Bab 3 : Kenyataan yang retak
Bab 3: Kenyataan yang Retak
Keesokan harinya adalah Senin. Langit di luar jendela kos Raven benar-benar cerah, tanpa awan, persis seperti ramalan cuaca yang dia baca semalam. Matahari menusuk matanya yang masih berat oleh mimpi-mimpi aneh tentang tinta hitam dan burung-burung yang berbicara. Namun, di balik kelelahan itu, ada getaran energi yang baru, sebuah keyakinan membara yang membuatnya merasa lebih hidup daripada sebelumnya.
Dia memandangi buku dan penanya yang sekarang disimpannya di dalam laci terkunci. Benda-benda itu bukan lagi sekadar artefak aneh; mereka adalah kunci. Kunci untuk mengubah segala sesuatu. Getaran kegembiraan dari kemarin masih terasa, tetapi sekarang bercampur dengan keheningan yang lebih dalam, lebih gelap. Ini bukan lagi soal membuktikan; ini soal memiliki.
Perjalanan ke kampus terasa berbeda. Suara lalu lintas, sorotan matahari, bahkan cara orang-orang berjalan—semuanya terlihat seperti latar belakang dalam sebuah cerita yang sekarang bisa dia tulis ulang. Dia bukan lagi pemeran pendukung dalam hidupnya sendiri; dia adalah penulisnya.
Kelas Sastra Modern Dr. Aditya dimulai pukul sepuluh. Raven duduk di barisan belakang, seperti biasa, tetapi kali ini rasanya berbeda. Dia tidak menyembunyikan diri; dia mengamati. Dr. Aditya, dengan kacamata tebal dan nada bicara yang selalu datar dan sedikit merendahkan, terlihat seperti sebuah karakter, bukan lagi sebuah ancaman.
"Baiklah," kata Dr. Aditya, membuka folder berisi esai mahasiswa. "Mari kita bahas tugas minggu lalu tentang realisme magis dalam karya Kafka."
Raven menegakkan badannya. Ini adalah momen kebenaran lainnya. Esainya yang ia tulis ulang dengan tergesa-gesa tadi pagi—apakah akan cukup? Atau apakah dia perlu… intervensi?
Dr. Aditya menyebut beberapa nama, memberikan kritik yang tajam dan pujian yang langka. Lalu, matanya berhenti pada selembar kertas.
"Alvaris," ucapnya, dan seluruh kelas—yang sebagian besar sudah mulai mengantuk—secara serentak menegakkan punggung mereka. Biasanya, nama Raven disebut hanya sebagai contoh yang harus dihindari.
Raven menahan napas.
Dr. Aditya mengangkat alisnya, matanya menyapu esai itu. "Pendekatan yang… tidak biasa. Analisis hubungan antara metamorfosis Gregor Samsa dan isolasi urban modern cukup menarik. Masih ada masalah struktural, tetapi setidaknya ada pemikiran di sini. C+."
C+. Itu bukan nilai bagus.Bahkan, itu masih di bawah rata-rata. Tapi itu bukan D. Itu bukan cercaan. Itu adalah pengakuan. Sebuah celah.
Raven bisa merasakan pandangan heran dari beberapa teman sekelasnya. Seorang gadis di depannya bahkan meliriknya dengan penasaran. Darahnya berdesir hangat. Dia tidak perlu menulis apa pun. Usahanya sendiri—yang nyata—hampir cukup.
Tapi hampir tidak cukup. C+ masih berarti "cukup", bukan "baik". Dan Raven sudah lelah dengan "cukup".
Kelas berakhir. Raven mengemasi tasnya, perasaan campur aduk antara kepuasan dan kekecewaan bergolak di dadanya.
"Hei, pujian tadi!" Suara itu riang dan familiar. Naya menyusulnya di lorong, matanya berbinar. "Dia bilang 'menarik'! Itu hampir seperti pujian darinya! Aku tahu kamu bisa melakukannya!"
Raven mencoba untuk tersenyum. "Yeah, hampir."
