bab 6 : Bayangan Dalam Tinta
Bab 6: Bayangan di Dalam Tinta
Peringatan dari buku itu bergema dalam diri Raven seperti lonceng kematian. "JANGAN PERNAH MENOLAK HADIAH INI... ATAU KAU AKAN MENYESAL." Itu bukanlah sebuah peringatan; itu adalah sebuah ancaman langsung. Dan ancaman itu terasa nyata, terpatri ke dalam tulang-tulangnya yang semakin ringkih.
Dia tidak lagi memiliki kemewahan untuk merasa jijik atau takut. Sekarang, yang tersisa hanyalah kepatuhan yang dingin. Buku itu bukanlah alat; itu adalah majikannya. Dan Raven hanyalah sebuah pena yang hidup, sebuah wadah bagi tinta gelap yang kini mengalir dalam nadinya.
Hari-hari berikutnya berubah menjadi ritual yang suram dan mekanis. Raven tidak lagi menulis untuk mengubah nasibnya atau membalas dendam. Dia menulis untuk bertahan hidup—untuk memuaskan rasa lapar sang buku. Kekuatan itu berubah dari anggur yang memabukkan menjadi air yang beracun, sesuatu yang harus dia telan hanya untuk melihat matahari terbit esok hari.
Tulisannya menjadi lebih kecil, lebih sepele, hampir tidak berarti. Dia menulis agar kopinya tetap panas sedikit lebih lama, agar sepatunya tidak basah saat melangkahi genangan, agar suara berisik dari kos sebelah berhenti selama dia perlu tidur. Setiap tulisan adalah sebuah pengorbanan kecil, setetes darah hitam yang diperas dari tubuhnya yang semakin lemah untuk sebuah perubahan yang tidak lagi dia pedulikan.
Setiap pagi adalah sebuah pengingat akan kehancurannya. Bangun dari tidur yang tidak nyenyak dan dipenuhi mimpi buruk sudah menjadi sebuah pencapaian. Dia harus menarik tubuhnya yang terasa seperti diisi beton dari tempat tidur. Kepalanya selalu pusing, dunia berputar-putar selama beberapa menit pertama setelah dia berdiri. Penglihatannya semakin bermasalah; cahaya terang sekarang menyakitkan matanya, dan dia sering melihat bayangan-bayangan berkedip di sudut pandangnya, menghilang saat dia menoleh.
Yang paling mengerikan adalah darahnya. Luka-luka di jarinya dan telapak tangannya tidak akan sembuh. Mereka menganga, merah tua kehitaman dan berair, mengeluarkan nanah yang berbau aneh—seperti besi tua dan tanah basah. Bahkan goresan paling kecil sekarang mengeluarkan cairan hitam pekat yang lengket, bukan darah merah yang hidup. Dia membalut tangannya dengan perban kotor, menyembunyikan bukti fisik dari kutukannya.
Suatu sore, setelah menulis untuk membuat baterai laptopnya tidak habis selama kelas online (sebuah tulisan yang membuatnya pingsan selama sepuluh menit), dia berjalan pelan ke kamar mandi kos. Dia perlu membasuh wajahnya, mencoba untuk merasa seperti manusia lagi.
Dia menyalakan lampu neon yang berkedip-kedip di atas wastafel tua dan membuka perban di tangan kanannya. Lukanya jelek dan meradang. Dia membasuhnya dengan air dingin, meringis menahan rasa perih. Saat dia mengangkat wajahnya untuk melihat di cermin yang berkabut, napasnya tersangkut di tenggorokan.
Bayangannya sendiri menatapnya kembali, tapi ada yang salah. Sangat salah.
Wajahnya sendiri—pucat, cekung, dengan mata seperti lobang—terlihat seperti topeng. Tapi di balik topeng itu, di dalam bayangan yang diciptakan oleh cahaya neon yang buruk, dia bisa melihat sesuatu yang lain. Sebuah siluet yang lebih gelap, lebih tajam. Tulang pipi yang lebih tinggi, mata yang lebih dalam dan lebih tajam, sebuah senyuman yang dingin dan kejam yang bukan miliknya.
Dia mengedip, berharap itu hanya ilusi, permainan cahaya dan kelelahan. Tapi bayangan itu tidak menghilang. Itu tetap ada, sebuah wajah asing yang tersuperimposisi pada wajahnya sendiri, seperti hantu yang menunggu untuk keluar.
