Pustaka
Bahasa Indonesia

DEVIL OR ANGEL

27.0K · Tamat
Jean
18
Bab
7
View
9.0
Rating

Ringkasan

Seorang penulis muda menemukan sebuah buku misterius beserta pena yang hanya bisa digunakan dengan darahnya sendiri. Awalnya ia mengira ini sekadar relik kuno, sampai menyadari bahwa apa pun yang ditulis dengan darah itu akan menjadi nyata—atau sebaliknya, menghapus eksistensi seseorang dari dunia. Tiap tetes darah yang ia korbankan perlahan mengubah tubuh dan jiwanya. Semakin sering ia menulis, darahnya menghitam, dan moralitasnya terkikis. Dari seorang idealis yang ingin membenarkan dunia, ia berubah menjadi penguasa gelap yang mabuk kendali atas realitas. Pertanyaannya: apakah dia masih manusia, atau sudah menjadi “makhluk tinta” yang hanya hidup untuk menulis ulang dunia? Dan apakah ada Sosok lain yang bisa melawan dia ketika kejahatan merasuki tubuhnya?

FantasiRevengependekarMengungkap MisteriPlot TwistIblisDewaIdentitas Ganda

Bab 1 : Goresan Pertama

Bab 1: Goresan Pertama

Hujan menghujani kampus Universitas Airlangga seperti sedang ingin menghapusnya dari peta. Butiran air deras membentur kaca jendela perpustakaan pusat, menciptakan aliran-aliran kecil yang memutarbalikkan pemandangan dunia luar menjadi sebuah lukisan abstrak yang suram. Di dalam, udara terasa pengap, beraroma campuran kertas tua, kayu lapuk, dan kesunyian yang hampir nyata.

Raven Alvaris menunduk di sebuah meja kayu yang penuh coretan, dikelilingi oleh menara-menara buku yang seolah-olah akan runtuh menimpanya setiap saat. Di hadapannya, sebuah laptop menyala, menampilkan dokumen yang dipenuhi dengan komentar merah dari dosennya, Dr. Aditya. Kata-kata seperti “klise”, “dangkal”, dan “kurang orisinalitas” berkedip-kedip di layar, masing-masing terasa seperti sabetan pisau kecil di dadanya.

Pria itu tidak akan pernah puas, keluhnya dalam hati. Apa yang dia inginkan? Aku sudah memberikan segalanya.

Di usianya yang ke-19, Raven merasa seperti sudah mencapai ujung jalan. Sejak kecil, satu-satunya hal yang ia pahami adalah kata-kata. Mereka adalah temannya, dunianya, pelariannya dari kenyataan yang seringkali keras dan tidak adil. Ia memimpikan namanya terpampang di sampul buku-buku, dikenang seperti Pramoedya atau Orwell. Tapi kenyataannya? Ia hanyalah seorang mahasiswa sastra biasa yang karyanya selalu ditolak, baik oleh penerbit maupun oleh dosennya sendiri.

Dengan gerakan frustrasi, ia menutup laptopnya dengan keras. Suaranya menggema di keheningan perpustakaan yang hampir kosong, membuat seorang pustakawan tua di kejauhan mengangkat alisnya. Raven mengabaikannya. Ia mengumpulkan barang-barangnya—tas kain yang sudah lusuh, jaket hoodie abu-abu—dan berjalan menyusuri lorong-lorong rak buku yang tinggi, menuju pintu keluar.

Tiba-tiba, sebuah suara gemerisik membuatnya berhenti. Bukan suara hujan, tapi sesuatu yang lebih... dekat. Seperti kertas bergesekan. Ia menoleh. Lorong itu gelap, rak di ujungnya tampak lebih tua dan berdebu daripada yang lain. Di sana, hampir tersembunyi di balik rak besar, ada sebuah celah sempit yang mengarah ke sebuah rak kecil yang terpisah. Rak itu terlihat aneh, seperti bukan bagian dari perpustakaan. Kayunya lebih gelap, ukirannya lebih rumit dan kuno.

Rasa penasaran, yang merupakan satu-satunya hal yang sering menyelamatkannya dari keputusasaan, mendorongnya mendekat. Rak itu sepi, dipenuhi buku-buku yang tampaknya tidak pernah disentuh selama puluhan tahun. Dan di sana, di tengah-tengah semua debu dan kelalaian, ada satu buku yang langsung menarik perhatiannya.

Buku itu bersampul kulit hitam pekat, tanpa judul atau embel-embel apa pun. Sampulnya terasa dingin dan agak bertekstur di ujung jarinya. Di atasnya, dengan posisi yang sempurna, tergeletak sebuah pena. Bukan pena biasa. Ini adalah sebuah pena logam berat, berukir dengan simbol-simbol aneh dan rumit yang tidak dikenalnya. Ujungnya bukan ballpoint atau mata pena biasa, melainkan runcing dan tajam, seperti jarum atau pisau bedah miniatur.

Dengan hati-hati, ia mengambil buku dan pena itu. Tidak ada label, tidak ada kode perpustakaan. Seolah-olah benda ini tidak termasuk dalam katalog manapun. Ia membuka sampulnya. Halaman pertama tidak kosong. Terdapat sebuah tulisan tunggal, ditulis dengan tinta yang sudah memudah menjadi coklat kemerahan, dalam huruf-huruf yang anggun dan sekaligus mengancam:

“Tulis dengan darahmu, maka dunia tunduk padamu.”

