam yang menghantui Pusara ayahnya. Anak laki-laki misterius. Senyap, permen merah, dan tatapan dalam yang menghantui.Apakah mungkin… dia adalah orang yang sama?

“Tidak mungkin…,” gumam Alea.

Dan jika iya… siapa dia sebenarnya?

Tangannya meremas permen itu. Dunia Alea yang tadinya hanya berputar di kampus, tugas, dan keluarga… kini terguncang. Ia tahu, malam ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar dari yang bisa ia bayangkan.

Keesokan harinya, ia tidak langsung pergi ke kampus. Ia menyusuri gang tempat peristiwa semalam terjadi. Di dinding tempat peluru menancap, masih ada bekas luka aspal yang belum sempat dibersihkan. Alea berdiri lama di sana, membayangkan kembali detik-detik saat ia hampir kehilangan nyawanya.

"Jangan ikut campur, Alea. Dunia ini tidak untukmu. -R"

Huruf 'R' itu membuat Alea terpaku. Ia mengenal hanya satu orang yang pernah mengucapkan namanya seperti itu, yang pernah hadir di masa kecilnya tanpa nama, hanya meninggalkan permen merah.

Air mata menggenang di sudut matanya. Bukan karena takut. Tapi karena kini ia tahu, masa lalunya bukan sekadar mimpi masa kecil. Ia mulai menyadari bahwa pria itu tidak pernah pergi.

Sepanjang malam Alea tak bisa tidur. Ia menyalakan laptop, mencari berita, menggali forum-forum gelap, bahkan mencoba mencocokkan inisial 'R' dengan organisasi kriminal internasional. Tapi semuanya buntu. Tidak ada informasi yang relevan. Seolah semuanya diselimuti kabut

Namun satu hal pasti pertemuan itu bukan kebetulan. Dan Alea tidak bisa pura-pura tidak peduli. Sesuatu dalam dirinya berkata: ini lebih dari sekadar takdir. Lalu Ia berjalan menyusuri arah kaburnya pria bertopeng semalam. Di ujung gang, ia menemukan secarik kertas kecil terlipat rapi dan terselip di balik tiang listrik. Hatinya berdegup saat membukanya.

Dan siapa pun pria itu, dia bukan hanya bagian dari masa lalunya.

Dia adalah kunci dari rahasia yang lebih dalam.

Meski tubuhnya masih bergetar, Alea tak bisa mengalihkan pikirannya dari satu nama: ayahnya. Malam itu, ia kembali membuka laci kecil di kamar, tempat ia menyimpan semua hal yang berkaitan dengan sang ayah—yang selama ini hanya ia kenang, tapi tak pernah ia selidiki.

Ia menemukan surat tulisan tangan yang belum pernah ia baca. Surat itu ditulis ayahnya seminggu sebelum kematiannya. Tulisannya tegas tapi terburu-buru, seperti seseorang yang tahu waktunya tak lama lagi

"Untuk Alea,

Jika suatu saat kamu membaca surat ini, artinya kamu mulai melihat bayangan yang dulu kusembunyikan.Aku tidak menyesal menjadi bagian dari dunia itu. Tapi aku menyesal tak bisa menjauhkan kamu darinya.

Maafkan ayah."

Tangannya gemetar. Air mata menetes tanpa ia sadari. Dunia yang selama ini ia pikir sudah cukup rumit, ternyata hanyalah permukaan dari sesuatu yang jauh lebih dalam dan gelap.

Alea menatap surat itu lama, lalu mengalihkan pandangan ke permen merah yang kini tergeletak di atas buku catatan. Rasanya dunia masa kecil, mimpi buruk, dan realita yang ia jalani sekarang perlahan-lahan menyatu.

Dia bukan lagi hanya mahasiswi hukum.

Dia adalah anak dari seseorang yang pernah menyembunyikan rahasia besar.

Dan sekarang, seseorang 'R' sedang menyeretnya kembali ke dalamnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel