Bab 2 : Darah di atas kertas
Bab 2: Darah di Atas Kertas
Keesokan harinya, Raven terbangun dengan kepala yang berat dan pikiran yang berputar-putar seperti air yang tersedot ke dalam pusaran. Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela kosnya yang berdebu, menerangi partikel-partikel debu yang menari-nari di udara. Untuk sesaat, ia hampir meyakinkan diri bahwa kejadian semalam hanyalah mimpi aneh yang dihasilkan oleh stres dan kurang tidur.
Tapi kemudian matanya menatap mejanya. Di sana, bersandar dengan angkuh di atas tumpukan naskah yang ditolak, tergeletak buku kulit hitam itu. Pena logam berada di sampingnya, berkilau sinis dalam cahaya pagi.
Dia menghela napas, mencoba mengusir perasaan tidak nyaman yang menggelitik di tengkuknya. Hanya sebuah buku, katanya pada dirinya sendiri. Hanya sebuah pena yang aneh.
Hari itu adalah hari Sabtu. Kampus sepi. Raven memutuskan untuk menghabiskan paginya di perpustakaan lagi, mencoba menyusun ulang esainya untuk Dr. Aditya. Mungkin jika ia mengubah pendekatannya, mengikuti saran sang dosen yang samar-samar itu, kali ini akan berbeda.
Dia mandi, air dingin menyegarkan kulitnya yang berkeringat. Saat mengenakan bajunya, matanya tertarik pada titik merah kecil di jari telunjuknya. Luka itu nyata. Kenangan menusuk jarinya dengan ujung pena yang tajam itu kembali dengan jelas. Jantungnya berdebar sedikit lebih kencang.
Dia menyiapkan kopi instan dan membawanya ke meja, duduk berhadapan dengan buku tua itu. Dengan hati-hati, ia membukanya. Halaman-halamannya tetap kosong, putih bersih, mengejek. Tidak ada jejak tulisan darahnya dari malam sebelumnya. Tidak ada tulisan misterius "Tulislah. Ujilah. Buktikan."
"Halusinasi," gumamnya, meneguk kopinya yang pahit.
Tapi godaan itu ada di sana, menggoda di sudut pikirannya. Apa salahnya mencoba lagi? Hanya untuk memastikan?
Dia mengambil pena logam itu. Berat dan dingin. Dia memutar-mutarnya di antara jarinya, memeriksa ukiran-ukiran aneh itu. Beberapa menyerupai mata, yang lain seperti simbol-simbol matematika atau astrologi yang tidak dikenalnya. Ujungnya yang runcing tampak sangat tajam.
Dengan napas tertahan, ia menekan ujung yang runcing itu dengan sangat ringan ke ujung jari yang lain. Tidak cukup untuk melukai, hanya cukup untuk merasakan ketajamannya yang mengancam.
Tiba-tiba, teleponnya berdering. Raven terkejut, pena itu nyaris terlepas dari genggamannya. Ia mengangkatnya. Naya.
"Hey, penulis kesayanganku! Lagi apa?" suara Naya riang, seperti sinar matahari yang menerobos masuk ke dalam ruangannya yang suram.
"Eh, lagi... belajar," jawab Raven, matanya masih tertuju pada pena di tangannya.
"Denger-denger, kamu dapet pujian dari Pak Aditya kemaren? Akhirnya! Perlu rayakan nih. Mau kopiatan? Aku lagi di dekat kampus."
Raven ragu-ragu. Ia ingin—atau lebih tepatnya, perlu—distraksi dari benda-benda aneh di mejanya. Tapi di sisi lain, keinginan untuk menyelidiki, untuk tahu, terlalu kuat.
"Ah, sorry Nay. Aku... aku harus menyelesaikan ini. deadline-nya mepet," bohongnya, merasa sedikit bersalah.
"Oh," nada Naya sedikit kecewa. "Oke deh. Tapi jangan lupa makan ya. Dan jangan sampai kamu menghilang lagi. Kamu kemaren keliatan... capek banget."
"Iya, iya. Thanks, Nay." Raven menutup telepon, perasaan bersalahnya bertambah. Naya adalah satu-satunya orang yang masih peduli padanya, dan di sini ia berbohong padanya karena terobsesi dengan sebuah buku tua.
Dia menatap buku itu lagi. Ini adalah pilihan. Melupakan semua ini, menganggapnya sebagai halusinasi, dan pergi menemui Naya. Atau... menuruti rasa penasarannya.
Dengan gerakan menentukan, Raven mencengkeram pena itu lebih erat. Hanya satu percobaan terakhir, katanya pada dirinya sendiri. Untuk membuktikan bahwa ini tidak nyata.
Dia menekan ujung pena yang tajam itu ke ujung jari telunjuk kirinya, kali ini dengan sengaja. Rasa sakitnya tajam dan sekejap, lebih menyengat dari yang ia kira. Setetes darah merah ruby yang sempurna segera muncul.
Darahnya berdetak mengikuti irama jantungnya. Tanpa ragu lagi—karena keraguan akan membuatnya berubah pikiran—ia menempatkan tetesan darah itu di atas halaman kosong buku.
Sekali lagi, keajaiban—atau kutukan—itu terjadi. Darah itu diserap oleh kertas, menghilang tanpa jejak. Dan kemudian, huruf-huruf berwarna karat muncul, sama seperti sebelumnya, membentuk pesan yang sama: “Tulislah. Ujilah. Buktikan.”
Tangan Raven gemetar. Ini nyata. Ini benar-benar nyata. Buku ini... benda ini... adalah sesuatu di luar pemahamannya.
Apa yang harus ia tulis? Sesuatu yang tidak berbahaya. Sesuatu yang bisa dengan mudah dikaitkan dengan kebetulan, seandainya ini hanyalah kebetulan yang rumit.
