Bab 4 : Eksperimen Dosa
Bab 4: Eksperimen Dosa
Kepuasan gelap yang Raven rasakan setelah email tentang Dr. Darma terbaca tidak bertahan lama. Itu cepat sekali digerus oleh rasa bersalah yang menggerogoti dan, yang lebih mengejutkannya, sebuah rasa haus yang lebih dalam. Seperti orang yang pertama kali mencicipi air setelah kehausan sepanjang hari, satu teguk saja justru membuatnya menyadari betapa dahaganya dirinya. Kekuatan itu bukan lagi sebuah keinginan; itu adalah sebuah kebutuhan.
Dua hari berlalu sejak Dr. Darma "sakit mendadak". Raven menghabiskan waktunya terkurung di kamar kosnya, menghindari Naya dengan alasan yang semakin lemah melalui pesan teks, dan hanya keluar untuk membeli makanan cepat saji. Buku dan pena itu kini tidak lagi disimpan di laci, tetapi tergeletak di atas bantal sebelahnya, seolah-olah merupakan bagian dari tempat tidurnya. Dia sering kali hanya menatapnya, jarinya menelusuri sampul kulitnya yang dingin, memutar-mutar pena logam di antara buku jarinya.
Dia merasa... berbeda. Lebih kuat, tentu saja. Dunia bukan lagi sebuah benteng yang tak tertembus; itu adalah tanah liat yang menunggu untuk dibentuk oleh tangannya. Tapi ada kelemahan fisik yang aneh. Rasa lelah dari menulis kalimat tentang Dr. Darma masih melekat, lebih dalam dari sekadar kurang tidur. Itu adalah kelelahan yang menyelimuti jiwanya, membuat tulang-tulangnya terasa berat. Dan lukanya—luka-luka kecil di ujung jarinya—sembuh dengan lambat, meninggalkan keropeng berwarna ungu kehitaman yang tampak tidak wajar.
Pada hari ketiga, sebuah dorongan yang tak tertahankan muncul. Dia harus menulis lagi. Bukan untuk membalas dendam atau mengubah nasibnya, tapi... hanya untuk merasakannya lagi. Sensasi energi yang mengalir darinya, kepastian mutlak bahwa keinginannya akan terwujud. Itu adalah sensasi paling adiktif yang pernah dia rasakan.
Dia mengambil buku dan pena dengan tangan yang hampir gemetar karena antisipasi. Apa yang harus dia tulis? Sesuatu yang kecil. Sesuatu yang tidak berbahaya. Hanya untuk... uji coba.
Matanya jatuh pada dompetnya yang tipis. Masih ada sisa uang untuk makan beberapa hari ke depan, tapi tidak lebih dari itu. Hidup sebagai mahasiswa selalu saja pas-pasan.
Dengan tekad yang membara, dia menusuk ujung jari manisnya. Rasa sakitnya sudah menjadi ritual yang familiar, hampir disambut. Darah yang keluar tampak lebih kental, dan warnanya—di bawah cahaya lampu bohlam kamarnya—benar-benar terlihat lebih gelap, hampir seperti merah marun tua yang mendekati hitam. Aromanya juga lebih tajam, lebih metalik, dan agak... busuk?
Dia mengabaikannya. Dia mencelupkan pena dan menulis dengan huruf-huruf yang rapi:
“Aku akan menemukan uang seratus ribu rupiah terjatuh di lantai lorong kosku.”
Tulisan itu terserap. Kelelahannya bertambah, membuatnya harus duduk di tepi tempat tidur. Tapi ini sepadan. Dia segera berjalan ke luar kamar, menelusuri lorong kos yang lembab dan sepi. Dan di sana, persis di depan pintu kamar mandi, tergeletak selembar uang seratus ribuan yang agak kusut. Tidak ada seorang pun di sekitar.
Jantungnya berdebar kencang, tapi kali ini bukan karena ketakutan, melainkan karena kemenangan. Dia memungutnya. Uang itu terasa nyata di tangannya. Nyata.
Keesokan harinya, godaan itu kembali. Dia menulis tentang keberuntungan kecil: mendapatkan meja terakhir di kafe yang selalu penuh, lampu hijau sepanjang perjalanan ke kampus, bahkan membuat seorang pelayan yang biasanya kasar tiba-tiba tersenyum ramah padanya.