"Nggak, serius! Itu progress!" Naya mendorong bahunya. "Jadi, apa rahasianya? Semalam kamu belajar sampai larut? Atau…" Matanya berkedip nakal. "…akhirnya nemuin muse? Muse yang cantik, mungkin?"
Raven menggeleng, senyumnya terasa kaku di wajahnya. "Cuma… dapat inspirasi aja." Itu bukan sepenuhnya bohong. Buku itu adalah inspirasinya—inspirasi yang gelap dan berdarah.
Mereka berjalan menuju kantin. Cuaca masih cerah, menyenangkan. Tapi di balik kepuasan Naya, Raven melihat sesuatu yang lain. Keraguan. Sebuah pertanyaan yang belum terucap.
"Kamu keliatan… lebih baik," kata Naya akhirnya, suaranya sedikit lebih pelan. "Kurang lesu. Tapi…" Dia mengernyit. "Aku nggak tahu. Ada sesuatu yang berbeda. Kamu lebih… pendiam. Lebih fokus. Kayak… kayak lagi mengamati sesuatu."
Jantung Raven berdetak sedikit lebih kencang. Apakah sebegitu jelasnya? Apakah kekuatan itu meninggalkan bekas yang bisa dilihat orang? "Lagi banyak pikiran, Nay. Soal cerita baru." Itu lebih mudah daripada menjelaskan buku tua dan pena berdarah.
"Cerita baru?" Naya bersemangat. "Yang bagus? Tentang apa?"
Raven ragu. Imajinasinya, yang biasanya dipenuhi oleh monster dan pahlawan fiksi, sekarang dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan yang jauh lebih nyata dan berbahaya. "Masih belum jelas," katanya, menghindar. "Something about… kekuatan. Dan harganya."
Naya memandangnya dengan seksama, dan untuk sesaat, Raven takut dia akan meneruskan pertanyaannya. Tapi kemudian dia tersenyum. "Kedengarannya seram. Khas kamu. Pasti keren."
Pujian itu, yang tulus dan polos, membuat Raven merasa sedikit mual. Dia menyembunyikan rahasia yang bisa mengubah segalanya dari satu-satunya orang yang percaya padanya.
Mereka duduk di kantin. Naya bercerita tentang rencananya untuk akhir pekan, tentang film yang ingin ditontonnya. Raven mendengarkan dengan setengah hati, pikirannya melayang kepada buku di lacinya. C+. Hampir baik. Tapi tidak cukup.
Bayangan kemarin kembali—burung gereja dengan kaki patah. Realitas yang menunduk pada tulisannya.
Apa yang akan terjadi jika dia menulis sesuatu yang lebih dari sekadar burung? Sesuatu yang langsung memengaruhi hidupnya? Sesuatu yang… membalas dendam?
Wajah Dr. Darma, dosen teori sastra lainnya, muncul di pikirannya. Lelaki itu adalah batu sandungan lain. Sok tahu, merendahkan, dan selalu menolak setiap ide yang sedikit di luar kotak. Komentarnya pada naskah cerpen Raven bulan lalu masih terngiang: "Imajinasi kekanak-kanakan yang perlu dipertimbangkan kembali untuk jurusan yang serius."
C+ dari Aditya adalah sebuah awal. Tapi mungkin dia membutuhkan pernyataan yang lebih kuat.
Godaan itu menggoda, manis dan beracun. Cobalah, bisik sebuah suara dalam kepalanya yang terdengar anehnya seperti gemerisik kertas. Tulis saja namanya. Lihat apa yang terjadi.
"Raven? Kamu denger?" Naya menyentuh tangannya, membuatnya terkejut.
"Uh, yeah. Film. Yeah, sounds good." Dia tersenyum cepat, tetapi matanya pasti mengungkapkan sesuatu, karena ekspresi Naya berubah menjadi perhatian.
"Kamu sure kamu okay? Kamu tadi… melamun banget. Dan tatapanmu…" Dia menghentikan kalimatnya, seolah takut melanjutkan.