Dengan tangan gemetar, dia meraih botob sabun dan melemparkannya ke cermin. Kaca itu pecah, berkeping-keping, dan bayangannya terfragmentasi menjadi serpihan-serpihan yang lebih kecil, masing-masing masih mempertahankan senyuman setan itu.
"Tidak," dia terisak, bersandar pada wastafel, tubuhnya gemetar. "Tidak..."
Itu adalah dirinya yang lain. Dirinya yang haus kekuasaan, yang gelap, yang diciptakan oleh setiap tetes darah yang dia persembahkan kepada buku itu. Dan itu semakin kuat.
Keesokan harinya, dia tidak bisa menghindari kampus lagi. Dia memiliki pertemuan dengan Dr. Aditya mengenai naskahnya yang "diterima" penerbit. Pertemuan itu hanyalah formalitas, hasil dari tulisannya sebelumnya, tapi dia harus hadir.
Berjalan melalui lorong kampus terasa seperti sebuah perjalanan melalui dunia alien. Orang-orang masih menatapnya, mengangguk dengan hormat yang dipaksakan, tapi dia bisa melihat ketakutan di mata mereka sekarang. Mereka tidak memujinya; mereka takut padanya. Mereka menghindari kontak fisik, menggeser tas mereka saat dia lewat, seperti dia adalah pembawa wabah. Dan mungkin, dalam beberapa hal, memang begitu.
Dia bertemu Naya di depan ruang dosen. Dia terlihat lebih baik, lebih cerah, seolah-olah pengaruh tulisan Raven yang memaksa telah benar-benar pudar. Tapi saat dia melihat Raven, semua cahaya itu padam, digantikan oleh kekhawatiran yang dalam dan sedih.
"Raven," katanya, suaranya lembut, seperti menenangkan hewan liar yang terluka. "Kamu... kamu datang."
"Dosen mau ketemu," jawab Raven, menatap lantai. Dia tidak tahan melihat rasa kasihan di mata Naya.
"Mereka bilang kamu sakit. Beberapa minggu." Naya mendekat perlahan. "Aku... aku mau jenguk, tapi... kamu tidak membalas. Aku khawatir."
"Aku fine," bisik Raven, mantra lamanya yang sudah tidak berarti lagi.
"Kamu tidak fine, Raven," bantah Naya, suaranya sedikit lebih keras, lebih tegas. "Kamu sekarat. Lihat dirimu. Apa yang terjadi? Kamu harus bicara pada seseorang. Kamu harus ke dokter. Tolong." Air mata menggenang di matanya. "Aku tidak mau kehilangan kamu."
Kata-kata itu menusuk Raven lebih dalam daripada tusukan pena mana pun. Dia mengangkat wajahnya, dan untuk sesaat, dia ingin memberitahunya segalanya. Melepaskan beban ini. Tapi dia tidak bisa. Dia tidak ingin Naya melihat monster yang sedang dia menjadi.
"Kamu tidak akan kehilangan aku," katanya, dan itu adalah kebohongan terbesarnya.
Dr. Aditya juga terlihat khawatir saat Raven masuk ke ruangannya. "Alvaris, silakan duduk." Matanya menyapu Raven dari atas ke bawah, berhenti pada tangan yang dibalutnya. "Kamu terlihat... tidak sehat."
"Saya baik-baik saja, Pak," Raven membalas, duduk dengan pelan. "Terima kasih atas pertemuannya."
"Mengenai naskahmu..." Dr. Aditya menghela napas, melipat tangannya di atas meja. "Ini... luar biasa. Lompatan besar dari pekerjaanmu sebelumnya. Tapi..." Dia ragu-ragu, memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Ada sesuatu yang... tidak biasa di dalamnya. Gaya penulisannya hampir... tidak manusawi. Terlalu sempurna. Terlalu dingin."
Raven hanya mengangguk. Itu karena memang bukan ditulis oleh manusia. Itu ditulis oleh kekuatan yang gelap dan haus.
"Saya hanya... menemukan inspirasi baru, Pak."