Setiap tulisan adalah sebuah kemenangan. Setiap tulisan adalah sebuah penguatan kekuasaannya. Tapi setiap tulisan juga mengambil sesuatu darinya. Rasa lelahnya semakin dalam. Lingkaran hitam di bawah matanya membesar seperti memar. Wajahnya yang selalu pucat kini menjadi hampir tembus pandang, seperti kertas perkamen. Dan darahnya—setiap kali dia menusuk jarinya, warnanya semakin hitam, semakin kental, dan semakin sedikit yang keluar, seolah-olah sumbernya mulai mengering.
Naya tidak bisa lagi dihindari. Dia muncul di depan pintu kosnya pada Jumat malam, wajahnya dipenuhi kekhawatiran dan sedikit marah.
"Raven, kamu harus membuka pintu ini. Aku tidak akan pergi," suaranya terdengar melalui celah pintu, tegas.
Dengan mengeluh, Raven membuka pintu. Cahaya lorong yang redup menerpa wajahnya, dan Naya langsung terkesiap.
"Astaga, Raven! Kamu kelihatan... mengerikan!" Dia masuk tanpa diminta, matanya menyapu kamar yang berantakan dan Raven yang berdiri lunglai. "Apa yang terjadi padamu? Kamu sakit? Kenapa kamu tidak menjawab teleponku? Aku hampir memanggil polisi!"
"Aku fine, Nay. Cuma... lagi sibuk. Ngerjain project." Raven berusaha membuat suaranya terdengar meyakinkan, tetapi suaranya parau dan lemah.
"Project? Project apa yang bisa membuatmu terlihat seperti... seperti ini?" Naya mendekat, matanya penuh perhatian. Dia melihat tangan Raven yang dengan cepat disembunyikan di belakang punggung. "Apa itu? Tunjukkan padaku."
"Tidak ada," Raven mencoba menghindar, tetapi Naya lebih cepat. Dia menarik tangan Raven dengan lembut.
Dia mengangkat tangan Raven, memperhatikan jari-jarinya yang penuh dengan luka kecil dan keropeng berwarna hitam keunguan. Beberapa bahkan tampak meradang. Naya mengeluarkan napas yang tercekat.
"Raven... apa... apa ini?" Suaranya bergetar. "Ini... ini seperti... kamu..." Dia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, tapi ketakutannya terpancar jelas. Apakah dia berpikir Raven menyakiti dirinya sendiri? Atau lebih buruk?
"Ini bukan seperti yang kamu pikirkan!" Raven menarik tangannya dengan kasar, suaranya tiba-tiba keras dan defensif. "Ini... ini cuma... aku lagi iseng eksperimen seni. Pakai tinta khusus. Sulit dibersihkan."
"Tinta?" Naya memandangnya tidak percaya. "Tinta apa yang meninggalkan luka seperti itu? Raven, kamu harus ke dokter. Sekarang juga. Ini tidak normal."
"AKU BILANG AKU FINE!" Raven membentak, dan suaranya menggema di kamar kecil itu, penuh dengan kemarahan dan kekecewaan yang tertahan.
Naya terkejut, langkahnya mundur. Air mata mulai membentuk di sudut matanya. Dia belum pernah melihat Raven seperti ini—liar, tidak rasional, dan... berbahaya.
"O-okay," bisiknya, suara penuh luka. "Okay, Raven. Tapi... tolong. Untuk aku. Urus dirimu baik-baik. Aku... aku pergi dulu."
Dia berbalik dan pergi, meninggalkan Raven sendirian di tengah kekacauan yang diciptakannya sendiri. Rasa bersalah yang lama tertahan akhirnya menyerangnya, lebih menyakitkan daripada tusukan pena mana pun. Dia telah menyakiti Naya. Satu-satunya orang yang peduli.
Kemarahan dan kekecewaan pada dirinya sendiri berubah menjadi amarah yang membutuhkan pelampiasan. Dia butuh untuk merasa kuat lagi. Dia butuh untuk mengingat mengapa semua ini sepadan.
