Bab 3 Aku Tak Pernah Mencintaimu
Di belahan negara lain. James menatap surat kabar dengan perasaan pilu. Dia tak bisa membayangkan wajah yang terpampang di surat kabar tersebut adalah adiknya. Dia tak percaya Coral melakukan tindakan itu.
"James, kau jangan khawatir, ya?" Martha menatap James sendu.
"Ayah Josephine sudah terbang ke China. Paman Kent akan membawa Coral pulang dengan selamat," lanjut Martha dengan memegang tangan James memberi kekuatan.
"Aku yakin Coral tak bersalah. Ini hanya salah paham." Terawang James yakin dengan asumsinya.
Martha hanya menatap suaminya dengan perasaan yang tak bisa diungkapkan oleh kata-kata. Martha hendak mengangkat telepon saat suara pintu diketuk dari luar.
"Biar aku yang akan membuka pintu, James. Kau angkatlah telepon itu siapa tahu itu adalah Paman Kent." Martha memberitahu suaminya.
"Baiklah. Semoga itu berita baik," ucap James yakin.
Martha segera membuka pintu untuk melihat siapa yang datang. Martha sedikit terkejut tapi ia bisa menenangkan pikirannya kembali.
"Perkenalkan nama saya Bripda Antonio. Apa benar ini kediaman Nona Coraline Hermingway?"
"Iya benar. Ada masalah apa anda datang ke sini?" Martha penuh selidik.
"Maaf Nyonya, adik anda sedang berurusan dengan pihak kepolisian di China. Kami di sini diberi surat perintah untuk menggeledah tempat ini apakah Nona Coral menyimpan barang itu di sini?"
"Apa maksud anda, Pak?" Amarah James memuncak saat ia tahu adiknya difitnah seperti itu.
"Maaf Tuan Hermingway, anda harus bekerjasama dengan kami. Jika anda menghalangi penyelidikan maka kami akan menahan anda!" tegas Bripda Antonio.
Martha menengahi persengitan yang terjadi. Martha mempersilahkan para polisi untuk mencari barang yang dimaksud. Sudah hampir setengah jam tapi mereka tak menemukan apapun.
"Nah sudah saya katakan kepada anda, Pak bahwa adik saya tak mungkin melakukan hal itu." James menggebu memberi penjelasan.
"Mungkin kami tak bisa menemukan barang itu di sini tapi bukti lain mengarah kepada nona Coral sebagai tersangka yang terbukti membawa barang itu dan menggunakan dengan dosis rendah," terang Bripda Antonio dengan jelas.
"Maaf jika kami sudah menganggu kesibukan anda siang hari ini," pamit mereka segera pergi.
Martha menenangkan James agar tak gegabah untuk pergi ke China. Kemungkinan ini hanya fitnahan yang ditujukan kepada Coral.
*****
Coral hanya bisa menikmati udara pagi yang masuk dari jeruji selnya. Hampir seminggu ia berada di tempat sempit itu, masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang menimpa dirinya.
"Nona, ada seseorang yang ingin menemui Anda," kata seorang sipir wanita bertubuh gemuk yang dipanggilnya Ibu Lin, sambil membuka pintu sel.
"Siapa yang ingin menemuiku, Bu?" tanyanya lirih.
"Pengacara Anda, Nona," jawab sipir itu, mengantarnya keluar.
Coral awalnya mengira yang datang adalah Sam, orang yang sangat ingin dia temui. Namun, pikirannya kembali pada kunjungan sebelumnya. Seminggu lalu, Paman Kent dan Josephine datang menjenguknya. Saat itu, Coral memohon kepada sang paman agar membantu menemukan Sam yang menghilang.
“Ha... Nak. Kau sehat?” tanya Paman Kent, memeluk Coral hangat.
“Baik, Paman. Josephine di mana?” Coral mencari sosok sepupunya yang biasanya selalu menemaninya.
“Dia sedang membeli makanan untukmu, Sayang,” jawab Kent.
"Paman, apa Sam sudah ditemukan?" Coral bertanya penuh harap.
Paman Kent mengangguk dengan ekspresi berat, matanya menunjukkan kesedihan yang sulit disembunyikan.
"Ada apa, Paman? Sam tidak apa-apa, kan?" desaknya.
"Tidak, tidak terjadi apa-apa pada Sam. Dia sudah kembali ke London," jawab Kent pelan.
"Ke London?" Coral mengulang, bingung. "Itu tidak mungkin, Paman. Bagaimana dia bisa pulang ke sana sementara aku di sini? Apa dia tidak tahu aku di sini?"
Kent hanya menghela napas panjang. "Dia tahu, Coral. Tapi—"
"Tapi kenapa? Paman, ceritakan padaku," pinta Coral sambil mendekat.
"Coral, Sayang." Paman Kent menggenggam tangan Coral erat. "Kau harus melupakan Sam. Kau harus rela melepaskannya."
Coral menatap Paman Kent penuh kebingungan. "Maaf, aku tidak mengerti maksud Paman."
Sebelum Kent sempat menjelaskan lebih jauh, pintu diketuk. Josephine datang membawa makanan.
