Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 : Gairah Dalam Kegelapan

Bab 5: Gairah dalam Kegelapan

Kos-kosan Raven berubah menjadi ruang pengadilan bagi dirinya sendiri. Dinding-dindingnya yang lembab seakan menyaksikan setiap kejatuhannya. Setelah efek dari tulisannya yang terakhir—pengakuan kosong dari orang-orang di sekitarnya—Raven menghabiskan dua hari berikutnya dalam kondisi setara dengan mabuk berat. Dia tergeletak di lantai, tubuhnya lemas bukan hanya karena kelelahan fisik yang ekstrem, tetapi karena kehancuran moral yang menyelubunginya.

Dia telah menjadi seorang diktator yang tidak kasat mata, memaksa seluruh dunia sekitarnya untuk berbohong. Itu bukan kekuasaan; itu adalah parodi yang menyeramkan dari kekuasaan. Dan yang paling mengerikan adalah, di kedalaman jiwanya, di balik semua rasa jijik dan ketakutan, ada bagian dirinya yang menikmatinya. Bagian yang lemah dan haus pengakuan itu merasa puas, sekalipun itu palsu.

Sekarang, dia memahami peringatan pemilik toko buku tua itu. "Harga yang tidak semua orang sanggup bayar." Itu bukan tentang uang. Itu tentang jiwanya.

Namun, seperti kecanduan paling buruk, jeda kesadaran itu tidak bertahan lama. Rasa lapar akan sensasi itu—sensasi tak tertandingi saat realitas menunduk pada kehendaknya—kembali menggigit. Kekosongan yang ditinggalkan oleh pengakuan palsu itu justru membuatnya ingin mengisinya dengan sesuatu yang lebih nyata, lebih besar.

Buku itu sendiri sepertinya merasakan keragu-raguannya. Pada malam ketiga, saat Raven hampir memutuskan untuk mengunci benda itu dan melemparkan kuncinya jauh-jauh, sesuatu yang aneh terjadi.

Dia terbangun dari tidur yang gelisah oleh suara gemerisik. Awalnya dia mengira itu tikus. Tapi suara itu terlalu... sengaja. Dia membuka matanya. Kamarnya diterangi cahaya bulan yang pucat melalui jendela.

Buku kulit hitam itu terbuka di lantai, persis di samping tempat tidurnya. Seolah-olah ada angin yang membukanya. Tapi jendelanya tertutup rapat.

Dengan hati-hati, Raven turun dari tempat tidur dan mendekat. Halamannya tidak kosong. Sebuah tulisan baru muncul, bukan ditulis dengan darahnya, tetapi dengan tinta yang sama gelap dan berkarat seperti tulisan pertama yang pernah dia lihat.

"Mengapa ragu? Mereka tidak meragukanmu ketika mereka merendahkanmu."

Raven terjatuh terduduk, jantungnya berdebar kencang. Buku itu... merespons. Itu bukan benda mati. Itu hidup. Itu memiliki kesadaran sendiri. Dan itu mengenalnya—tahu tentang rasa sakitnya, penolakan yang pernah dialaminya.

Tulisan itu perlahan memudar, tetapi pesannya tertanam jauh di dalam benak Raven. Itu benar. Dimana keragu-raguan mereka ketika Dr. Aditya menertawakannya? Dimana belas kasihan mereka ketika penerbit mengembalikan naskahnya dengan stempel "DITOLAK"?

Kemarahan lama yang telah sedikit mereda kini kembali membara, disulut oleh provokasi buku itu. Ya, dunia ini kejam. Dan sekarang, dia memiliki senjata untuk melawannya. Mengapa dia harus merasa bersalah?

Keputusannya dibuat. Dia tidak akan berhenti. Tapi dia akan lebih berhati-hati. Lebih... strategis. Dia tidak akan menulis perintah luas yang menciptakan zombie-zombie yang memuji. Itu tidak memuaskan. Dia akan menargetkan dengan presisi. Menghukum yang bersalah. Memperoleh hadiah yang layak. Mengukir takdirnya sendiri dengan darah hitamnya.