Dia mengambil buku dan penanya. Darahnya mendidih—darah yang sekarang hitam dan beracun. Dia tidak akan menusuk jarinya lagi. Itu terlalu kecil. Dia perlu lebih banyak. Lebih kuat.
Dengan gerakan nekat, ia menggesakkan ujung pena yang tajam itu di sepanjang telapak tangannya. Rasa sakitnya jauh lebih hebat, menusuk, dan darah yang keluar—hitam seperti oli—segera memenuhi telapak tangannya.
Dia menjerit, bukan karena sakit, tapi karena kemarahan dan kekuatan yang dirasakannya. Dia mencelupkan pena ke dalam genangan hitam di tangannya dan mulai menulis, mengukir kata-kata dengan huruf-huruf besar dan penuh amarah:
“SEMUA ORANG MELIHATKU. SEMUA ORANG MENGAGUMIKU. MEREKA TUNDUK PADA KUASAKU.”
Energi yang tersedot darinya begitu dahsyat sehingga dia terjatuh ke lantai, melihat bintik-bintik hitam di pandangannya. Seluruh tubuhnya terasa seperti diperas hingga kering. Tapi dia tersenyum, senyum lebar dan gila, saat tulisan itu terserap ke dalam buku.
Keesokan harinya, sesuatu yang aneh terjadi.
Saat Raven berjalan ke kampus—dengan langkah gontai dan telapak tangan yang dibalut perban—setiap orang yang dilewatinya menoleh. Bukan sekadar menoleh, tapi menatapnya dengan intensitas yang aneh. Seorang profesor tua yang dikenal pelit senyumnya mengangguk hormat padanya. Seorang anak-anak yang biasanya sombong tiba-tiba membukakan pintu untuknya. Bahwa seorang wanita cantik yang tidak dikenalnya tersipu malu dan tersenyum saat pandangan mereka bertemu.
Di kelas, suasana berubah drastis saat dia masuk. Semua percakapan terhenti. Dr. Aditya, yang sedang menulis di papan tulis, berbalik dan mengangguk singkat padanya, sebuah pengakuan yang tidak pernah dia berikan sebelumnya. Teman-teman sekelasnya memandangnya dengan rasa hormat dan... takut?
Naya ada di sana, duduk di barisan belakang. Dia melihat Raven dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca—campuran antara kekhawatiran, ketakutan, dan sesuatu yang lain... sesuatu yang dipaksakan. Saat Raven mendekat, dia tersenyum, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. Itu adalah senyum datar, robotik, seperti sebuah topeng.
"Hei, Raven," katanya, suaranya datar. "Kamu kelihatan... hebat hari ini."
Kata-katanya seharusnya membuatnya senang. Ini yang selalu dia inginkan, bukan? Pengakuan. Kekaguman. Tapi ini terasa... salah. Sangat salah. Ini bukan pengakuan yang tulus; ini adalah kepatuhan yang kosong. Orang-orang tidak mengaguminya; mereka diprogram untuk melakukannya. Matanya kosong, senyumnya kaku. Raven bukan lagi seorang penulis yang diakui; dia adalah seorang tukang sihir yang menciptakan boneka-boneka.
Dia telah mendapatkan yang dia inginkan, tapi itu terasa seperti kemenangan yang hampa dan menyeramkan. Kekuatannya tidak menciptakan keindahan atau pengakuan sejati; itu hanya memaksa realitas untuk membungkuk, merobek jalinannya yang alami dan menjahitnya kembali dengan caranya yang kasar dan tidak sempurna.
Dia melihat tangannya yang dibalut. Di balik perban, lukanya terasa berdenyut-denyut panas. Darah hitamnya telah menulis sebuah dunia yang membungkuk, tapi dunia itu terasa lebih sunyi dan lebih mengerikan daripada dunia yang diacuhkan sebelumnya.
Dia tidak menciptakan surga. Dia menciptakan penjara bagi dirinya sendiri, dikelilingi oleh para zombie yang memujanya dengan mata yang kosong. Dan untuk pertama kalinya, Raven merasa benar-benar, sangat takut pada kekuatan yang dia miliki—dan pada dirinya sendiri yang semakin menghilang di balik setiap goresan tinta darahnya yang gelap.