"Aku fine, Nay. Beneran." Raven berdiri, tiba-tiba merasa sesak. Dia butuh udara. Dia butuh… dia butuh menulis. "Aku… aku harus pergi. Ada yang harus dilakukan."
Naya tampak kecewa dan semakin khawatir. "O-okay. Tapi jangan lupa janji besok ya? Kita nonton?"
"Janji," Raven mengangguk, sudah setengah berlari meninggalkan kantin. Dia bisa merasakan tatapan Naya di punggungnya, dan itu terasa seperti sebuah beban.
Perjalanan pulang ke kos dilakukan dengan langkah cepat. Pikirannya hanya berisi satu hal: buku itu. Pena itu. Darahnya.
Begitu sampai di kamarnya, dia mengunci pintu. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ini gila. Dia tidak boleh melakukan ini. Tapi kata-kata Dr. Darma bergema di kepalanya. "Kekanak-kanakan." Dan nilai C+ yang berarti "hampir cukup".
Dia membuka laci dan mengeluarkan buku dan pena. Buku itu terasa dingin, hampir berdenyut, seolah menyambutnya. Pena logam terasa berat dan siap di tangannya.
Dia duduk di tempat tidurnya, membuka buku di pangkuannya. Halaman kosong itu menatapnya, menunggu.
Apa yang dia lakukan? Apakah dia akan menyakiti seseorang? Benarkah? Tapi… itu hanya tulisan. Dia tidak menusuk siapa pun. Dia hanya… menulis sebuah keinginan. Sebuah kemungkinan.
Dengan tangan yang sedikit gemetar—bukan karena takut, tapi karena antisipasi—dia mengangkat pena. Dia menekan ujungnya yang tajam ke ujung jari tengahnya, tempat kulitnya masih relatif utuh. Rasa sakitnya tajam dan sekejap, sebuah pengingat yang nyata tentang harga yang harus dibayar.
Darah mengalir, lebih deras dari sebelumnya. Warnanya… apakah sedikit lebih gelap? Ataukah itu hanya bayangan di kamarnya yang redup?
Dia tidak memedulikannya. Dia mencelupkan ujung pena ke dalam tetesan darah yang berharga dan menempatkannya di atas kertas.
Dia tidak menulis tentang cuaca atau burung. Dia menulis dengan huruf-huruf tebal dan penuh keyakinan, mengukir nasib dengan darahnya sendiri:
“Pak Darma sakit keras dan tidak bisa mengajar selama seminggu.”
Prosesnya terasa lebih intens. Sensasi tersedotnya energi lebih kuat, membuatnya pusing selama beberapa detik. Darah di kertas berkilau sebentar sebelum tulisan itu mulai memudar, diserap oleh halaman yang haus. Namun, kali ini, setelah tulisan itu benar-benar hilang, bekas samar tertinggal—sebuah noda kecoklatan yang hampir tidak terlihat, seperti luka lama pada kertas.
Raven membungkuk, napasnya terengah-engah. Kelelahan langsung menyergapnya, lebih dalam dari sebelumnya. Tangannya gemetar. Tapi di balik kelemahan fisik itu, ada kepuasan yang dalam dan gelap. Itu sudah dilakukan. Tidak bisa dibatalkan.
Dia menyimpan buku dan penanya, perasaan bersalah dan takut akhirnya mengejarnya. Apa yang telah dia lakukan? Apakah Dr. Darma hanya akan flu? Atau sesuatu yang lebih buruk? Dia tidak menulis "flu"; dia menulis "sakit keras".
Malam itu dia tidak bisa tidur. Setiap suara telepon membuatnya terkejut, mengira itu berita tentang dosennya. Dia memeriksa grup kelas berkali-kali, menunggu pengumuman.
Keesokan paginya, Selasa, saat kelas teori sastra Dr. Darma seharusnya dimulai, sebuah email masuk ke milis jurusan.