Eksperimen barunya dimulai keesokan harinya. Dia membeli sebuah buku catatan biasa dan mulai merencanakan setiap tulisan. Seperti seorang penulis yang menyusun plot, tapi dengan taruhan yang nyata dan mengerikan.

Tulisan pertamanya hari itu adalah untuk kebutuhan praktis. Uangnya hampir habis. Daripada menulis untuk menemukan uang, dia menulis sesuatu yang lebih elegan:

"Penerbit Bintang Sastra akan menghubungiku via email, menyatakan ketertarikan mereka pada naskahku yang berjudul 'Bayang-Bayang Kota' dan menawarkan kontrak serta uang muka yang signifikan."

Dia menggunakan darah dari luka di telapak tangannya yang belum sembuh. Rasa sakitnya masih perih, dan darah yang keluar benar-benar hitam pekat, seperti minyak. Kelelahan yang menyusul membuatnya mual, tetapi hasilnya tidak mengecewakan. Dua jam kemudian, email itu masuk. Tawaran yang bahkan tidak pernah dia impikan. Dia membacanya berulang-ulang, bukan karena kegembiraan, tetapi untuk memastikan bahwa itu nyata. Itu memang nyata. Dia mencetaknya dan menyimpannya, sebuah bukti nyata dari kekuatannya.

Kemenangan kecil ini membuka pintu banjir. Godaan untuk "memperbaiki" hal-hal kecil dalam hidupnya terlalu besar.

Dia menulis agar mesin fotokopi kampus yang selalu macet tiba-tiba bekerja dengan sempurna saat dia menggunakannya. Dia menulis agar kursi yang selalu diduduki oleh mahasiswa menyebalkan itu kosong saat dia masuk ke perpustakaan. Dia bahkan menulis agar hujan berhenti sesaat saat dia berjalan dari perpustakaan ke kantin.

Setiap tulisan adalah sebuah kemenangan atas ketidaksempurnaan dunia. Setiap tulisan memberinya kepuasan kecil, seperti camilan yang hanya membuatnya semakin lapar. Dan setiap tulisan mengambil sedikit lebih banyak darinya.

Tubuhnya memberontak. Bekas luka di jari-jarinya dan telapak tangannya tidak kunjung sembuh. Mereka meradang, terasa panas, dan mengeluarkan nanah yang berwarna kehitaman. Rasa sakitnya konstan, sebuah latar belakang yang tidak menyenangkan dari hidup barunya. Dia mulai pusing secara teratur, dan penglihatannya kadang-kadang kabur, seolah-olah dunia berkedip-kedip seperti gambar di televisi yang rusak.

Suatu sore, saat dia sedang duduk di kafe sendirian—tidak ada yang berani mendekatinya karena aura aneh dan menakutkan yang sekarang dipancarkannya—Dia melihat Naya. Dia sedang bersama sekelompok teman, tertawa lepas. Tertawa yang tulus, yang tidak dipaksakan. Tertawa yang tidak pernah lagi dia dengar darinya sejak tulisan terakhirnya.

Saat itu, seperti pisau yang menusuk jantungnya, Raven menyadari bahwa dia telah kehilangan sesuatu yang tidak akan pernah bisa dia dapatkan kembali dengan kekuatannya: keaslian. Persahabatan Naya yang tulus telah digantikan oleh ketakutan dan kepatuhan yang dipaksakan.

Dengan gerakan impulsif yang didorong oleh rasa putus asa dan kesepian yang mendalam, Raven mengambil pena dan buku dari tasnya. Di balik meja, dia menusuk ujung jarinya yang paling baru—kelingkingnya. Darah hitam yang keluar hanya setetes. Dia hampir kehabisan.

Dia menulis dengan cepat, hampir tidak sadar:

"Naya akan datang dan berbicara padaku seperti dulu. Dia akan memaafkanku. Dia akan mengingat persahabatan kita."

Tulisan itu terserap. Raven menunggu, napas tertahan, menatap Naya dari seberang ruangan.