“Ayah, ada apa?” Josephine bertanya khawatir, melihat ayahnya meneteskan air mata.
“Phine, Ayah tidak bisa menceritakan semuanya pada Coral. Tolong kau jelaskan padanya. Ayah harus pergi ke kantor pusat sekarang,” kata Kent, meninggalkan Coral dan Josephine.
"Phine, apa yang terjadi pada Sam?" Coral bertanya lagi.
“Mulai sekarang, kau harus melupakan orang brengsek itu, Coral. Dia tidak pantas untukmu,” jawab Josephine, suaranya terdengar marah.
“Mengapa kalian mengatakan itu? Sam tidak seperti itu,” Coral bersikeras.
“Sudahlah, Coral. Kau tidak butuh dia. Sam sekarang di London, bersenang-senang setelah menghancurkanmu.”
“Sam bukan seperti itu! Dia mungkin tidak tahu apa yang sedang terjadi padaku,” Coral tetap membela Sam.
Josephine menatap Coral tajam. “Mengapa kau tidak percaya padaku? Sam yang menjebakmu. Kau adalah korban tipuannya.”
Perkataan Josephine membuat Coral terdiam, sulit menerima kenyataan itu.
“Kau tahu? Polisi sudah menangkap Charles, orang yang membeli barang haram itu dari Sam. Sam menjebakmu, Coral.” Josephine menyerahkan surat kabar yang memuat berita penangkapan Tuan Charles, seseorang yang Coral temui di pesta.
Coral jatuh terduduk. Tangisnya pecah, bukan hanya karena berita itu, tetapi karena pengkhianatan Sam yang tak pernah dia bayangkan.
“Coral, aku sudah menyelidiki kehidupan Sam di London. Dia bukan hanya seorang CEO, tetapi seorang mafia yang memperdagangkan barang haram itu.” Josephine berbicara lebih pelan agar tidak terdengar oleh penjaga.
Coral hanya bisa terisak tanpa suara.
“Kalau kau masih tidak percaya, lain kali aku akan membawakan video transaksi yang dilakukan Sam. Aku punya bukti itu,” ujar Josephine sambil beranjak pergi karena waktu kunjungan telah habis. Sebelum pergi, dia memeluk Coral, berusaha memberikan kekuatan.
Sebelum Coral kembali ke sel, Ibu Lin menatapnya dengan lembut. “Nona, makanlah walau hanya sedikit. Anda butuh tenaga.”
Coral mengangguk pelan dan mulai mengunyah makanannya sambil menahan isak tangis. Semua terasa begitu pahit.
***
Samuel terbangun di kamar hotel dengan tubuh terasa berat dan pikirannya dipenuhi rasa puas. Mata cokelatnya menatap langit-langit kamar sementara tangan kirinya mengusap wajah, menghalau sisa kantuk.
Dia menoleh ke samping melihat seorang wanita masih terlelap dengan selimut yang menutupi tubuhnya hingga bahu. Sebuah senyum kecil melintas di wajahnya seolah puas dengan malam yang baru saja dilewatinya.
Tanpa ingin mengganggu, Samuel bergerak perlahan dan melangkah keluar dari ranjang. Dia memunguti pakaiannya yang tercecer di lantai. Kemeja putih yang terlipat asal, celana hitam yang sedikit kusut. Sesekal matanya melirik wanita itu memastikan dia tetap terlelap. Dengan hati-hati dia merogoh dompetnya lalu mengeluarkan sejumlah uang dan meletakkannya di atas kasur.
"Terima kasih untuk malam yang menyenangkan," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar, sebelum menyampirkan jas ke bahunya.
"Kau memang pantas mendapatkan lebih."
Ketika dia membuka pintu dan melangkah keluar, suasana hotel masih sunyi. Pagi baru saja menampakkan sinarnya, Samuel berjalan santai dengan tangan yang dia masukkan ke saku. Namun tanpa dia sadari, di ujung lorong seorang pria berkacamata hitam mengarahkan kamera ponsel ke arahnya.
“Akan menarik sekali melihat reaksi dunia ketika tahu siapa kamu sebenarnya, Samuel.” Pria itu tersenyum tipis sambil memeriksa hasil jepretan di layar.
Sesampainya di lobby hotel, sosok pria muda membukakan pintu mobil untuk Samuel siap mengantarkan sang tuan pergi.
"Kita akan ke mana, Tuan? Ke kantor atau pulang ke rumah?" tanyanya dengan sopan dan menunduk.
"Pesan aku tiket ke luar negeri siang ini. Aku akan pergi ke China," ucap Samuel pada sopirnya yang merangkap pesuruh.
"Baik Tuan," sahutnya seraya menutup pintu lalu dengan earphone-nya dia menelepon maskapai penerbangan.
Sementara di ujung sana pria berkacamata hitam itu sudah memulai aksinya. Dia mengetik pesan singkat di ponselnya dan menyisipkan foto tadi sebagai lampiran.
“Target telah berhasil. Akan saya kirimkan detailnya siang nanti.”
Tak lama kemudian ada pesan singkat yang masuk ke ponselnya. Dia tersenyum penuh rasa puas karena berjalan lancar.
“Bagus. Lanjutkan sesuai rencana.”