Dari: Administrasi Jurusan Sastra Kepada: Seluruh Mahasiswa Teori Sastra IV Hal: Pembatalan Kelas
Diberitahukan dengan hormat, kelas Teori Sastra IV dengan Dr. Darma untuk hari ini dan seterusnya hingga akhir pekan dibatalkan karena Dr. Darma mengalami sakit mendadak dan harus menjalani perawatan intensif. Kelas akan dijadwal ulang. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.
Raven membaca email itu lagi dan lagi. Kata-katanya terpatri di retinanya. Sakit mendadak. Perawatan intensif.
Itu bekerja. Benar-benar bekerja.
Dia tidak merasa senang. Dia merasa… hampa. Dan sedikit mual. Tapi yang paling kuat adalah perasaan kekuasaan yang dingin dan tak terbantahkan. Dia telah melakukannya. Dia telah mengubah jalannya kehidupan seseorang dengan beberapa tetes darah dan beberapa kata.
Dia melihat tangannya. Luka di jarinya sudah mengering, meninggalkan keropeng kecil berwarna coklat kehitaman. Warnanya pasti tidak biasa. Itu pasti hanya trick of the light.
Saat dia berjalan melalui lorong kampus, dia mendengar bisikan-bisikan. "Dengar tentang Pak Darma?" "Apa yang terjadi?" "Katanya mendadak banget…"
Setiap bisikan adalah pengingat akan apa yang dia lakukan. Setiap tatapan yang penuh pertanyaan terasa seperti sorotan yang menyoroti kesalahannya.
Dia bertemu Naya di depan kantin. Wajahnya penuh dengan kekhawatiran.
"Kamu dengar tentang Pak Darma?" tanyanya, suara rendah.
Raven mengangguk, tidak bisa menemukan kata-kata.
"Aneh banget, ya? Katanya sehat-sehat aja kemarin." Naya menggeleng. "Hidup ini真的 tidak terduga."
"Yeah," Raven akhirnya berhasil berbicara, suaranya serak. "Tidak terduga."
Naya memandangnya, dan kekhawatiran di matanya sekarang tertuju sepenuhnya padanya. "Kamu sure kamu okay? Kamu kelihatan… pucat. Lebih dari biasanya. Dan…" Dia menjangkau, seolah ingin menyentuh tangan Raven, tetapi mengurungkan niatnya. "Apa itu darah di jarmu?"
Raven dengan cepat menyembunyikan tangannya di saku jaketnya. "Ink. Tinta. Aku lagi nulis pake pulpen yang bocor." Kebohongan itu keluar dengan mudah, lancar. Terlalu lancar.
Naya tidak terlihat yakin. Tatapannya tetap pada Raven, seolah-olah mencoba memecahkan kode. "Raven… kamu sure there's nothing going on? Kamu bisa cerita ke aku, kamu tahu that, right?"
Pada saat itu, Raven ingin memberitahunya. Dia ingin mencurahkan segalanya—toko tua, buku, pena, darah, burung, Dr. Darma—kepada seseorang. Kepada satu-satunya orang yang mungkin mengerti.
Tapi dia tidak bisa. Karena jika dia melakukannya, jika Naya melihatnya dengan ketakutan dan jijik—jika dia mengambil kekuatan itu—Raven tidak tahu apa yang akan dia lakukan.
Jadi dia mengunci rahasianya lebih dalam. Dia memaksakan senyuman. "Beneran, Nay. Aku fine. Cuma lagi kecapekan. Aku janji besok kita nonton, yeah?"
Naya akhirnya mengangguk, meski keraguan masih jelas terlihat di matanya. "Okay. Tapi jangan batalkan lagi."
"Aku tidak akan."
Tapi saat Raven berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Naya yang masih terlihat cemas, dia tahu sesuatu telah berubah selamanya. Garis telah dilintasi. Realitas telah retak, dan dia yang menyebabkan retakannya. Dan di balik retakan itu, sesuatu yang gelap dan lapar menunggu, bersiap untuk merayap masuk.
Dia menyentuh luka di jarinya melalui kain saku. Itu terasa sakit. Itu terasa… berdenyut.
Itu terasa seperti sebuah awal.