Raven mengernyit. Apa ini? Semacam lelucon surealis? Projek seni seorang mahasiswa yang terlalu dramatis? Ia membolak-balik halaman lainnya. Kosong. Seluruh buku itu kosong, seolah menunggu untuk diisi.

Pena di tangannya terasa aneh. Beratnya tidak wajar, seolah berisi lebih dari sekadar logam. Simbol-simbol di tubuhnya terasa bergerigi di bawah jempolnya. Tanpa benar-benar memikirkan konsekuensinya, ia mencoba memeriksa ujungnya yang tajam. Saat ia memutar-mutar pena itu, ujung logam yang runcing tanpa sengaja menusuk ujung jari telunjuknya.

“Aduh!” desisnya pelan.

Tetesan darah merah segar segera mengucur dari lukanya. Dan sebelum ia sempat menghentikan darahnya, setetes jatuh tepat di halaman kosong buku itu.

Dan sesuatu yang mustahil terjadi.

Darah itu tidak hanya membekas di kertas. Ia meresap ke dalamnya, diserap oleh halaman buku yang tampaknya haus. Dan kemudian, tepat di tempat tetesan darah itu jatuh, huruf-huruf baru mulai muncul, seolah-olah ditulis oleh tangan yang tak terlihat. Huruf-huruf itu berwarna karat, sama seperti tulisan di halaman pertama, dan membentuk sebuah kalimat:

“Tulislah. Ujilah. Buktikan.”

Jantung Raven berdebar kencang. Ini tidak mungkin. Ilusi? Kelelahan? Darah di jarinya masih menetes, rasa sakitnya nyata. Buku di tangannya terasa dingin dan... berdenyut? Perlahan, hampir dalam keadaan trance, ia mencelupkan ujung pena logam itu ke tetesan darah di jarinya. Darah itu menempel di ujung logam yang runcing, berkilat lemah dalam cahaya redup perpustakaan.

Dengan tangan yang gemetar, ia menempatkan ujung pena ke atas halaman kosong buku. Ia harus menulis sesuatu. Sesuatu yang kecil. Sesuatu yang bisa diuji.

Hujan, pikirnya. Hujan sudah menjadi latar belakang kesedihannya hari ini.

Dengan darahnya sendiri sebagai tinta, ia mulai menulis:

“Besok hujan deras.”

Setiap goresan terasa aneh. Pena itu tidak seperti menulis, lebih seperti mengukir. Setiap huruf yang ia bentuk seolah-olah menyedot sedikit kehidupan darinya, perasaan kecil yang hampir tidak terasa. Setelah selesai, ia menatap tulisan berwarna merah tua itu selama beberapa detik. Lalu, persis seperti tetesan darah pertama, tulisan itu mulai memudar, terserap ke dalam kertas hingga tidak tersisa bekas apa pun. Halamannya kembali kosong, putih bersih, seolah-olah tidak pernah disentuh.

Raven berdiri terpaku, buku dan pena masih tergenggam di tangannya. Dingin yang aneh merambat dari buku itu ke tangannya, naik ke lengan. Perasaan aneh memenuhi dadanya—campuran antara ketakutan, ketidakpercayaan, dan sebuah eksitasi liar yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Dia dengan cepat menyimpan buku dan pena itu ke dalam tasnya, bergegas meninggalkan perpustakaan. Peringatan pustakawan tua bahwa hujan masih deras ia abaikan. Ia menerobos hujan, air yang dingin membasahi tubuhnya, tetapi pikirannya jauh lebih panas dan kacau.

Apa yang baru saja terjadi? Apakah itu nyata? Ataukah ia sudah mulai kehilangan akal sehatnya karena tekanan dan penolakan?

Sesampainya di kos-kosan yang lembab dan sempit, ia melemparkan tasnya ke tempat tidur. Buku dan pena itu ia keluarkan, menatapnya dengan penuh kecurigaan. Itu hanya sebuah buku tua dan sebuah pena aneh. Itu pasti. Tulisan yang muncul pasti hanya trik kimia pada kertas. Reaksi antara darah dan semacam perlakuan pada kertas.

Tapi kenapa halamannya kembali kosong?

Kenapa ujung penanya begitu tajam?

Kenapa kalimat pertamanya begitu spesifik?

“Tulis dengan darahmu...”

Raven melihat luka kecil di jarinya. Darah sudah mengering, meninggalkan bekas merah kecoklatan. Rasa sakitnya masih ada.

Dia memandangi buku di atas mejanya. Benda itu seolah memancarkan energi gelap, memanggilnya, menggoda imajinasinya yang sudah liar. Godaan untuk percaya, untuk berharap bahwa mungkin, hanya mungkin, ada sesuatu yang lebih di dunia ini untuknya, sesuatu yang ajaib, terlalu kuat untuk dilawan.

Malam itu, Raven tertidur dengan buku tua di bawah bantalnya dan pena logam tergenggam erat di tangannya. Mimpi-mimpinya dipenuhi oleh bayang-bayang tinta merah dan bisikan yang menjanjikan kekuatan. Dan di luar, hujan terus turun, seolah menyanyikan lagu penantian untuk apa yang akan terjadi selanjutnya.