Dr. Aditya memandangnya lama dan dalam. "Inspirasi bisa menjadi pedang bermata dua, Alvaris. Pastikan kamu yang mengendalikannya, bukan sebaliknya." Kata-katanya seolah-olah memiliki makna ganda, seolah-olah dia bisa melihat sesuatu yang terjadi. Raven teringat bahwa Dr. Aditya adalah seorang ahli sastra yang sering membahas tema kekuatan, kegilaan, dan moralitas dalam karya-karya besar. Mungkin dia melihat sesuatu yang familiar dalam kehancuran Raven.
Pertemuan itu berakhir dengan cepat. Raven keluar dari ruangan itu, merasa lebih hampa dan terisolasi daripada sebelumnya. Bahkan pengakuan yang "nyata" sekalipun sekarang terasa palsu dan tidak diinginkan.
Dia berjalan menuju perpustakaan, bukan untuk belajar, tapi untuk mencari tempat persembunyian. Dia menemukan sudut terpencil di lantai paling atas, di antara rak-rak buku langka yang berdebu. Dia duduk di lantai, bersandar pada rak buku, dan menangis. Air matanya terasa panas dan asin di pipinya yang kering. Dia menangis untuk dirinya yang hilang, untuk persahabatan yang hancur, untuk masa depan yang telah dia racuni dengan tangannya sendiri.
Dalam keputusasaan yang dalam, dia mengeluarkan buku dan penanya dari tasnya. Dia tidak akan menulis apa pun. Dia hanya memegangnya, menatap sampul kulit hitamnya yang dingin.
"Lepaskan aku," dia berbisik pada buku itu, suaranya pecah. "Tolong. Aku tidak ingin ini lagi."
Buku itu diam saja. Tapi kemudian, sesuatu yang aneh terjadi. Sebuah tetes air mata jatuh dari pipinya dan mendarat di sampul buku.
Bukan darah. Air mata.
Dan untuk pertama kalinya, buku itu bereaksi terhadap sesuatu selain darah. Kulitnya yang hitam mendesis dengan suara pelan, dan di mana air mata itu jatuh, asap tipis naik, dan sebuah luka bakar kecil, seperti bekas terbakar, muncul di permukaannya. Buku itu seolah-olah tersakiti oleh air mata—oleh penyesalan manusia yang tulus.
Raven terkesiap, hampir tidak percaya. Apakah ini kelemahannya? Apakah penyesalan, emosi manusia yang tulus, adalah racun bagi benda jahat ini?
Tapi sebelum dia bisa memikirkannya lebih lanjut, sebuah rasa sakit yang luar biasa menyambar kepalanya. Dia menjerit pelan, memegangi kepalanya. Penglihatannya berkunang-kunang, dan dalam kilasan cahaya dan bayangan, dia melihatnya lagi—wajah asing di dalam cermin, tapi sekarang lebih jelas. Itu adalah dirinya, tetapi dengan mata yang sama sekali hitam dan senyuman yang penuh dengan kegenitan dan kekuasaan yang korup.
"Jangan pernah menolak aku," sebuah suara berbisik di dalam kepalanya, bukan suaranya, tapi juga tidak asing. Itu adalah suara dari bayangan itu. "Kita hampir sampai. Kita akan menjadi satu. Dan dunia akan menjadi milik kita."
Raven menjatuhkan buku itu seolah-olah menyengatnya. Dia merangkak menjauh, napasnya terengah-engah. Itu tidak hanya sebuah bayangan. Itu adalah sebuah entitas, sebuah kesadaran terpisah yang hidup di dalam dirinya, tumbuh subur dari darah hitamnya.
Dia tidak hanya kehilangan kesehatannya dan moralnya. Dia kehilangan dirinya sendiri.
Dengan sisa-sisa kekuatan yang dia miliki, dia meraih buku dan penanya, menyimpannya kembali ke dalam tas, dan berlari keluar dari perpustakaan. Dia harus pergi. Dia harus menyembunyikan diri.
Tapi dia tahu itu tidak ada gunanya. Dia tidak bisa lari dari musuh yang ada di dalam darahnya sendiri, yang mencerminkan dirinya di setiap permukaan yang mengilap, dan yang berbisik di setiap keheningan. Kekuatan itu bukan lagi sebuah buku; itu adalah sebuah cermin—cermin yang menunjukkan kepada Raven bayangannya sendiri yang gelap, dan bayangan itu sedang menunggu untuk keluar.