Pikirannya kembali ke hujan. Cuaca. Itu selalu tidak menentu. Jika ia menulis tentang hujan dan hujan benar-benar turun, itu tidak membuktikan apa-apa. Tapi jika ia menulis sesuatu yang lebih spesifik...
Dia mencelupkan ujung pena logam ke luka di jarinya, mengumpulkan darah yang masih menetes. Rasa logam memenuhi udara, bau besi yang aneh dan purba. Dengan konsentrasi penuh, ia menempatkan ujung pena ke kertas dan mulai menulis, menggunakan darahnya sendiri sebagai tinta.
“Hari ini, pukul 3:15 sore, seekor burung gereja yang kakinya patah akan mendarat di ambang jendela kamarku.”
Pilihannya spesifik dan tidak biasa, hampir mustahil untuk terjadi secara kebetulan. Setiap goresan huruf terasa aneh. Ada sensasi tertarik, seperti energi—atau nyawa—nya tersedot perlahan dari ujung jarinya, mengalir melalui pena, dan diserap oleh kertas yang haus. Setelah selesai, ia merasa sedikit pusing, kelelahan yang tiba-tiba dan tidak biasa.
Dia menatap kata-kata berwarna merah tua itu, menunggu. Beberapa detik berlalu. Lalu, seperti sebelumnya, tulisan itu mulai memudar dari tepinya, menyusut ke dalam hingga tidak ada yang tersisa. Halamannya kembali putih, seolah-olah tidak pernah ternoda.
Raven menarik napas dalam-dalam. Sekarang, yang bisa dilakukannya hanyalah menunggu.
Hari itu berjalan dengan lambat. Raven tidak bisa berkonsentrasi pada apa pun. Setiap suara burung mencicit membuatnya terkejut. Ia terus-menerus melirik jam, menantikan pukul 3:15.
Pukul 2 sore, Naya mengiriminya pesan, menanyakan apakah dia sudah makan. Raven membalas dengan singkat, mengatakan bahwa ia baik-baik saja, sementara pikirannya dipenuhi oleh bayang-bayang buku dan darah.
Pukul 3 sore, kegelisahannya mencapai puncaknya. Ia duduk di tempat tidurnya, menatap jendela kosnya yang terbuka. Langit di luar cerah, tidak ada pertanda burung atau badai.
Pukul 3:10. Jantungnya berdebar kencang. Ini tidak mungkin, pikirnya. Aku membodohi diriku sendiri.
Pukul 3:14. Dia menahan napas.
Pukul 3:15 tepat.
Tidak ada yang terjadi.
Raven mengeluarkan napas yang selama ini ia tahan. Perasaan lega yang luar biasa bercampur dengan kekecewaan yang menusuk. Itu hanyalah tipuan. Sebuah lelucon yang kejam. Mungkin ada semacam reaksi kimia pada kertas, dan halusinasi karena kelelahan. Itu saja.
Dia tertawa getir, menggosok wajahnya. Dia benar-benar gila.
Klik.
Suara kecil datang dari jendela.
Raven membeku.
Klik. Gesek.
Dia berbalik perlahan, matanya membelalak karena tidak percaya.
Di ambang jendela, seekor burung gereja kecil sedang berjuang untuk mempertahankan keseimbangannya. Satu kakinya bengkok pada sudut yang tidak wajar, tidak menyentuh permukaan kayu. Burung itu terlihat lemah, bulu-bulunya kusut. Ia melihat ke arah Raven dengan mata kecil yang hitam, seolah-olah sedang meminta pertolongan, sebelum kemudian terbang tertatih-tatih dan menghilang dari pandangan.
Raven tidak bisa bergerak. Tidak bisa bernapas. Udara di kamarnya tiba-tiba terasa sangat dingin.
Itu nyata.
Semuanya nyata.
Tulisan darahnya menjadi kenyataan.
Dia melihat tangannya, pada titik merah kecil di jarinya. Lalu pada buku yang tergeletak di mejanya, benda yang sekarang tampak memancarkan aura bahaya yang hampir terlihat.
Dia tidak gila. Dia justru menemukan sesuatu yang jauh lebih besar, lebih menakutkan, dan lebih menggiurkan daripada kegilaan.
Kekuatan.
Sebuah kekuatan yang tidak masuk akal. Kekuatan untuk mengubah realitas dengan darah dan kata-kata.
Dengan langkah gontai, ia berjalan mendekati meja. Ia tidak lagi merasa takut atau waspada. Yang ia rasakan sekarang adalah sebuah kegembiraan yang liar dan hampir primitif. Sebuah rasa lapar yang tiba-tiba muncul.
Dia mengambil buku dan pena itu, menggenggamnya erat-erat. Benda-benda ini miliknya. Kekuatan ini miliknya.
Dia melihat ke arah jendela kosong tempat burung itu tadi bertengkar. Dunia tiba-tiba terasa sangat berbeda. Batas-batasnya tidak lagi tetap. Aturannya bisa ditulis ulang.
Dan Raven Alvaris, si penulis yang gagal, tiba-tiba memiliki pena terhebat yang pernah ada.
Senyum pelan, penuh dengan kekaguman dan niat yang belum terbentuk, muncul di bibirnya.
"Ini hanya awal," bisiknya pada buku itu, pada dirinya sendiri.
Dia tidak menyadari bahwa di balik kegembiraannya, warna darah yang mengering di jarinya tampak sedikit lebih gelap daripada sebelumnya, dan kelelahan yang ia rasakan bukan hanya karena kurang tidur, tetapi sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang menggerogoti dari dalam.
Tapi untuk saat ini, yang penting adalah kekuatan itu nyata. Dan itu miliknya.