Beberapa menit berlalu. Lalu, Naya tiba-tiba menghentikan percakapannya. Ekspresinya yang cerah memudar, digantikan oleh kerutan kebingungan. Dia memandang ke sekeliling, matanya akhirnya jatuh pada Raven. Dia berjalan mendekat, langkahnya kaku, seperti orang yang sedang sleepwalking.

"Dia duduk di seberang Raven. "Raven," katanya, suaranya datar dan tidak beremosi. "Aku... memaafkanmu. Aku mengingat persahabatan kita." Dia mengucapkan kata-katanya dengan benar, tapi itu seperti rekaman. Matanya kosong, tidak ada kehangatan, tidak ada pengertian.

"Ini salah. Aku minta maaf," tambahnya, tapi itu hanya kata-kata. Tidak ada perasaan di baliknya.

Raven merasa ingin muntah. Dia telah melakukan hal terburuk: dia telah merusak kenangan terindah yang dia miliki. Dia telah mengubah Naya menjadi boneka untuk kenyamanannya sendiri.

"Pergi," desisnya, suara serak oleh emosi. "Tolong, pergi."

Naya langsung berdiri dan pergi, kembali ke teman-temannya dengan langkah yang sama kaku. Ekspresi cerahnya kembali, seolah-olah tidak ada yang terjadi.

Raven menyadari kebenaran yang mengerikan. Kekuatan ini tidak bisa menciptakan. Ia hanya bisa memutar dan memutarbalikkan. Ia bisa memaksa, tetapi tidak bisa membangkitkan perasaan yang tulus. Ia adalah kutukan, bukan anugerah.

Dia berlari kembali ke kosnya, tubuhnya gemetar. Dia meraih buku itu, ingin merobeknya, membakarnya, menghancurkannya.

Tapi saat tangannya menyentuh sampul kulitnya, sebuah sensasi menyengat menyebar dari tangannya ke seluruh tubuhnya, seperti sengatan listrik statis yang kuat. Buku itu terasa... marah.

Dengan gemetar, Raven membukanya. Sebuah pesan baru telah muncul, ditulis dengan huruf-huruf besar dan tajam yang seolah-olah dicakar ke dalam kertas.

"JANGAN PERNAH MENOLAK HADIAH INI. KAU MEMINTA KEKUATAN. SEKARANG GUNAKANLAH. ATAU KAU AKAN MENYESAL."

Raven menjatuhkan buku itu seolah-olah terbakar. Itu bukan hanya hidup. Itu jahat. Dan sekarang, itu mengancamnya.

Dia terkunci dalam hubungan simbiosis yang mengerikan dengan sebuah entitas yang haus darah. Setiap kali dia menulis, dia memberinya makan. Dan setiap kali dia memberi makan, dia sendiri yang dimakan dari dalam.

Dia melihat dirinya sendiri di cermin kecil di dindingnya. Bayangan yang menatapnya kembali hampir tidak bisa dikenali. Wajahnya yang dulunya kurus sekarang tampak seperti tengkorak yang dibalut kulit pucat. Matanya cekung dan dikelilingi oleh lingkaran hitam yang dalam. Bibirnya pecah-pecah. Dia terlihat seperti mayat berjalan.

Darahnya menghitam, tubuhnya melemah, dan moralnya hancur. Tapi gairah untuk kekuatan itu, kegelapan yang memabukkan, masih ada di sana, berjuang melawan rasa takutnya. Itu adalah perang saudara dalam dirinya sendiri, dan dia tidak yakin siapa yang akan menang.

Dia menjatuhkan dirinya ke tempat tidur, buku itu terbaring di lantai seperti binatang peliharaan yang mengancam. Dia tahu satu hal: tidak ada jalan untuk kembali. Entah dia akan hancur oleh kekuatannya, atau dia akan menjadi sesuatu—seseorang—yang bahkan tidak bisa dikenali lagi oleh dirinya sendiri. Dan kegelapan di dalam buku itu tampaknya benar-benar menginginkan yang terakhir.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel